Moratorium Perkelapasawitan Berjalan Lamban
Sejumlah 528 hak guna usaha milik korporasi berada di kawasan hutan. Ini agar diprioritaskan dalam penyelesaian perkebunan yang bermasalah selama moratorium sawit.
JAKARTA, KOMPAS — Hampir setahun berjalan, kebijakan moratorium sawit belum menunjukkan perkembangan berarti. Pemerintah bisa memulai langkah maju dengan menyelesaikan isu-isu riil di lapangan di samping memperbaiki tata kelola sawit dari pusat hingga daerah.
Temuan Yayasan Auriga Nusantara, antara lain, sejumlah 528 hak guna usaha (HGU) milik korporasi yang berada di kawasan hutan. Peninjauan ulang perizinan serta penegakan hukum yang tegas bisa menjadi preseden serta lahan tersebut prospek menjadi obyek reforma agraria bagi masyarakat sekitar perkebunan yang memiliki lahan kecil.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan terdapat 16,9 juta hektar perkebunan sawit yang sebagian tumpang tindih HGU dengan izin pertambangan (3,01 juta ha), izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI, 534.000 ha), IUPHHK Hutan Alam (349.000 ha), dan kubah gambut (801.000 ha). Dari total kebun sawit tersebut, 3,4 juta ha berada di kawasan hutan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Kompas dan WWF Indonesia terkait Moratorium Sawit, Senin (26/8/2019), di kantor redaksi harian Kompas di Menara Kompas, Jakarta. Diskusi yang menghadirkan Komisioner KPK (Laode M Syarief), Kementerian Pertanian (Irmijati Rachmi Nurbahar), akademisi (Hariadi Kartodihardjo), praktisi perusahaan perkebunan (Agus Purnomo), dan sejumlah organisasi masyarakat sipil ini mengakui pekerjaan terberat adalah menyelesaikan tumpang tindih dan ketelanjuran seperti itu.
Contohnya kasus perambahan hutan oleh perkebunan sawit di Padang Lawas, Sumatera Utara. Meski telah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2007 hingga kini putusan pengadilan tak kunjung dieksekusi pemerintah. Luasan lahan tersebut relatif kecil sekitar 47.000 ha.
Dalam Festival Gakkum di KLHK, 23 Juli 2019, Ketua KPK Agus Rahadjo menjanjikan dalam empat bulan sisa masa jabatannya untuk mengoordinasikan penyelesaian eksekusi kasus Padang Lawas di Sumatera Utara ini. “Saya berjanji sepulang dari sini Padang Lawas dan denda-denda bisa diselesaikan dengan baik,” kata dia saat itu.
Ketua KPK Agus Rahadjo menjanjikan dalam empat bulan sisa masa jabatannya untuk mengoordinasikan penyelesaian eksekusi kasus Padang Lawas di Sumatera Utara.
Wiko Syaputra, peneliti Kebijakan Ekonomi Yayasan Auriga Nusantara mengatakan moratorium sawit yang diatur dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, membutuhkan instrumen lain di luar inpres ini. Ia mengatakan program reforma agraria berupa redistribusi lahan bisa menjadi cantolan untuk penyelesaian lahan-lahan bermasalah.
Seperti temuan Auriga berupa 528 HGU perkebunan sawit yang berada pada 1,1 juta ha kawasan hutan bisa dimanfaatkan untuk program reforma agraria. “Harus dicek lagi historis HGU dan perubahaan status kawasan hutannya. Di sinilah fungsi evaluasi perizinan,” kata dia.
Ia mengatakan fokus pada pemegang izin akan lebih mudah dan signifikan. Ia mencatat dari 16,9 juta ha perkebunan sawit yang terdata KPK, hanya 1,9 juta terklasifikasi sebagai sawit rakyat. Selain itu, ia mendesak agar pemerintah membuka data HGU perkebunan sebagai bentuk keterbukaan yang akan mempercepat penyelesaian HGU bermasalah.
Agus Purnomo, Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagement Golden Agri-Resources menyarankan agar penyelesaian HGU bermasalah tersebut diserahkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk meninjau ulang maupun revisinya. “Tidak ada kerepotan karena tinggal panggil (pemegang HGU), periksa, ubah, cabut, atau kalau perlu pengadilan. Setahun di pengadilan, kalah atau menang dieksekusi,” kata dia.
Langkah ini dinilai merupakan cara cepat dan mudah serta langsung bisa dilaksanakan dibandingkan program lain. Kementerian ATR dan jajaran di bawahnya merupakan penerbit HGU tersebut.
Laode M Syarif mengatakan perkebunan sawit Indonesia membutuhkan perhatian dan pembelaan sepanjang dilakukan perbaikan tata kelola hutan dan mendorong peningkatan kepatuhan/potensi pembayaran pajak. Selain itu, semua lahan yang berada di kawasan lindung atau konservasi agar dihilangkan dan diproses penegakan hukum serta perusahaan menjaga areanya yang bernilai konservasi tinggi.
Perkebunan sawit Indonesia membutuhkan perhatian dan pembelaan sepanjang dilakukan perbaikan tata kelola hutan dan mendorong peningkatan kepatuhan/potensi pembayaran pajak.
Karena itu, ia mengatakan KPK mendukung moratorium sawit. Langkah ini untuk memberi kesempatan bagi penyelesaian kebun-kebun sawit bermasalah dan berbagai ketelanjuran yang terjadi.