Peristiwa terbakarnya Kapal Motor Santika Nusantara pada Kamis lalu kembali menyadarkan betapa masih rendahnya perhatian kita pada keselamatan pelayaran.
Kapal motor yang bertolak dari Surabaya, Jawa Timur, Kamis (22/8/2019) pagi, menuju Balikpapan, Kalimantan Timur, itu terbakar pada malam harinya pukul 20.45 di perairan Kepulauan Masalembu, Sumenep, Jawa Timur. Hingga kemarin, tiga orang dinyatakan tewas, yaitu seorang anak buah kapal dan dua penumpang. Sejumlah penumpang dinyatakan masih hilang.
Musibah ini mengingatkan kita pada KMP Tampomas II yang juga terbakar dan kemudian tenggelam di sekitar Kepulauan Masalembu pada 27 Januari 1981. Dalam musibah ini sebanyak 288 penumpang tewas. Kita bersyukur bahwa pada musibah KM Santika banyak penumpang selamat. Tercatat, 309 penumpang dan anak buah kapal dievakuasi. Namun, catatan ini sekaligus menyingkap tabir masih buruknya standar keselamatan pelayaran.
Data evakuasi itu juga menunjukkan bahwa dokumen manifes penumpang KM Santika hanya dibuat ala kadarnya. Jumlah penumpang disebutkan terdiri dari 100 orang dewasa, 6 anak-anak, dan 6 anak balita, serta mengangkut 84 kendaraan. Faktanya, penumpang yang dievakuasi berjumlah tiga kali lipat lebih besar.
Apa yang menyebabkan KM Santika terbakar, Kantor Kesyahbandaran Utama Pelabuhan Tanjung Perak belum bisa menyimpulkan. Investigasi akan dilakukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Kementerian Perhubungan kerap mengingatkan semua pemangku kepentingan dalam pelayaran agar memperhatikan keselamatan pelayaran. Namun, hal itu tampaknya tidaklah cukup. Agar kasus serupa tidak terulang dan keselamatan pelayaran benar-benar menjadi perhatian, kita berharap KNKT mengungkap semua temuan. Lembaga peradilan pun dapat menindak secara hukum semua pihak yang melanggar.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sudah mengatur tegas peran semua pemangku kepentingan dalam menjaga keselamatan. Sanksi pidana telah diatur rinci. Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta. Jika perbuatan dimaksud mengakibatkan kematian, pelaku dapat dipenjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok, dapat ikut memantau penyelenggaraan kegiatan pelayaran, memberi masukan, bahkan mengajukan gugatan terhadap kegiatan pelayaran yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
Sebagai negara maritim dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia dan bercita-cita menjadi poros maritim dunia, sudah saatnya Indonesia menunjukkan kesungguhan untuk meningkatkan standardisasi keselamatan dan keamanan pelayaran.