Sungai, dari Anugerah Berubah Menjadi Bencana
Sungai dalam setiap komunitas pada galibnya menjadi bagian penting dari kehidupan. Hal itu juga berlaku bagi suku Landawe di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Ikatan dengan sungai tak terpisahkan. Namun, seiring perkembangan, sungai kini menjadi sumber bencana.
Tak ada rumah yang utuh tersisa. Potongan beton, kayu, dan tumpukan lumpur terlihat di mana-mana. Perabot rumah berserakan dengan sisa lumuran lumpur. Desa itu kini tinggal puing.
Itulah kondisi Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/8/2019). Desa Tapuwatu adalah salah satu lokasi terparah dari 50 desa dan kelurahan di tujuh kecamatan yang dilanda banjir bandang pada 2-10 Juni 2019.
Warga saat ini masih mengungsi di posko yang dibangun pemerintah. Banjir tak menimbulkan korban jiwa, tetapi taksiran kerugian dari sektor permukiman dan pertanian tak kurang dari Rp 100 miliar. ”Barang-barang kami tidak tersisa. Semua terbawa banjir,” ujar Rustam (44), korban banjir Desa Tapuwatu, saat ditemui di rumah sementara yang ia bangun di bekas rumah lamanya.
Desa Tapuwatu berada persis di titik temu Sungai Lalindu dan Sungai Lasolo, yang kemudian menyatu menjadi Sungai Lasolo hingga ke muara. Banjir awal Juni lalu bersumber dari luapan dua sungai beserta anak sungainya.
Bencana dahsyat yang dialami warga pada awal Juni tersebut sekaligus menjadi pertanda berubahnya keberadaan sungai dalam kehidupan warga, terutama suku Landawe. Suku ini merupakan komunitas yang mendiami lembah dan lereng di bagian barat Konawe Utara.
Daerah-daerah itu merupakan hulu atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Lalindu. Awalan ’la-’, bahasa Landawe, yang artinya sungai, pada nama-nama sungai dan kampung di Konawe Utara menunjukkan sentralnya peran sungai bagi kehidupan warga.
Komunitas Landawe dahulu membangun kampung di pinggir sungai. Komunitas ini melakukan kegiatan itu dimaksudkan agar kehidupan warga terjamin dengan keberadaan air. Kebun pun dibuka tidak terlalu jauh dari bibir sungai.
”Sungai-sungai dahulu sangat jernih. Saking jernihnya, orang tak perlu memasak untuk meminumnya. Mereka tinggal mengambil air dari sungai dan langsung minum,” tutur tokoh masyarakat Landawe, Edy Lapalulu (66).
Edy merujuk peran sungai sebagai sumber kehidupan yang penting, yakni Sungai Laundolia, Sungai Landawe, dan Sungai Langgikima. Komunitas Landawe dahulu menetap dan berkebun di sekitar bantarannya. Tiga sungai tersebut merupakan anak Sungai Lalindu yang lalu bergabung menjadi Sungai Lasolo.
Warisan peradaban
Warisan peradaban sungai itu masih terlihat hingga saat ini. Kampung atau desa tetap berada di pinggir sungai. Kalaupun berjarak, jaraknya tidak lebih dari 2 kilometer.
Dewasa ini, sungai menjadi sumber irigasi untuk sawah, seperti di Kecamatan Oheo. Kebiasaan mencari kehidupan di sungai masih dipraktikkan sebagian warga di dekat muara Sungai Lasolo, terutama di Desa Laronanga dan Puwonua, Kecamatan Andowia. Mereka masih mencari kerang air tawar (pokea), yang merupakan kebiasaan nenek moyang dahulu. Di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, sungai masih menjadi sumber air utama hingga 2010. Saat itu, Sungai Laundolia masih jernih.
”Dahulu kalau hujan lebat dan lama, sungai memang meluap. Akan tetapi, kami malah senang sekali karena bisa main-main di air. Meskipun hujan, airnya masih terbilang baik,” kata Sekretaris Desa Tambakua Mustaman (27). Namun, saat terjadi banjir besar pada awal Juni lalu, keceriaan itu berubah menjadi derita. Kali ini banjir tak melulu soal air yang berlebih, tetapi juga lumpur.
Sebanyak 21 rumah di dusun 1 dan dusun 2 desa tersebut terendam lumpur dengan ketinggian hingga 1 meter. Lumpur dari Sungai Laundolia yang sama juga merendam sekitar 50 hektar dari 100 hektar sawah desa. Banjir dengan model yang sama juga melanda pada tahun 2018.
Jejak lumpur tersebut masih terlihat pada awal Agustus lalu. Sungai Laundolia yang memiliki lebar 20 meter masih keruh. Lumpur berwarna kemerahan menumpuk di sungai dan pinggirnya membentuk ”delta”. Lumpur yang sudah kering tertumpuk di pinggir jalan menuju dusun 2 dan dusun 3 Desa Tambakua. Banjir bandang awal Juni lalu sekali lagi mengubah posisi sungai bagi masyarakat Landawe.
Sungai kini telah menjadi ancaman serius bagi keselamatan masyarakat sekitar sungai. Saat hujan lebat tiba, semua warga yang bermukim di dekat sungai kini menjadi waswas akan terjadi bencana. Sumber kehidupan yang disediakan sungai pun pelan-pelan berkurang. Di Desa Laronanga, sebagian besar ibu selama ini mengandalkan pokea untuk kehidupan ekonomi keluarga. Namun, dalam lima tahun terakhir, kerang air tawar yang dijual Rp 30.000 per liter setelah dilepas dari cangkangnya sudah jauh berkurang.
Pokea biasanya untuk konsumsi rumah tangga, biasanya direbus untuk dijadikan lauk. Namun, belakangan ini pokea disajikan dalam bentuk sate. Makanan itu kini menjadi salah satu kuliner khas di sejumlah warung di Kendari, ibu kota Sultra. ”Sungai sudah penuh lumpur,” kata Tina Warhab (60), warga Laronangan, yang mencari pokea. Pokea hanya bisa hidup di pasir, bukan lumpur.
Perubahan bentang alam
Berdasarkan penelusuran Kompas, Senin-Rabu (5-7/8), perubahan peruntukan lahan di daerah hulu atau DAS Lasolo diduga kuat berkontribusi terjadinya banjir bandang. Daerah hulu sungai-sungai yang meluap sejak 2007 beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Tanaman menyebar di lembah, lereng, dan bibir sungai. Hal itu terlihat di Kecamatan Langgikima, Landawe, dan Oheo, tiga daerah yang menjadi hulu Sungai Lalindu, bagian dari sistem Sungai Lasolo. Dahulu kawasan itu hutan lebat.
Selain itu, di pegunungan sebelah utara Desa Tambakua, penambangan dengan lahan bukaan sekitar 60 hektar dilakukan. Alur air yang turut membawa material tambang terlihat mengalir dari areal pertambangan. Genangan air di kolam bekas galian tambang dialirkan ke sungai tanpa adanya kolam penyaringan endapan. Ditemukan juga titik longsor dari tumpukan material tambang menuju sungai.
Titik-titik longsor terlihat pula di lereng gunung yang melalui kali-kali kecil mengalir menuju sungai besar. Menurut Herman Suani, aktivis lingkungan Konawe Utara, longsor diduga kuat terjadi karena perambahan ilegal. ”Ribuan ton kayu keluar dari Konawe Utara setiap tahun. Kayu-kayu itu ilegal,” ujar Herman.
Berdasarkan data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Sampara, di DAS Lasolo, luas pertambangan 806 hektar, perkebunan kelapa sawit 21.904 hektar. Disebutkan pula bahwa kawasan tersebut rawan longsor. Koordinator Umum PT Damai Jaya Lestari, salah satu pemegang izin perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Langgikima, Budiman menolak jika kehadiran sawit dituduh telah memicu banjir bandang.
Menurut dia, mestinya banjir bandang terjadi pada tahun 2007-2008 saat dilakukan pembukaan lahan untuk perkebunan. Namun, saat itu tidak terjadi bencana besar. Bencana itu terjadi tahun ini. Wahyu Prasetiyo dari PT Karyatama Konawe Utara juga menolak jika banjir bandang tersebut disebabkan oleh adanya pertambangan. Ia beralasan, penambangan yang dilakukan perusahaannya di bagian hulu Sungai Laundolia di Desa Tambakua tergolong tidak begitu aktif.
Mereka hanya menambang 150.000 wet metric ton setiap tahun (wet metric ton adalah massa ton nikel yang masih belum diolah/1 metric ton sama dengan 1.000 kilogram). Jumlah itu termasuk sangat kecil untuk perusahaan tambang nikel. Namun, di pihak lain, Kepala Bidang Penataan Lingkungan Aminoto Kamaludin mengakui, pengelolaan lingkungan pertambangan dan perkebunan sawit selama ini jauh dari standar. Karena berada di lereng gunung, pertambangan dan perkebunan mestinya dilengkapi dengan kolam atau penampung sedimen.
Namun, kolam tersebut jelek atau tidak memenuhi standar. Padahal, kolam berfungsi untuk menampung sedimen dari penambangan dan perkebunan agar terhambat mengalir ke sungai. Lepas dari apa pun alibinya, banjir awal Juni lalu menggambarkan dengan jelas pergeseran posisi sungai bagi masyarakat Landawe khususnya dan manusia umumnya. Sungai yang menjadi sumber hidup berubah menjadi bencana.
Jika tak ada pembenahan, situasi akan lebih rumit di masa mendatang. Semua berpulang kepada pihak terkait, termasuk pemangku kepentingan, untuk mengembalikan kearifan lokal bahwa sungai adalah warisan peradaban. Sungai bukan saja alur air, melainkan juga sumber kehidupan masyarakat.