Pemerintah Kabupaten Ponorogo menggelar Festival Budaya Bumi Reyog yang dirangkai dengan peringatan HUT ke-523 Kabupaten Ponorogo dan Gerebek Suro. Festival ini tidak sekadar ajang menampilkan atraksi berkesenian, tetapi juga bagian dari upaya membumikan seni tradisi, terutama reyog Ponorogo.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
PONOROGO, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Ponorogo menggelar Festival Budaya Bumi Reyog yang dirangkai dengan peringatan ulang tahun ke-523 Kabupaten Ponorogo dan Gerebek Suro. Festival ini tidak sekadar ajang menampilkan atraksi berkesenian, tetapi bagian dari upaya membumikan seni tradisi, terutama reyog Ponorogo.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Ponorogo Bambang Wibisono mengatakan, pergelaran yang menampilkan 31 ragam acara ini mendapat dukungan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Platform Indonesiana.
Festival Nasional Reyog berlangsung 26-30 Agustus 2019, sedangkan Festival Budaya Bumi Reyog dilaksanakan 31 Juli sampai 31 Agustus 2019.
Dari 31 ragam kegiatan, sebanyak 13 masuk program Platform Indonesiana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dukungan itu diutamakan pada kesenian yang berorientasi reyog, seperti pameran lukis reyog, Festival Nasional Reyog Ponorogo XXVI, Festival Reyog Mini XVII, dan Reyog Desa Plunturan.
”Dari 31 ragam kegiatan, sebanyak 13 masuk program Platform Indonesiana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” ujar Bambang, Senin (26/8/2019).
Dukungan tak hanya berbentuk pendanaan, tetapi juga pendampingan dan bengkel kerja dengan harapan pengelolaan terhadap penyelenggaraan kegiatan menjadi lebih baik. Komunitas yang terlibat menjadi lebih banyak sehingga menjadi kebanggaan bangsa.
Peserta meningkat
Bambang mengatakan, peserta festival tahun ini lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Reyog mini merupakan festival yang digelar untuk usia pelajar sekolah menengah pertama. Jumlah pesertanya 34 atau meningkat dari tahun sebelumnya 33 peserta. Peserta merupakan perwakilan sekolah atau komunitas yang ada di Ponorogo.
Adapun reyog nasional diikuti 37 peserta atau meningkat dari sebelumnya 31 peserta. Mereka tidak hanya berasal dari Ponorogo, tetapi juga sejumlah daerah di Nusantara. Peserta adalah masyarakat umum, baik mahasiswa maupun komunitas. Hanya lima peserta yang berasal dari Kabupaten Ponorogo.
”Selama enam tahun terakhir, hanya lima kecamatan yang diberi kesempatan mewakili Ponorogo di ajang festival nasional. Hal itu untuk memberikan kesempatan kepada peserta dari luar daerah,” katanya.
Bambang menyebutkan, alasan pembatasan peserta karena keterbatasan durasi pementasan. Festival yang berlangsung lima hari hanya bisa menampung maksimal 40 peserta. Festival reyog menjadi festival terlama dalam penyajian kesenian dan terlama dalam penyelenggaraan.
Setiap peserta diberi waktu pementasan maksimal 20 menit. Apabila kurang dari 20 menit, dikhawatirkan konteks reyog tidak bisa disajikan dengan baik karena ada ”buku kuning” atau aturan dalam festival reyog nasional yang harus dipatuhi. Hanya garapan koreografi dan komposisi musik yang tidak harus sesuai buku kuning.
Salah satu peserta Festival Reyog Mini adalah pelajar SMPN 2 Ponorogo. Sekolah ini hampir setiap tahun mendaftar dengan jumlah pemain yang cukup banyak, yakni 52 orang. Rincian para pemain ialah 28 penari jathil (kuda), 16 penari warok (kesatria), 5 penari barong (kepala singa), 2 penari ganong (panglima), dan 1 orang memainkan peran sebagai Prabu Kelono Suwandono, Raja Kerajaan Bantar Angin.
”SMPN 2 Ponorogo menjadi peserta festival sejak 2014 dan selama itu baru dua kali meraih prestasi masuk tiga besar,” ujar guru SMPN 2 Ponorogo, Sigit Sapto Margono.
Sigit menuturkan, sebagai warga Ponorogo, pihaknya terpanggil untuk melestarikan seni tradisi reyog sejak dini dengan mengenalkannya kepada pelajar. Harapannya, interaksi dengan seni tradisi mampu melahirkan sebuah kecintaan yang akhirnya berujung pada kesadaran untuk melestarikan.
”Reyog”, bukan reog
Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo Rido Kurnianto, yang merupakan peneliti reyog, mengatakan, penggunaan kata yang benar adalah reyog, bukan reog.
Reyog digambarkan seperti riyeg-nya (berisik) rumpun bambu yang mampu membersihkan ’kotoran’ di sekitarnya.
Kata reyog berasal dari kata riyeg yang berarti ramai, konon diambil dari suara rumpun bambu yang diterpa angin sehingga menimbulkan suara ramai yang berisik. Pada zaman dahulu, hutan bambu dipercaya merupakan tempat bersemayam para dewa dan seni reyog merupakan tradisi tolak bala (menjauhkan dari hal-hal yang berbahaya atau serangan penyakit yang mematikan).
”Reyog digambarkan seperti riyeg-nya (berisik) rumpun bambu yang mampu membersihkan ’kotoran’ di sekitarnya,” ucap Rido.
Pada masa pemerintahan Bupati Markum Singodimedjo (1994-2004), kata reyog diganti ”reog” dan menjadi slogan daerah. REOG merupakan kepanjangan dari resik, endah, omber, girang-gemirang, yang artinya bersih, indah, makmur, dan bahagia.