Atasi Defisit BPJS Kesehatan, Pemerintah Naikkan Premi untuk Penerima Bantuan Iuran
Pemerintah akan menaikkan biaya iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat pada segmen penerima bantuan iuran menjadi Rp 42.000. Keputusan ini direncanakan mulai berlaku pada Agustus 2019.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menaikkan biaya iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat pada segmen penerima bantuan iuran menjadi Rp 42.000. Keputusan ini direncanakan mulai berlaku pada Agustus 2019. Selain itu, iuran untuk segmen lain juga diusulkan akan meningkat mulai Januari 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja gabungan bersama Komisi IX dan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (27/8/2019), mengatakan, iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) seharusnya dilakukan peninjauan rutin setiap dua tahun sekali. Tinjauan tersebut termasuk mengenai kenaikan iuran yang harus disesuaikan. Namun, keputusan kenaikan tersebut hingga saat ini belum juga dilakukan karena terkendala pertimbangan politis dan beban masyarakat.
”Evaluasi kami, usulan terkait kenaikan iuran pada segmen peserta PBI (penerima bantuan iuran) dan segmen PBPU (peserta bukan penerima upah) kelas 3 sebesar Rp 42.000 bisa diadopsi. Kami usulkan untuk PBI kenaikannya bisa mulai bulan Agustus ini. Sementara masyarakat yang iurannya tidak ditanggung pemerintah, kenaikannya mulai dijalankan Januari 2020,” katanya.
Iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) seharusnya dilakukan peninjauan rutin setiap dua tahun sekali.
Rinciannya, usulan kenaikan iuran yang disampaikan oleh Menteri Keuangan adalah pada segmen PBI, baik PBI yang dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000. Pada segmen PBPU kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. Adapun iuran peserta penerima upah badan usaha (PPU BU) dari semula 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta. Untuk peserta penerima upah pemerintah, iuran yang sebelumya 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga menjadi 5 persen dari seluruh upah yang diterima (take home pay).
Sri mengatakan, berdasarkan hitungan tersebut, BPJS Kesehatan bisa mendapatkan dana tambahan dari pemerintah sekitar Rp 9,2 triliun dari selisih kenaikan iuran segmen PBI APBN mulai Agustus sampai Desember 2019. Jumlah peserta PBI APBN per Agustus 2019 sebesar 96,5 juta jiwa. Selain itu, biaya tambahan lain bisa didapatkan sekitar Rp 3,5 triliun dari selisih kenaikan iuran segmen PBI APBD dengan jumlah peserta saat ini sekitar 37,3 juta jiwa.
”Iuran bagi PPU pemerintah bisa mulai dinaikkan Oktober 2019. Sementara iuran bagi PBPU atau peserta mandiri serta PPU badan usaha mulai naik Januari 2020 sehingga mulai saat ini sudah bisa dilakukan sosialisasi,” ucapnya.
Meski begitu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, Syamsul Bachi, berpendapat, perbaikan tata kelola pada sistem jaminan sosial yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan mutlak dilakukan. Meski ketidaksesuaian besaran iuran yang diterima dan dibayarkan BPJS Kesehatan menjadi persoalan utama, pembenahan lain juga harus diperhatikan.
Hal tersebut, antara lain, memaksimalkan bauran kebijakan lain seperti penggunaan pajak rokok di pemerintah daerah, strategic purchasing BPJS Kesehatan, penyelesaian tunggakan pemda, serta upaya preventif dan promotif dalam upaya pencegahan penyakit di masyarakat.
Perbaikan tata kelola pada sistem jaminan sosial yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan mutlak dilakukan.
”Kenaikan iuran ini tidak menjadi masalah asalkan sebelum tarif baru diberlakukan ada sosialisasi yang intensif. Untuk itu, perlu ada rasionalisasi ke masyarakat sehingga bisa diterima dengan baik. Selain itu, pastikan juga fasilitas kesehatan memiliki kualitas yang sesuai standar. Pemerataan akses kesehatan juga harus dipastikan sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Sistem juga harus dibenahi untuk mencegah pelanggaran dari faskes,” katanya.
Menanggapi pencegahan kecurangan atau fraud di fasilitas kesehatan, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecuarangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi terhadap Kecurangan dalam Pelaksanaan Program JKN. Salah satu yang diatur adalah pembuatan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) yang dikerjakan bersama KPK, BPJS Kesehatan, dan organisasi profesi yang terkait.
”Kami sudah selesaikan 33 PNPK sehingga bisa jadi pedoman dalam penanganan peserta JKN yang sesuai dengan standar. Sementara sudah ada 25 PNPK yang masuk tahap penyelesaian dan akan disiapkan 60 PNPK lagi. Penyusunan ini salah satunya untuk mencegah fraud di fasilitas kesehatan, baik fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun tingkat lanjutan (FKTRL),” tuturnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menambahkan, upaya lain untuk memperbaiki sistem rujukan daring saat ini sudah dilakukan dengan sistem rujukan terintegrasi. Sebagai langkah awal, uji coba sudah dilaksanakan di Bandung sejak Agustus 2019 di 10 FKTP dan FKTRL. Menurut rencana, implementasi secara nasional akan dilaksanakan pada November 2019.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Dewi Asmara menuturkan, upaya perbaikan program JKN harus dilakukan secara sistemik dan menyeluruh agar keberlanjutan program tersebut bisa terjamin. Semua pihak harus berkomitmen untuk memastikan seluruh masyarakat terjamin hak kesehatannya secara adil dengan layanan yang berkualitas.