Kebahagiaan dari Bhutan
Malam itu, seluruh lampu di pondok penginapan di Gangtey tiba-tiba padam. Samar-samar, cahaya putih redup menelusup dari balik tirai. Ketika jendela dibuka, lukisan The Starry Night Van Gogh terhampar megah di langit yang terpulas indigo. Purnama bersinar anggun dan gemintang tumpah ruah. Di sini, listrik mati pun rupanya tak serta-merta mematikan kebahagiaan.
Beberapa jam sebelumnya, Khedrupchen Rinpoche menjamu kami, rombongan kecil empat wartawan dari empat negara, Indonesia (Kompas), Malaysia, Singapura, dan Thailand, yang diundang agen perjalanan Bhutan, Druk Asia (www.drukasia.com). Rinpoche muda bergaya funky itu mengajak kami menikmati berbagai masakan tradisional Bhutan, yang serba pedas dan gurih.
”Kemarikan piring Anda,” katanya hangat sembari menyendokkan nasi ke piring kami satu per satu.
Khedrupchen Rinpoche merupakan salah satu tokoh spiritual Buddha yang dihormati di Bhutan. Ia mendirikan yayasan Khedrup Foundation (khedrupfoundation.org) yang menyemaikan nilai-nilai universal Buddha dalam mendukung kemanusiaan dan perdamaian.
Di sela-sela santap malam itu, Rinpoche berbagi pikiran tentang makna kebahagiaan, yang seisi penduduk dunia ini kerap mencari-carinya. Dalam perspektif dunia luar, Bhutan memang telanjur identik dengan kebahagiaan. Ini tak lain berkat gagasan besar raja keempat Bhutan, Jigme Singye Wangchuck (1972-2006), yang enggan mengikuti arus utama dunia dalam mengukur kesejahteraan suatu negara. Ia tidak berpedoman pada gross national product (GNP) atau produk nasional bruto, pendapatan total ekonomi suatu negara selama setahun.
Baca juga: Agar Kita Tak Jadi "Cendol"
Sang Raja malah menelurkan gagasan sendiri untuk negerinya, yakni gross national happiness (GNH). Ini adalah pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan holistik, yang mengharmoniskan aspek material dan non-material, demi kebahagiaan rakyat. Dari gagasan besar GNH inilah yang kemudian turun menjadi empat pilar prinsip pembangunan, yakni konservasi lingkungan, preservasi dan promosi kebudayaan, keberlanjutan dan kesetaraan pembangunan sosial ekonomi, serta praktik pemerintahan yang baik.
Ide besar raja itu sebenarnya amat dipengaruhi filosofi ajaran Buddha dalam memaknai konsep kebahagiaan. Bhutan sendiri adalah negeri kerajaan Buddha Himalaya terakhir di dunia. Kini, setelah Bhutan lebih dikenal di arena internasional, mereka tak ragu untuk mempromosikan nilai-nilai warisan luhur itu kepada dunia.
Soal bagaimana memaknai kebahagiaan, Rinpoche menjelaskannya secara sederhana sebagai suatu kondisi batin yang terbebas (atau setidaknya berjarak) dari rasa menderita. Dan, itu dapat dimulai dengan melatih kesadaran atau mindfulness, kasih sayang atau compassion, kesabaran, kebaikan hati, dan kekosongan atau emptiness. Latihan meditasi menjadi metode yang signifikan untuk mengembangkan kemampuan tersebut.
Yang menarik, kunjungan turis internasional ke Bhutan kini tidak melulu sekadar melancong, tetapi juga untuk mempelajari dan melatih kemampuan berbahagia melalui aneka program retret yang diakomodasi berbagai operatur tur, seperti Druk Asia. Cipto Handoyo, Direktur Pemasaran Druk Asia, mengungkapkan, program retret itu kerap diminati kalangan profesional dari sejumlah negara. Mereka berlatar belakang berbagai bidang, mulai dari bankir, pengacara, pebisnis, juga dokter.
”Desember mendatang, misalya, kami membuat program retret Neykor. Rinpoche akan membimbing peserta bagaimana melatih keterampilan mindfulness secara mental dan spiritual, termasuk mempraktikkan compassion dalam manajemen bisnis,” kata Cipto.
Rinpoche pun mengungkapkan, kalangan komunitas Sillicon Valley (California, Amerika Serikat) pun saat ini mulai melirik nilai-nilai klasik tersebut untuk dipraktikkan dalam mengelola bisnis inovasi. Kesadaran untuk lebih menghargai hal-hal yang intangible, nilai-nilai klasik, ketidakmelekatan pada materi mulai bertumbuhan dan memberi keseimbangan baru pada dunia yang materialistik.
Menerima masalah
Lantas, apakah Bhutan adalah negeri tanpa masalah? Jelas tidak. Kami juga berbincang-bincang dengan Direktur Eksekutif Gyalyum Charitable Trust Tshering Uden Penjor. Lembaga non-pemerintahan ini didirikan Ibu Suri, Sangay Choden Wangchuck, yang salah satunya menggerakkan program pemberdayaan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Lembaga ini, melalui program respect, educate, nurture, and empower women (RENEW), berupaya memberdayakan perempuan korban KDRT menjadi lebih mandiri secara ekonomi dan sosial. RENEW juga mendorong dan mengadvokasi kaum perempuan di Bhutan untuk melaporkan setiap kasus kekerasan domestik yang mereka alami.
”Semula, itu sangat aib bagi perempuan sehingga mereka dulu tidak akan cerita. Kini mereka sudah lebih tersadarkan dan berani melapor. Keberanian perempuan itu bagus sebagai kampanye anti-kekerasan untuk kaum laki-lakinya,” kata Tshering.
Catatan studi termutakhir dari National Commission for Women and Children dan United Nations Development Programme (UNDP) menemukan, lebih dari 40.000 perempuan Bhutan berusia 15-64 tahun mengalami kekerasan dari pasangannya. Sayangnya, setengah dari responden perempuan yang diwawancara menganggap kekerasan dalam situasi tertentu yang menimpa mereka adalah suatu kewajaran.
”Kami akan terus bekerja keras mempromosikan kampanye anti-kekerasan ini dan mengubah pola pikir kaum perempuan,” kata Tshering.
Seperti dalam penjelasan Rinpoche tentang konsep kekosongan atau empetiness, kebahagiaan bukan berarti tidak punya masalah. Namun, bagaimana bereaksi terhadap masalah yang menjadi titik kuncinya. Respons terhadap masalah justru harus dimulai dengan sikap menerima sepenuhnya, kemudian mendekonstruksinya jadi solusi, lantas mentransformasikannya jadi hal baru yang bermanfaat.
”Misalnya, jika kita tidak punya toilet dan hanya ada sepetak tanah. Kotoran yang kita buang di tanah bisa kita jadikan pupuk untuk lalu menumbuhkan tanaman bunga yang indah. Kira-kira begitu,” ucapnya sambil tertawa-tawa.
Perempuan bekerja
Di sisi lain, tetap ada wajah terang sebagian kaum perempuan di Bhutan. Dechen Zangmo, perempuan Bhutan yang bekerja sebagai kurator di Bhutan Postal Museum, adalah potret terang itu. Setelah lulus sekolah, ia sempat mendapat beasiswa pemerintah untuk kuliah di jurusan teknik mesin. Namun, karena kurang tertarik, Dechen lantas mengambil studi seni di Asian University for Women di Bangladesh.
”Pemerintah kami sangat mendorong rakyatnya menempuh pendidikan tinggi. Seperti juga berobat, sekolah di sini semuanya gratis hingga lulus SMA. Setiap tahun, pemerintah memberi beasiswa kepada 200-an orang untuk studi ke luar negeri,” ungkap Dechen.
Ia merasa beruntung karena suaminya sangat mendukung karirnya dan bekerja sama secara setara dalam mengelola rumah tangga. Berbagai kebijakan pemerintah pun memberi daya dukung bagi para ibu bekerja seperti Dechen.
”Kami berhak mendapat cuti melahirkan dan menyusui (paid maternity leave) hingga 6 bulan. Pemerintah juga berinisiatif mendirikan daycare (penitipan anak) bagi ibu bekerja yang tak punya pengasuh,” kata Dechen.
Kebahagiaan dari negeri berjulukan ”The Last Shangrila” ini memang bukan kebahagiaan ala nirwana yang nirmasalah. Namun, bagaimana bereaksi terhadap masalah dengan itikad tulus untuk mengubahnya menjadi kebaikan bersama. Bukan kebaikan kelompok tertentu saja, apalagi untuk tawar-menawar kekuasaan politik semata.
Tulus pemimpinnya, bahagia rakyatnya.