Kala Sebutir Kelapa Mengajarkan Perpaduan Industri
Menegak air kelapa sambil mengeruk dagingnya di siang bolong sangat segar dan nikmat. Saat itu, telapak tangan memegang butir kelapa utuh. Ada sabut, tempurung atau batok, daging buah, dan tentunya air kelapa yang membasahi kerongkongan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Meneguk air kelapa sambil mengeruk dagingnya di siang bolong sangat segar dan nikmat. Saat itu, telapak tangan memegang butir kelapa utuh. Ada sabut, tempurung atau batok, daging buah, dan tentunya air kelapa yang membasahi kerongkongan.
Demikian juga petani. Petani menjual satu butir kelapa utuh pada industri untuk diolah. Keutuhan itu terdiri dari sabut kelapa, tempurung kelapa, daging buah, dan air kelapa.
Sayangnya, saat ini industri pengolah kelapa terpisah atau belum terintegrasi. Pengolah sabut, tempurung, daging buah, dan air kelapa cenderung terpisah, bahkan berada di daerah berbeda.
Wakil Ketua Umum Himpunan Masyarakat Kelapa Online Terpadu Indonesia (Himkoti) Iwan R menyebutkan, industri pengolahan kelapa masih tersebar dan belum terintegrasi. Dia mencontohkan, sentra pengolahan sabut berada di Lampung, air kelapa di Bogor (Jawa Barat), dan daging buah di Riau.
”Ketidakpaduan industri pengolahan ini menjadi salah satu permasalahan yang menyebabkan nilai ekonomi kelapa rendah,” ujarnya.
Industri pengolahan kelapa masih tersebar dan belum terintegrasi. Ketidakpaduan industri pengolahan ini menjadi salah satu permasalahan yang menyebabkan nilai ekonomi kelapa rendah.
Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) Muhaemin Tallo, harga kelapa saat ini berkisar Rp 800-Rp 1.200 per butir. Harga ini masih di bawah titik optimal.
”Harga itu tergolong rendah karena kendati dibeli satu butir utuh, industri pengolah hanya memanfaatkan satu atau dua komponen bahan dan sisanya cenderung dibuang,” katanya.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Pengusaha Minyak Kelapa Indonesia M Tohier menambahkan, harga ideal kelapa di tingkat petani diperkirakan Rp 2.000 per butir. Harga tersebut dapat terbentuk jika industri terpadu kelapa membeli dan memanfaatkan semua komponen kelapa.
”Angka itu terdiri dari sabut kelapa Rp 50, air kelapa Rp 100, tempurung kelapa Rp 500, dan sisanya untuk daging kelapa yang memiliki komponen harga terbesar,” ujarnya.
Nilai tambah
Padahal, apabila kelapa diolah secara terpadu atau terintegrasi, nilai ekonominya akan semakin tinggi. Dampak positifnya tidak hanya dirasakan industri, tetapi juga petani.
Industri yang memanfaatkan sabut akan menghasilkan serat organik yang menjadi bahan baku antara bagi industri lain. Serat organik ini dapat diolah menjadi tali tambang, doormat, dan alternatif media tanam pengganti tanah.
Tempurung kelapa akan diolah oleh industri arang. Arang menjadi bahan baku antara untuk briket dan karbon aktif.
Industri pengolah daging buah dapat menghasilkan kopra dan santan. Di tingkat lanjut, bahan itu dapat menjadi virgin coconut oil (VCO) dan minyak goreng.
Adapun air kelapa dapat dimanfaatkan industri menjadi minuman kemasan. Selain itu, air kelapa juga dapat diolah menjadi cocoetanol.
Pada 2018, Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar menyinggung tentang sabut kelapa saat membuka Dialog dan Pertemuan Bisnis Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Otonomi Expo 2018. Tentu saja hal itu bukan tanpa maksud.
Meski tergolong sampah, sabut kelapa memiliki potensi ekspor tinggi. Belanda, Jerman, China, Malaysia, dan Korea membeli sabut kelapa sebagai bahan baku beberapa produk, seperti kasur, spring bed, peredam, dan tali, serta berbagai produk penyaring.
Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia mencatat, potensi devisa sabut kelapa nasional cukup besar, yaitu diperkirakan Rp 13 triliun per tahun. Namun, kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan sabut kelapa dunia baru 3 persen. Jauh daripada India yang menguasai pasar sebesar 55 persen.
Najmul, yang juga Koordinator Wilayah Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menyatakan, dari sabut kelapa, Apkasi akan memulai kolaborasi antarpemerintah daerah untuk meningkatkan devisa negara. Konsepnya adalah pemerintah-pemerintah daerah yang memiliki komoditas dan produk sejenis bekerja sama memenuhi permintaan-permintaan sejumlah negara.
Hal itu berawal dari tawaran kerja sama sebuah perusahaan besar China agar Pemkab Lombok Utara mengirim 600 ton sabut kelapa per hari. Lantaran tidak bisa memenuhi sendiri, Pemkab Lombok Utara mengajak daerah-daerah penghasil kelapa memenuhi permintaan itu.
Industri terpadu
Untuk itulah Himkoti berencana membentuk perusahaan induk industri kelapa terpadu. Perusahaan induk itu akan menaungi petani, distributor, dan pelaku industri pengolah setiap komponen kelapa. Ke depan, perusahaan tersebut juga akan membentuk ekosistem dalam jaringan (daring).
Ketua Umum Himkoti Mufti Mubarok memperkirakan, pengembangan perusahaan induk tersebut membutuhkan biaya sekitar Rp 500 miliar. Karena berupa perusahaan induk yang juga melibatkan pengusaha, pembiayaannya berasal dari iuran. Pembiayaan melalui teknologi finansial juga dipertimbangkan.
Himkoti berencana membentuk perusahaan induk industri kelapa terpadu. Perusahaan induk itu akan menaungi petani, distributor, dan pelaku industri pengolah setiap komponen kelapa.
Dengan adanya industri terpadu, petani dapat menikmati harga yang mencakup pemanfaatan seluruh komponen pada kelapa. ”Awal Oktober nanti, Himkoti akan mencari wilayah percontohan untuk pengembangan industri kelapa terpadu,” ujarnya.
Keterpaduan industri tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan potensi kelapa yang ada di Indonesia. Kementerian Pertanian mengestimasikan, luas lahan kebun kelapa di Indonesia pada 2017 mencapai 3,54 juta hektar dengan total produksi 2,87 juta ton dan melibatkan 17.232 petani.
Pengoptimalan nilai ekonomi kelapa bergantung pada keterpaduan industri. Nilai ekonomi yang maksimal akan menjadi kesegaran bagi kesejahteraan petani kelapa.