JAKARTA, KOMPAS — Komitmen penurunan emisi gas rumah kaca secara global yang mengarah pada penambahan 2,7 derajat celcius tak membuat Indonesia melangkah maju lebih agresif. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Hutan Alam Primer dan Gambut yang semula diharapkan bisa membuat langkah Indonesia di sektor lahan lebih ambisius, masih memunculkan pesimistis.
Instruksi presiden tersebut memiliki serentetan kelemahan yang tidak akan menghentikan kerusakan hutan dan gambut, sumber emisi terbesar Indonesia saat ini. Inpres yang terbit sejak tahun 2011 dan diperpanjang dua tahunan tersebut memberikan sejumlah pengecualian serta celah bagi pengurangan hutan.
“Inpres 5/2019 merupakan langkah maju, namun sangat disayangkan masih banyak celah atas implementasi kebijakan ini, terutama peta indikatif (PIPPIB) yang masih akan terus diubah dalam setiap enam bulan,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Minggu (25/8/2019), di Jakarta.
Inpres 5/2019 merupakan langkah maju, namun sangat disayangkan masih banyak celah atas implementasi kebijakan ini, terutama peta indikatif yang masih akan terus diubah dalam setiap enam bulan.
Perubahan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) ini bisa dimanfaatkan untuk menyasar hutan-hutan alam primer. Modusnya dengan menurunkan status hutan alam primer melalui berbagai aktivitas pembalakan sehingga status tutupan menjadi hutan sekunder yang bisa dilepaskan dari peta PIPPIB pada periode berikutnya untuk dibebani izin. Ini karena penyusunan PIPPIB yang tak transparan dan melibatkan publik sehingga minim kontrol independen.
Sejumlah pihak merekomendasikan agar pemerintah memberikan perlindungan penghentian izin baru juga pada hutan alam sekunder. Diharapkan perlindungan hutan alam sekunder tersebut bisa meningkatkan statusnya menjadi hutan alam primer melalui suksesi alam maupun proyek restorasi atau rehabilitasi hutan.
Deforestasi meningkat
Analisis yang sudah dilakukan Greenpeace , tingkat deforestasi telah meningkat justru di area-area yang berada di dalam area moratorium sejak pemberlakuan moratorium. Analisis juga menunjukkan bahwa sepertiga area yang terbakar di Indonesia dalam periode 2015-2018 berada di kawasan moratorium.
Selama periode 2011-2018 ditemukan bahwa 4,5 juta hektar area hutan dan lahan gambut yang kaya karbon telah dihapus dari peta dan 5,3 juta hektar dimasukkan ke dalam moratorium di area-area lain. hasil analisa lain menunjukkan bahwa 33,3 juta ha hutan primer, dan juga lebih dari 6,5 juta ha lahan gambut, yang sebagian juga masih berhutan yang tidak dimasukkan dalam moratorium dan yang masih berisiko mengalami deforestasi dan pengeringan gambut.
Analisa ini telah dibantah KLHK dengan menunjukkan pada periode yang sama menunjukkan terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) sebesar 38 persen dan total areal terbakar sampai Juli 2019 seluas 135.000 ha, sejumlah 77 persen berada di luar area moratorium (PIPPIB). Namun, jawaban KLHK tersebut direspons balik oleh Greenpeace yang keukeuh pada hasil analisanya dan meminta agar KLHK menunjukkan metode dan datanya yang bisa diakses publik.
Secara terpisah, Zenzi Suhadi, Kepala Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, pun sepakat dengan berbagai kelemahan dan celah Inpres Nomor 5 Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 5 Agustus 2019. Namun, Walhi juga menyambut inpres tersebut sebagai langkah maju dalam penyelamatan hutan yang masih tersisa, pembenahan tata kelola dan menunjukkan komitmen Presiden terhadap upaya menanggulangi krisis iklim dengan mengurangi emisi terutama dari sektor berbasis lahan.
Meski demikian, Walhi memiliki beberapa catatan agar tujuan Inpres tersebut bisa tercapai. Zenzi mencatat inpres ini masih bisa “ditelikung” dengan memanfaatkan proses usulan perubahan tata ruang di daerah. Meski memerintahkan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan percepatan konsolidasi PIPPIB ke dalam revisi peta tata ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola penggunaan lahan melalui kerja sama dengan gubernur dan bupati/wali kota, pada kenyataannya justru alih fungsi kawasan hutan ke non-kawasan hutan terjadi akibat revisi tata ruang di tingkat daerah.
Inpres ini masih bisa “ditelikung” dengan memanfaatkan proses usulan perubahan tata ruang di daerah.
Alih fungsi tersebut menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan degradasi hutan yang menambah emisi dari sektor berbasis lahan. Hingga Agustus 2014 terjadi pelepasan kawasan hutan hingga 7,8 juta hektar, karena tuntutan penyesuaian ke dalam tata ruang daerah.
Hal yang terbaru, ia menunjukkan usulan perubahan tata ruang Provinsi Bengkulu. Pada Kawasan TWA Seblat, Taman Buruh Semidang Bukit Kabu, Hutan Lindung Rindu Hati (Kelompok hutan lindung Bukit Daun) yang diusulkan untuk dilepaskan tersebut merupakan hutan yang saat ini tengah dimoratorium atau masuk dalam PIPPIB Revisi XV yang ditetapkan Menteri LHK pada 17 Desember 2018.
Lebih lanjut, Kiki mengatakan, setelah membaca Inpres Nomor 5 Tahun 2019 yang masih memiliki banyak kelemahan, Greenpeace berpendapat bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani perlindungan hutan dan lahan gambut. Dalam komitmen penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (NDC) pada Kesepakatan Paris, sebesar 29-41 persen, sejumlah 17 persennya menggantungkan capaian pada sektor lahan. Ini karena penggunaan lahan dan emisi kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 63 persen dari emisi yang dinyatakan Indonesia.
“Menghentikan deforestasi dan pengeringan lahan gambut adalah masalah yang sangat penting dan harus dilakukan segera. Kita memasuki masa krisis dikodisi iklim saat ini,” kata dia.
Apalagi dalam laporan panel ahli antar pemerintah, pekan lalu, berjudul Climate Change and Land, menunjukkan 23 persen atau 5,2 ton giga ton setara CO2 emisi kabon tahunan manusia berasal dari lahan. Tapi lahan juta berperan menyerap karbon yaitu 11,2 giga ton setara CO2 per tahun atau lebih besar dari dua kali emisi Indonesia saat kebakaran hutan dan lahan besar terjadi di tahun 2015.