Kemampuan membangun argumentasi ilmiah di kalangan akademisi Indonesia dinilai masih lemah. Selain menuntut kemampuan berpikir kritis, untuk mampu membangun argumentasi ilmiah juga menuntut pengembangan diri dan wawasan.
JAKARTA, KOMPAS — Membangun argumentasi ilmiah dan kritis ternyata masih menjadi tantangan bagi akademisi Indonesia. Kebiasaan membaca dari beragam perspektif harus semakin digalakkan untuk memungkinkan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diperdebatkan.
"Pertanyaan yang menjadi topik utama penelitian tidak boleh untuk mencari jawaban ya atau tidak. Harus sebuah pertanyaan yang meminta jawaban kompleks, bukan sekadar deskriptif, dan bisa diulas serta diperdebatkan dari berbagai sudut pandang," kata Lektor Kepala Kajian Keagamaan Hobart and William Smith, Amerika Serikat, Etin Anwar dalam diskusi kluster identitas, keragaman, dan budaya di Simposium Cendekiawan Kelas Dunia 2019, Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Ia berbicara di hadapan sivitas akademisi berbagai perguruan tinggi dalam negeri. Etin menjelaskan, kemampuan berpikir kritis lahir dari banyak membaca jurnal, artikel, dan buku-buku di topik yang hendak diteliti. Baik mendukung teori dan temuan atau pun membantahnya. Analisa hasil bacaan yang melahirkan berbagai argumen yang kemudian dipilah sesuai relevansi dengan riset.
"Dari pengalaman membaca banyak makalah dan riset mahasiswa pascasarjana di Tanah Air, aspek ini masih lemah," tuturnya.
Etin mengatakan, proses pembangunan argumentasi berawal dari mengetahui diri sendiri dan latar belakang budaya masing-masing, menemukan diri sendiri, dan menghargai diri sendiri yang kemudian diturunkan menjadi menghargai perbedaan dan keragaman. Pendidikan tinggi adalah proses mengembangkan diri dan wawasan, bukan sekadar belajar ilmu dan keterampilan.
Pendidikan tinggi adalah proses mengembangkan diri dan wawasan, bukan sekadar belajar ilmu dan keterampilan.
Pada bagian akhir pemelajaran dilakukan refleksi dengan meninjau kembali asumsi terhadap topik itu, yaitu menemukan perbedaan asumsi ketika baru belajar dan setelah banyak membaca argumentasi yang ditawarkan. Mereka mengurai persepsi masing-masing dan membangun yang baru.
Kelenturan kurikulum
Menteri Sekretaris Negara Pratikno ketika memberi kuliah umum mengatakan, guna membangun generasi yang memproduksi pengetahuan, program studi pendidikan tinggi tidak bisa lagi dilihat sebagai pohon-pohon tunggal melainkan sebuah belantara ekosistem yang bersinergi. Oleh sebab itu, pendekatan pendidikan yang dilakukan adalah lintas berbagai disiplin ilmu.
Ia menekankan, pada masa menjelang bonus demografi dan era disrupsi ini hal yang paling penting adalah data. Bukan sumber daya alam. Pengolahan dan pemanfaatan data tidak bisa bergantung kepada satu jenis ilmu, melainkan gabungan dari banyak disiplin yang kompleks.
"Kurikulum perkuliahan yang fleksibel akan membuat hal ini bisa dilakukan. Misalnya, 50 persen adalah mata kuliah wajib prodi dan sisanya mata kuliah pilihan," tutur mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini.
Selain itu, pengalaman magang di perusahaan, konsultan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga penelitian juga patut dipertimbangkan sebagai peningkatan kapasitas mahasiswa. Kurikulum mengembangkan kemampuan untuk menulis, mencari solusi, meneliti, berkreasi, dan bekerja sama.
Pengalaman magang di perusahaan, konsultan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga penelitian juga patut dipertimbangkan sebagai peningkatan kapasitas mahasiswa.
Pratikno juga mengusulkan untuk meninjau ulang praktik aturan tridharma perguruan tinggi. Hendaknya jangan menerapkan target yang sama untuk setiap dosen. Misalnya, dosen yang terlihat berminat di mengembangkan hilirisasi industri boleh mendapat kuota lebih rendah untuk aspek publikasi jurnal ilmiah. Demikian pula sebaliknya.
Sementara itu, Presiden Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Alan F Koropitan mengutarakan pentingnya ada teladan, yaitu oara peneliti dan profesional yang bisa menjadi isnpirasi. Misalnya, di sektor pertanian dan perikanan harus dimunculkan petani dan nelayan teladan yang bisa menjadi inspirasi bagi para akademisi sebagai landasan mengembangkan riset di bidang itu.