Melayang di Ketinggian Kosta Rika hingga Menginap di Hotel ”Pretty Woman”
Pengalaman wartawan Kompas Stefanus Osa ketika meliput ke Kosta Rika, meluncur dari ketinggian sepanjang lebih dari 2 kilometer. Belum lagi, berjalan di atas jembatan tali yang bergoyang-goyang dengan buaya menunggu di bawahnya.
Seumur-umur belum pernah senekat ini. Meluncur dari ketinggian sepanjang lebih dari 2 kilometer. Berawal dari ”malu” kepada teman satu kelompok kalau tidak ikutan, akhirnya saya bisa punya pengalaman ”terdahsyat” sepanjang menjadi wartawan Kompas, di Kosta Rika pula.
Perjalanan ke negeri kecil Kosta Rika boleh dibilang perjalanan dinas terjauh saya selama 19 tahun menjadi wartawan Kompas. Tidak pernah terbayangkan, setelah melewati ”perjuangan” sejak proses mengurus dokumen perjalanan di Jakarta, tibalah saya di negara yang terletak di Amerika Selatan ini.
Setelah segala kendala yang dihadapi di Tanah Air, akhirnya kami berhasil melewati pintu imigrasi bandara internasional Juan Santa Maria. Saya, wartawan Bisnis Indonesia Chamdan Purwoko, dan Adrian Tirtadjaja (General Manager Lexus Indonesia) selaku pengundang berpelukan melepas rasa gembira. Mirip seperti adegan di film serial anak-anak Teletubbies.
Di depan tulisan ”Welcome to Costa Rica”, kami juga saling berjabat erat setelah menembus meja-meja imigrasi. Boleh dibilang agak norak. Namun, begitulah kenyataannya.
Sejak persiapan keberangkatan untuk mengikuti acara ”30 Tahun Milestones Lexus” di Kosta Rika, kami merasa gundah karena dihadang kendala pengurusan visa. Namun, kurang elok rasanya kalau saya beberkan di sini. Sementara Adrian, sang ”maestro” Lexus Indonesia, acap kali berucap, ”Niat kita baik. Biarkan Dia membukakan jalan untuk perjalanan kali ini.”
Seingat saya, perkataan itu tidak hanya diucapkan saat kami berkomunikasi lewat ponsel. Bak mantra, kalimat itu diucapkannya kembali saat berada di Bandara Soekarno-Hatta dan setibanya di Bandara Los Angeles, Amerika Serikat, bahkan saat duduk santai sarapandi selasar luar restoran Four Seasons Hotel Beverly Wilshire yang menghadap persimpangan Rodeo Drive, Wilshire Boulevard, Beverly Hills, AS.
Singgah di Los Angeles
Sebelum ke Kosta Rika, kami singgah dua malam di Los Angeles (LA). Suhu udara saat itu mencapai 27 derajat celsius. Suhu ini jauh lebih rendah daripada sehari sebelumnya yang mencapai 40 derajat celsius, seperti diceritakan Donny, driver Lexus asal Padang, Sumatera Barat, yang menjemput kami di bandara. Ia juga berkisah, setengah jam sebelum kami mendarat, LA diguncang gempa bermagnitudo 7,4.
Sore hari, terik mentari menaungi LA. Namun, semilir angin membuat udara tidak terasa gerah. Tiba di hotel tempat kami menginap, Four Seasons Hotel Beverly Wilshire, saya teringat informasi yang pernah disampaikan Adrian, ”Ini hotel menjadi salah satu lokasi shooting film zadul Pretty Woman.”
Wow. Ingatan saya pun terbang ke tahun 1990-an saat film Pretty Woman populer. Film ini bercerita tentang cinta tak biasa yang diperankan aktor Richard Gere dan aktris cantik Julia Roberts. Masih teringat adegan langkah-langkah Vivian Ward (Julia Roberts) ketika memasuki hotel ini.
Tampilan hotel yang muncul dalam film hampir 30 tahun lalu itu tidak jauh berbeda dengan yang saya lihat sekarang. Pilar pintu masuk, ornamen dinding bagian atas hotel yang dilengkapi payung tenda hijau-putih, hingga posisi empat bendera yang masih sama, yakni dua bendera Amerika Serikat mengapit bendera California dan Kanada.
Ruang kamar tidur juga terasa kemewahannya seperti dalam film. Tempat tidur dengan enam bantal empuk nan lembut, dilengkapi dengan ruang tamu, dua pesawat televisi besar, dan kamar mandi yang ”wah”.
Pengalaman inilah rupanya yang ingin dikenalkan oleh Lexus yang mengusung slogan Experience Amazing kepada pelanggannya. Pengalaman dua hari di LA juga membuat kami ”terlupa” sejenak dengan acara inti yang akan kami hadiri di Kosta Rika.
Bagaimana tidak? Saat sarapan di selasar luar restoran hotel, kami berkesempatan mengamati gaya orang-orang kaya Beverly Hills seperti di film-film. Mobil mewah hilir mudik. Mulai dari Lexus, Rolls-Royce, Mercedes Benz, BMW, hingga mobil sport seperti Lamborghini, Ferrari, dan Lexus versi sport.
Tidak ketinggalan, Tesla yang sedang booming karena teknologi listriknya. Konon, konsumen di pasar otomotif AS sampai harus antre enam bulan untuk mendapatkan mobil Tesla.
Namun, di luar itu, ada pula pengalaman yang bikin senewen, yakni saat seorang ibu membawa seekor anjing kecil dengan cara menjinjingnya di dalam tas. Ngintip sedikit, ternyata itu tas yang terkenal mahal. Di Indonesia sering dijadikan ”upeti” untuk menyogok pejabat korup. Kami mengabadikan pemandangan tak biasa itu dengan telepon seluler. ”Orang kaya mah bebas-bebas saja,” kata Adrian.
Melanjutkan konsep experiencing, kami lantas mengunjungi tempat-tempat ikonik LA dan mencari sajian paling ”the best” di LA. Tidak lengkap tentunya tanpa mengunjungi ”Hollywood Sign” dari sisi Lake Hollywood Park dan trotoar Walk of Fame sepanjang 15 blok di Hollywood Boulevard, serta Farmers Market yang konon sudah ada sejak tahun 1934. Ramai sekali. Terlebih, banyak makanan serba murah yang siap disantap, termasuk seafood.
Tak ketinggalan, sajian makan yang disebut Adrian super delicious, yakni Spago dan restoran steak LA Prime. Lebih banyak kisah diungkapkan tentang Spago. Mulai dari Chef Wolfgang Puck hingga menu-menu lezat andalannya, termasuk piza yang renyah. Sementara LA Prime bukan sekadar steak yang boleh ditemani wine, melainkan juga pemandangan kota LA dari lokasi restoran di lantai 35 Hotel Westine Bonaventure ini.
Belum sempat beradaptasi dengan jetlag, kami sudah harus mengemas koper. Setelah sarapan pagi yang singkat, Donny kembali menjemput dengan Lexus GX 460. Kami pun terbang dengan pesawat Alaska dari bandara domestik LA menuju Kosta Rika.
Di dalam pesawat, duduk di sebelah saya seorang nenek yang membawa anjing kecil. Jangan heran, peliharaan seperti anjing agaknya memang diperbolehkan naik pesawat.
Dalam teori Mind Power yang akhir-akhir ini saya pelajari, enam jam perjalanan bakal membuat anjing resah. Meski sudah dibikin tidur, tetap saja menjelang mendarat, anjing ini akhirnya tidak tahan untuk buang air kecil di pangkuan si nenek. Untunglah, peralatan lengkap sudah dibawanya.
”Pura Vida”
Mendarat di bandara Kosta Rika, tertulis kata ”Pura Vida”. Slogan khas itu mengundang tanya di benak, apa maknanya. Namun, karena waktu kian beranjak petang, setelah lolos imigrasi, saya tidak mau ambil pusing untuk mencari jawabannya.
Rombongan jurnalis yang tiba lantas dijemput dengan deretan sedan Lexus yang telah disiapkan. Demikian pula dengan koper-koper kami yang dibawa dengan sedan Lexus terpisah.
Hari-H pun tiba. Puncak perayaan ”30 Tahun Milestones Lexus 2019”. Namun, bayang-bayang akan adanya panggung dan acara seremonial yang megah runtuh seketika.
Tidak terlihat sama sekali jajaran petinggi Lexus yang berpakaian resmi dengan jas dan dasinya. Hanya ada tampilan mobil Lexus LS 400 generasi pertama, SC 400, RX 300, dan LC 500. Penyelenggara acara bahkan kemudian mengisyaratkan para jurnalis untuk berpakaian kasual saja, termasuk bercelana pendek.
Ketika memasuki ruangan pertemuan, panitia penyelenggara menyambut dengan penjelasan singkat tentang pengalaman menakjubkan alias experience amazing yang bakal dirasakan bersama Lexus. Lalu, terpampanglah layar besar yang menampilkan foto tantangan highflying.
”Kita akan rasakan pengalaman terbang di alam terbuka,” kata Brian Bolan, General Manager for Lexus International Strategic Communications, Senin (8/7/2019).
Sebuah tas ransel hijau spotlight kemudiandibagikan kepada semua peserta. Isinya, antara lain, losion antinyamuk, sunblock, senter, alas duduk, jas hujan, dan piringan plastik untuk permainan. Dengan mengendarai mobil-mobil Lexus berbagai model sejauh sekitar 50 kilometer, semua peserta dibawa ke sebuah restoran pinggir pantai.
Baca juga: "Meleleh" Bersama Adrian Yunan
Selepas makan siang, kami diajak menuju Diamante Eco Adventure Park, Guanacaste, Kosta Rika. Peserta kemudian dibagi dalam kelompok-kelompok yang masing-masing beranggotakan lima orang. Kami ditantang mengikuti petualangan yang berada di depan mata. Pucuk-pucuk pepohonan terlihat dari ketinggian tempat kami berada. Di kejauhan, tampak lautan nan biru eksotik.
Tibalah pengalaman mendebarkan. Saya teringat salah satu pelajaran jurnalistik bahwa wartawan mesti terjun secara langsung. Merasakan tanpa harus menjadi larut, participant observer, bukan sekadar mengamati data lapangan.
Terdorong oleh ”doktrin” itu, saya pun memutuskan ikut bermain flying fox. Permainan luar ruang yang pertama kali saya alami ketika baru beberapa bulan bertugas sebagai wartawan Kompas. Hanya saja, saat itu, tahun 2001, saya hanya meluncur dari bukit yang tergolong pendek jaraknya di Taman Safari Indonesia, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Sejak itu, saya belum pernah lagi bermain flying fox. Waktu itu pun saya sebenarnya hanya nekat karena satu kelompok dengan sejumlah wanita yang bernyali luar biasa. Malulah rasanya kalau tidak ikut bermain.
Di Diamante ini sebenarnya justru ditawarkan sensasi edan. Bukan hanya sekali meluncur, melainkan berkali-kali. Flying fox pertama meluncur dengan jarak sekitar 200 meter. Selanjutnya, kami diajak naik truk menuju perbukitan yang sangat tinggi.
Di sinilah tantangan ”tergila” dimulai. Namanya, high flying. Posisi badan dibuat rileks serupa Superman terbang. Dengan dua tali mengait yang superkencang, satu demi satu peserta mulai dilepas. Rintik hujan menjadi sensasi tersendiri. Hal yang menegangkan, ternyata jarak luncurnya mencapai sekitar 1 kilometer. ”Don’t worry. Super safety,” kata pemandunya.
Baca juga: Mengantar Bintang Kembali ke Hutan
Setelah mengamati, jantung pun terasa berdegup kencang. Sayangnya, tidak ada satu pun alat pengukur tekanan jantung di area itu. Akhirnya, dengan sedikit menyesal, saya memutuskan tidak mengambil jalur high flying mengingat besoknya adalah satu hari menjelang uji kendara mobil-mobil keluaran Lexus, acara utama yang harus saya liput.
Tantangan rupanya tidak berhenti sampai di situ. Saya melanjutkan dengan jalur flying fox berikutnya yang berjarak sekitar 500 meter, berlanjut dengan jalur 300 meter dan 150 meter. Betul-betul berseri, nih.
Kosta Rika seperti membuat saya merapel flying fox yang jarang saya jalani selama ini. Ekspresi pun tak terperi. Mulai dari teriak karena takut ketinggian, takut jatuh, sampai akhirnya hanya bisa pasrah, menunggu kapan tiba di titik terakhir.
Rupanya ini belum berakhir. Saya kemudian diajak untuk terjun dari ketinggian sekitar 20 meter menggunakan seutas tali dengan matras pengaman menunggu di bawah. Anjloknya itu yang mengejutkan. Setelah itu, masih harus berjalan menuju tangga ke sebuah pohon besar. Dari situ, saya harus berjalan melintasi jembatan tali. Goyang-goyang itu pasti, sampai kemudian adrenalin terasa meloncat.
Di bawah jembatan, telah menunggu buaya dengan mulutnya yang menganga lebar. Siap memangsa sambil berendam di dalam kolam. Beruntung, saya segera terlepas dari jembatan sepanjang 50 meter itu yang menjadi titik terakhir rangkaian petualangan.
Sungguh, sebuah pengalaman yang luar biasa yang mungkin tidak akan saya alami jika tidak menjadi wartawan Kompas. Menjadi wartawan ”memaksa” saya berani terjun langsung untuk menghayati peliputan yang saya jalani. Pura vida....