Jangan Biarkan Pengungsi Cuma Memeluk Mimpi
Dua bulan setelah banjir bandang menerjang wilayah Konawe Utara, ribuan warga masih berada di pengungsian. Mereka tinggal di ”rumah” beralas tanah, beratap seadanya untuk menghalangi terik dan hujan. Bencana dahsyat itu telah meluruhkan seluruh mimpi yang kini tergantung di tenda pengungsian.
Menjelang siang, di pengungsian, Suwarti (47) sibuk mengayun Azkia. Cucu ketiganya yang baru berumur lima bulan itu terlelap dalam ayunan yang digantung di dalam tenda. Panas berembus kuat di hunian beratap terpal biru itu, Rabu (7/8/2019), di Desa Puuwonua, Andowia, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Rumah, begitu Suwarti menyebut pengungsian tempat tinggalnya saat ini. Sebuah bangunan dengan tiang dari balok kayu, rangka atap dari dahan pohon, dan dinding, serta atap dari terpal biru. Luas tempat yang mereka huni sekitar 4 meter x 5 meter dengan tinggi lebih dari 2 meter.
Dari pintu kayu itu terlihat ruangan tengah yang sekaligus menjadi ruang serba guna, tempat semua aktivitas berlangsung. Di belakang tempat tinggal itu adalah dapur sekaligus kamar mandi. Sayangnya, di kamar mandi itu tidak tersedia jamban untuk buang air besar. Jika mereka ingin buang air besar, Suwarti dan pengungsi lainnya harus ke sungai.
Bersama suami, anak, dan cucunya, Suwarti menetap di hunian seadanya ini sejak bulan lalu. Juni lalu, banjir bandang penuh lumpur menghantam rumahnya yang berjarak sekitar 2 kilometer dari lokasi pengungsian saat ini. Hunian yang ia tempati selama puluhan tahun rusak parah karena terendam banjir nyaris setinggi genting rumah.
”Banjir mulai tinggi pas malam. Habis makan sahur, kami sekeluarga akhirnya meninggalkan rumah. Ini si Azkia (sambil menunjuk cucunya) dikasih naik di loyang. Kami terus berenang karena air sudah sampai leher. Alhamdulillah semua selamat, makanya ada yang panggil cucu saya dengan nama Azkia Banjir,” ujar Suwarti.
Meskipun rumahnya tidak hanyut disapu banjir, hampir tidak ada barang terselamatkan. Kursi, lemari, perabot, hingga alat masak hilang dan rusak. Sejumlah peralatan elektronik juga tidak bisa digunakan lagi.
Namun, hal yang paling membuat Suwarti risau adalah rasa trauma kembali ke rumah yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Sungai Lasolo. Ibu lima anak ini khawatir banjir besar akan kembali datang dan mengancam jiwa mereka. ”Kalau turun hujan, suasana gelap, sudah takutmi kita. Sudah tidak mau tinggal di bawah lagi, takut sekali,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar ada relokasi untuk warga yang terdampak banjir. ”Biar di ujung gunung kami siap ikut. Yang penting aman.”
Duduk santai di depan rumah yang tidak jauh beda dengan rumah Suwarti, Amir Kubra (49) tengah menjaga jualan yang dijajar di balik dinding kayu rumah pengungsian. Bermacam jualan disusun rapi, mulai dari mi instan, biskuit, hingga sabun mandi. Barang-barang ini bantuan dari keluarga kepada Amir untuk memulai usaha. Kios dan barang-barang miliknya habis tersapu banjir.
Berdagang kembali adalah upaya Amir melanjutkan hidup meski di pengungsian. Amir yang juga Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa Laronanga tak ingin tinggal diam. ”Semua yang ada ini adalah bantuan dari saudara. Kalau barang-barang punya kami semuanya habis,” ujarnya.
Mata pencarian warga di wilayah ini nyaris semuanya habis setelah terjadi banjir bandang. Bahkan, bangunan yang dihuni saat ini sebagian adalah bantuan dari pemerintah. Terpal hingga selimut didapatkan dari donasi dan bantuan berbagai pihak. Untuk keperluan makan sehari-hari, setiap keluarga di pengungsian ini mendapat jatah beras 5 liter dalam sehari.
Paling parah
Sepanjang hidupnya, kenang Amir, banjir kali ini adalah yang terparah yang pernah ia alami. Banjir memang rutin datang, tetapi tidak pernah sampai menyentuh atap rumah. Terlebih lagi banjir itu sampai menghanyutkan rumah dan seisinya. Banjir kali ini sangat jauh berbeda. Banjir kali ini membawa rumah sekaligus kiosnya hanyut. Beruntung, Amir cepat keluar dan mengungsi sehingga tidak menjadi korban.
”Dulu banjir tahun 1977 juga besar. Demikian juga banjir tahun 2013 juga besar, tetapi banjir kali ini paling tinggi. Lumpurnya saja lebih dari satu meter. Saya kapok tinggal di rumah lama lagi,” kata Amir.
Oleh karena itu, ia berharap agar relokasi segera dilakukan. Amir berharap, agar lokasi hunian bagi pengungsi segera dibangun. Dengan demikian. ia bisa memulai hidup baru yang lebih layak, meski dengan kondisi yang tidak mudah.
Pengungsian di Desa Puuwonua adalah satu dari beberapa lokasi pengungsi banjir bandang di Konawe Utara, awal Juni. Mereka yang mengungsi di lokasi ini sekitar 300 keluarga berasal dari tiga desa, yakni Desa Puuwonua, Laronanga, dan Desa Labungga.
Selain di lokasi tersebut, ada juga sejumlah lokasi pengungsian warga lainnya. Lokasi itu, antara lain, Desa Puusuli, Desa Tapuwatu, dan beberapa desa lain yang tersebar. Saat ini warga yang menjadi korban banjir dan mengungsi, selain kehilangan rumah, juga mata pencaharian. Mereka harus memulai dari awal untuk membangun usaha kecil-kecilan, seperti berdagang barang kebutuhan rumah tangga.
Arifuddin, warga Desa Longeo Utama, Kecamatan Asera, juga mengaku bingung. Ia tidak tahu harus mencari penghidupan dari mana. Sawah di belakang rumah sudah tidak berbentuk lagi. Lumpur setinggi 30 sentimeter telah menutup sawah sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Semua tanaman padi yang ada di lahan tersebut hilang tidak bersisa.
Sebuah kebun yang berada sekitar 2 kilometer dari rumahnya juga tidak bisa diharapkan. Sebagian kebun yang dekat dengan sungai itu terendam air. Sejumlah tanaman merica yang ada di lahan itu banyak yang tumbang sehingga panen tidak maksimal. ”Tanaman merica 600 pohon, sekarang tidak sampai setengahnya yang hidup. Padahal, kami baru satu kali panen,” katanya saat ditemui di rumah sementaranya.
Rumah panggung miliknya hanyut terbawa banjir. Saat ini, ia harus berdesakan bersama keluarga tinggal di rumah sederhana di lokasi pengungsian. Arifuddin kini mau tidak mau harus tinggal di rumah sederhana dan sempit bersama istri, anak, seorang cucu, dan menantunya.
Karena itu, ia berharap ada relokasi. Arifuddin juga berharap pemerintah membantu perekonomian warga secara bertahap. Sebab, bencana banjir kali ini jauh dari yang dibayangkan. Banjir kali ini membawa sedimen lumpur yang tinggi.
Masuk tahap akhir
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sultra Boy Ikhwansyah mengatakan, saat ini pemerintah sedang dalam tahap finalisasi untuk relokasi ribuan pengungsi. Saat ini juga sedang difokuskan pembuatan hunian sementara di beberapa lokasi. Perataan lahan sedang dilakukan. Setelah proses perataan, dilanjutkan dengan pembuatan hunian.
”Kami fokus ke huntara (hunian sementara) dulu. Ada dua lokasi yang akan dibangun di tahap awal, lalu yang lain menyusul. Huntara diharapkan menjadi lokasi yang layak bagi warga untuk tinggal dalam beberapa waktu,” kata Boy.
Beberapa lokasi pembangunan huntara saat ini sedang dirapikan. Sementara untuk hunian tetap sedang dalam kajian, baik terkait lahan, ancaman bencana, maupun kesediaan warga. Hunian tetap bagi korban banjir bandang akan diusahakan tidak begitu jauh dari lokasi awal mereka tinggal.
Bupati Konawe Utara Ruksamin menyampaikan, pihaknya terus berupaya agar kondisi pengungsi bisa jauh lebih baik. Upaya mendirikan hunian sementara dan perbaikan ekonomi juga sedang diupayakan.
Lepas dari komitmen itu dilakukan pemerintah daerah atau tidak, yang jelas para pengungsi sudah dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka tidak saja trauma atas bencana tersebut, tetapi juga secara psikis, sosial, dan ekonomi telah terganggu. Para pengungsi itu kini harus bertahan dan berusaha sendiri dengan harapan dan mimpi yang tak pasti.
Harapan itu kini tinggal menggantung di tiang rumah hunian sementara di pengungsian yang tak pernah layak. Mereka butuh komitmen dan kesungguhan aparat pusat dan daerah, mengupayakan para pengungsi hidup lebih baik meski harus hidup dengan kondisi sangat sederhana.