KUTA, KOMPAS — Kawasan Sains dan Teknologi atau KST jadi sarana mencetak lebih banyak technopreneur, perusahaan pemula berbasis teknologi, serta hilirisasi aneka hasil penelitian. Namun agar semua fungsi KST itu berjalan, butuh waktu, dana dan dukungan kebijakan penuh pemerintah.
"Fungsi utama KST adalah menghasilkan technopreneur, bukan menghasilkan produk tertentu," kata Ketua Asosiasi Science and Technology Park Indonesia Lukito Hasta P di Kuta, Bali, Selasa (27/8/2019).
Munculnya wirausahawan baru dan perusahaan pemula (start up) berbasis teknologi melalui KST itu diharapkan mengurangi pengangguran, meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah atau negara, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Namun, konsep KST itu masih sering disalahpahami, termasuk oleh pengambil kebijakan. KST sering dianggap hanya menghasilkan produk semata mirip pembinaan usaha kecil menengah seperti yang berjalan selama ini. KST juga sering dianggap hanya sebagai upaya diseminasi hasil riset semata.
Konsep KST itu masih sering disalahpahami, termasuk oleh pengambil kebijakan.
Perusahaan pemula berbasis teknologi yang ada di KST juga tidak melulu bidang usahanya terkait industri digital atau industri kreatif digital semata. Perusahaan pemula itu bisa bergerak di sektor pertanian, kesehatan, farmasi, bioteknologi, manufaktur, hingga teknologi pangan.
Agar fungsi KST itu bisa berjalan, butuh dukungan kebijakan dan anggaran pemerintah yang tidak sedikit dan berkelanjutan. Pengalaman di sejumlah negara menunjukkan agar sebuah KST bisa berjalan optimal butuh waktu antara 20-30 tahun.
Sejak dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2015, lanjut Lukito, saat ini sudah ada 19 KST dengan tingkat maturitas atau kematangan yang terukur, baik pratama dan madya. KST itu umumnya diinisiasi kementerian, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah.
Kendala
Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Patdono Suwignjo mengatakan pemerintah pernah menargetkan membangun 100 KST pada 2015. Kini, target itu sudah direvisi.
"Membangun KST sampai bisa beroperasi penuh tidak mudah dan butuh biaya besar untuk membangun berbagai infrastruktur penunjang," katanya. Belum lagi, dibutuhkan anggaran khusus sebagai modal awal bagi perusahaan pemula agar bisa menjalankan rencana bisnisnya.
Salah satu kendala yang memicu lambatnya perkembangan KST di Indonesia adalah belum adanya anchor industry yang beroperasi di KST atau angel investor yang mau mendanai perusahaan pemula yang ada di KST.
Anchor industry adalah perusahaan besar yang melakukan riset dan pengembangan, berproduksi, hingga memasarkan produknya di KST. Keberadaan perusahaan besar di KST itu bisa menarik dan mempermudah munculnya industri kecil dan baru yang mengerjakan sebagian dari proses produksi perusahaan besar tersebut.
Sementara angel investor adalah lembaga investasi yang mau mendanai rencana bisnis atau menanamkan modalnya di perusahaan pemula yang ada di KST. Angel investor itu tidak perlu memiliki kantor atau fasilitas produksi di KST.
"Baik anchor industry atau angel investor sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan," kata Pelaksana Tugas Direktur Kawasan Sains dan Teknologi dan Lembaga Penunjang Lainnya, Kemristekdikti, Kemal Prihatman.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada Hargo Utomo menambahkan baik pengembangan KST yang menyaratkan adanya anchor industry dan angel investor sama-sama belum tentu bisa diaplikasikan secara penuh dalam pengembangan KST di Indonesia. Tidak ada satu model KST yang bisa diterapkan di semua KST.
Baik pengembangan KST yang menyaratkan adanya anchor industry dan angel investor sama-sama belum tentu bisa diaplikasikan secara penuh dalam pengembangan KST di Indonesia.
"Hal yang bisa dilakukan di KST UGM adalah beradaptasi dengan struktur dan sistem inovasi yang ada di Indonesia," katanya. KST UGM ingin lembaganya bisa dijadikan alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan satu kelompok saja.
Karena itu, kalaupun ada angel investor yang tertarik menanamkan modalnya pada perusahaan pemula di KST UGM maka dia harus memahami prinsip tersebut. Angel investor tidak bisa bertindak sekadar upaya transaksional semata, namun juga memiliki visi sosial sehingga angel investor, perusahaan pemula dan pengelola KST harus bergotong royong demi mewujudkan kesejahteraan bersama.