Pemerintah Belum Serius Tangani Kasus Diskriminasi Ras
Mahasiswa di Palangkaraya menilai aksi intimidasi dan diskriminasi ras dan suku terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, bukan kasus pertama. Banyak kasus serupa yang bahkan melanggar HAM, tetapi dibiarkan oleh penegak hukum.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Mahasiswa di Palangkaraya menilai aksi intimidasi dan diskriminasi ras dan suku terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, bukan kasus pertama. Banyak kasus serupa yang bahkan melanggar HAM, tetapi dibiarkan oleh penegak hukum.
Hal itu terungkap dalam diskusi kepemudaan dengan tema Solidaritas Papua di Palangkaraya, Minggu (25/8/2019). Kegiatan tu dihadiri oleh berbagai organisasi kepemudaan yang ada di Palangkaraya.
Ketua Himpunan Mahasiswa Papua (Himapa) Yosafat Sani mengungkapkan, sampai saat ini belum ada titik terang dari kasus intimidasi yang dilakukan oleh salah satu ormas di Surabaya dan oknum aparat. Ia meminta oknum-oknum itu untuk dipecat dari tempatnya mengabdi dan diberi tindakan hukum.
”Apa yang terjadi di Papua, demonstrasi besar-besaran itu tidak akan berhenti sampai penegakan hukum berjalan normal, adil, dan terbuka,” kata Yosafat.
Yosafat mengungkapkan, dengan adanya kejadian itu negara dianggap gagal menjamin keamanan dan ketenteraman warga negaranya. Hal ini juga menunjukkan pemerintah belum serius menangani persoalan diskriminasi dan intimidasi.
Fernando Tenau, salah satu anggota perhimpunan tersebut, mengungkapkan, kejadian serupa terjadi terhadap masyarakat Papua pada umumnya yang berada di luar Papua. Kejadian terhadap mahasiswa itu bukan yang pertama terjadi.
”Ini puncak kemarahan masyarakat Papua hingga terjadi aksi massa seperti itu di sana karena ini bukan yang pertama,” kata Nando, sapaan akrabnya.
Nando mengungkapkan, tindakan tegas terhadap pelaku diskriminasi ras dan suku akan memberikan efek jera. Selain itu, hal itu juga menjamin kehidupan warga Papua di mana pun berada.
”Kami ini juga, kan, warga negara Indonesia, kenapa di Palangkaraya kami bisa hidup aman, tetapi di luar sana masih ada saja diskriminasi seperti itu,” ungkap Nando.
”Kami ini juga, kan, warga negara Indonesia, kenapa di Palangkaraya kami bisa hidup aman, tetapi di luar sana masih ada saja diskriminasi seperti itu,” ungkap Nando.
Di Palangkaraya sedikitnya terdapat 62 mahasiswa asal Papua yang tinggal di asrama Papua. Semua mahasiswa asal Papua itu kuliah di Universitas Palangka Raya (UPR).
Kepala Based Project Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalteng Aryo Nugroho mengungkapkan, terdapat undang-undang khusus untuk menangani persoalan diskriminasi dan intimidasi. Peristiwa yang terjadi terhadap mahasiswa Papua bukan masalah baru.
”Kasus sudah banyak, tetapi belum ada penegakan hukum serius, ini akan mengundang masalah-masalah lainnya,” kata Aryo.
Aryo mengungkapkan, LBH-YLBHI di 16 provinsi mencatat setidaknya terdapat 33 peristiwa diskriminasi dan intimidasi terhadap warga Papua yang mereka dampingi. Peristiwa serupa itu terjadi di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, dan Papua. Namun, belum ada satu pun kasus yang selesai dalam proses hukum.
”Pendekatan represif menggunakan senjata dan penambahan pasukan di Papua perlu dievaluasi karena tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Aryo.
Hal serupa juga diungkapkan Koordinator Justice, Peace, and Integrity Creation (JPIC) Kalteng Frans Sani Lake. Menurut dia, peristiwa yang sudah terjadi sejak lama itu merupakan kesengajaan.
”Peristiwa ini terjadi di bulan kemerdekaan, bulan suci untuk Indonesia. Ini semua by design bukan terjadi tiba-tiba,” kata Frans.
Frans mengungkapkan, aparat keamanan harus mengumpulkan fakta-fakta yang tercecer dan mengusut tuntas hingga ke aktor intelektual di balik diskriminasi yang terjadi selama ini terhadap masyarakat Papua. ”Minta maaf saja tidak cukup, usut tuntas kasus ini,” katanya tegas.