Indonesia Butuh Strategi Jangka Panjang Hadapi Perang Dagang AS-China
Investor menganggap kebijakan ekonomi Indonesia cenderung tertutup sehingga peluang perang dagang AS-China sulit ditangkap. Hal itu tercermin dari investasi asing yang masuk ke Indonesia relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mesti menyiapkan strategi jangka panjang dalam menghadapi kemelut perang dagang Amerika-Serikat dan China. Percepatan industrialisasi bukan satu-satunya kunci menuju negara berdaya saing global.
Guru Besar Univesitas Leiden, David Henley, di Jakarta, Minggu (25/8/2019), berpendapat, ada banyak negara maju bukan dengan industrialisasi. Mereka justru mengoptimalkan potensi dalam negeri untuk menembus pasar ekspor, seperti Australia dengan produk pertanian, Selandia Baru dengan produk hewani, dan Korea Selatan dengan pariwisata dan kebudayaan.
“Industrialisasi bukan satu-satunya kunci menjadi negara kaya apalagi di tengah dinamika perang dagang AS-China,” kata Henley dalam diskusi bertajuk "ASEAN di antara perang dagang AS-China: bagaimana seharusnya respons Indonesia? di Jakarta, Minggu.
Menurut Henley, percepatan industrialisasi sebaiknya menjadi kebijakan ekonomi jangka pendek. Dinamika perekonomian global yang berubah cepat memungkinkan industrialisasi tidak dapat mendorong ekspor di masa depan. Oleh karena itu, industrialisasi diarahkan untuk transfer teknologi dan pemetaan produk ekspor unggulan.
Kebijakan jangka panjang disarankan fokus pada keterbukaan ekonomi dan kemudahan berusaha. Investor menganggap kebijakan ekonomi Indonesia cenderung tertutup sehingga peluang perang dagang AS-China sulit ditangkap. Hal itu tercermin dari investasi asing yang masuk ke Indonesia relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand.
“Kebijakan ekonomi yang tertutup bukan hanya dari aspek undang-undang formal, tetapi kemudahan berusaha,” kata Henley.
Kunci memenangkan persaingan
Henley mengatakan, keterbukaan ekonomi dan kemudahan berusaha jadi kunci untuk memenangkan persaingan global yang kini masih dibayang-bayangi ketidakpastian perang dagang AS-China. Ekspor bernilai tambah hanya bisa terwujud apabila investasi asing masuk ke Indonesia. Investasi yang ditarik juga tidak melulu harus terkait industri pengolahan.
Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berusaha 2019 menempatkan Indonesia di peringkat ke-73 dari 190 negara. Adapun menurut International Institute for Management Development, daya saing RI berada di peringkat ke-32 dari 63 negara. Regulasi dan perizinan, termasuk kemudahan pembayaran pajak, jadi persoalan utama Indonesia.
Di sisi lain, lanjut Henley, Indonesia tetap harus berhati-hati dalam menarik investasi asing. Kepentingan politis kerap kali menyertai masuknya investasi asing langsung. Kehati-hatian dalam menarik investasi ini terkait perseteruan dagang AS-China. Indonesia disarankan bersikap netral untuk mencegah ekonomi domestik memburuk.
“Kita semua harus memahami bahwa perang dagang AS-China bukan semata-mata kepentingan nasional kedua negara, tetapi lebih dari itu adalah pertarungan ide dan perebutan hegemoni,” kata Henley.
Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi pada Januari-Juni 2019 sebesar Rp 395,6 triliun, yang terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 212,8 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 182,8 triliun. Adapun target investasi pada 2019 sebesar Rp 792 triliun.
Defisit transaksi berjalan
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Indonesia Didik J Rachbini mengatakan, struktur perekonomian Indonesia rapuh dibandingkan negara-negara di kawasan Asia, yang tercermin dalam defisit transaksi berjalan.
Menurut Didik, hampir semua negara di Asia memperkuat struktur perekonomian pascakrisis ekonomi 1997-1998. Neraca transaksi berjalan berubah dari defisit menjadi surplus, seperti Thailand surplus 8,1 persen produk domestik bruto (PDB), Korea Selatan 4,7 persen, Malaysia 3,3 persen, dan China 0,7 persen.
“Neraca transaksi berjalan Indonesia masih juga defisit 2,9 persen PDB. Artinya, Indonesia belum berhasil menampilkan tim ekonomi yang bagus selama 20 tahun,” kata Didik.
Permasalahan utama Indonesia dalam neraca transaksi berjalan adalah defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer. Perkembangan teknologi berpotensi menarik lebih banyak devisa ke luar negeri seiring pertumbuhan perusahaan-perusahaan berbasis digital. Situasi itu mesti diantisipasi demi menjaga stabilitas rupiah.
Transformasi ekonomi
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, ada tiga penyebab defisit transaksi berjalan, yaitu neraca perdagangan lebih sering defisit—terutama sektor jasa pengangkutan kapal—arus modal masuk ke dalam negeri masih kurang, serta ketergantungan komoditas alam.
Bambang mengatakan, transformasi ekonomi yang konsisten dan berkelanjutan menjadi kunci memperkecil defisit transaksi berjalan. Upaya tersebut ditempuh dengan meningkatkan produktivitas sektor pertanian, industri, dan jasa.
Pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN 2020-2024 ditargetkan berkisar 5,4 persen-6 persen per tahun. Target itu bisa tercapai apabila defisit transaksi berjalan konsisten mengecil, investasi tumbuh di atas 7 persen, serta tercipta net ekspor.
Editor:
hamzirwan
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.