Penjabat Kepala Daerah Jangan Jadi ”Boneka” Pejabat Politik
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian aparatur sipil yang mengisi posisi penjabat kepala daerah pada masa transisi pemilihan kepala daerah dinilai tidak profesional. Mereka kerap kali membawa kepentingan atau menjadi ”boneka” pejabat politik yang kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian aparatur sipil yang mengisi posisi penjabat kepala daerah pada masa transisi pemilihan kepala daerah dinilai tidak profesional. Mereka kerap kali membawa kepentingan atau menjadi ”boneka” pejabat politik yang kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Hal itu membuat penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik berjalan tidak optimal. Sebab, kebijakan-kebijakan yang mereka buat, termasuk pembuatan dan penganggaran program, diarahkan untuk kepentingan pejabat politik tersebut.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, kondisi pemerintahan daerah yang akan dipimpin ratusan penjabat kepala daerah harus disiapkan jauh-jauh hari oleh Kementerian Dalam Negeri. Salah satu aspek pentingnya adalah ketepatan memilih aparatur sipil negara (ASN) berdasarkan kompetensi.
Selama ini, penunjukan penjabat kepala daerah belum didasarkan pada sistem merit, tetapi kedekatan dengan pejabat politik. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, pejabat politik di sebuah instansi sekaligus menjabat sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN. Keberadaan dan perintah PPK amat menentukan nasib ASN.
Konsekuensinya, ASN yang ditugaskan kerap tak profesional, termasuk ketika menjadi penjabat kepala daerah. ”Sudah umum terjadi bahwa penjabat bupati atau wali kota itu ditugaskan untuk mengamankan kepentingan gubernur di kabupaten/kota. Para penjabat menjadi seperti \'boneka\' dari gubernur,” kata Robert, Jumat (23/8/2019).
Sudah umum terjadi bahwa penjabat bupati atau wali kota itu ditugaskan untuk mengamankan kepentingan gubernur di kabupaten/kota. Para penjabat menjadi seperti ”boneka” dari gubernur.
Pernyataan itu terkait dengan habisnya masa jabatan kepala/wakil daerah di 278 daerah dari total 548 daerah pada 2022 dan 2023. Sementara mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pilkada serentak akan digelar pada 2024. Dengan demikian, praktis ratusan daerah tersebut akan dipimpin penjabat kepala daerah hingga pelantikan kepala/wakil kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024.
Berdasarkan Pasal 201 UU Pilkada, penjabat merupakan pejabat pengganti gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang masa jabatannya sudah habis. Penjabat diisi oleh ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, baik di level pemerintah pusat maupun provinsi.
Untuk itu, kata Robert, Kementerian Dalam Negeri harus mulai menyiapkan skenario pengisian jabatan penjabat kepala daerah jelang Pilkada 2024. Harus ada jaminan bahwa para penjabat ditunjuk berdasarkan kompetensi manajerial dan pemahaman mumpuni soal situasi politik lokal. Jika tidak, keberlangsungan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di daerah bisa terganggu.
Berdasarkan data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), pengaduan pelanggaran netralitas ASN cenderung meningkat sepanjang 2016-2018. Selama empat kali penyelenggaraan pilkada, jumlah pengaduan pelanggaran cenderung naik. Pada 2015 ada 29 laporan, 2016 ada 55 laporan, 2017 sebanyak 52 laporan, dan 2018 ada 491 laporan.
”Sebagian dari pelanggaran itu dilakukan penjabat kepala daerah,” kata Komisioner KASN Irham Dilmy.
Irham mengatakan, mereka melanggar netralitas karena beberapa kebijakan yang dibuat penjabat kepala daerah itu ditujukan untuk menyukseskan pejabat politik yang kembali berkontestasi dalam pilkada. Modus yang dilakukan biasanya dengan cara mempromosikan atau memutasi ASN pada posisi yang memiliki anggaran besar.
Mereka melanggar netralitas karena beberapa kebijakan yang dibuat penjabat kepala daerah itu ditujukan untuk menyukseskan pejabat politik yang kembali berkontestasi dalam pilkada.
Contohnya, dinas pekerjaan umum dan perumahan rakyat di kabupaten/kota. ”ASN yang ditempatkan pada posisi tersebut diharapkan bisa jadi jalan masuk bagi pejabat politik untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah guna membiayai aktivitas politiknya,” ujarnya.
Untuk memuluskan langkah tersebut, lanjut Irham, penjabat kepala daerah juga kerap melanggar aturan administratif. Mereka dilarang memutasi atau mempromosikan ASN tanpa izin menteri dalam negeri untuk level pemerintah kabupaten/kota, dan izin dari presiden untuk level pemerintah provinsi. Namun, aturan itu dilanggar.
”Beberapa kasus seperti itu pernah terjadi di Kabupaten Banyuasin di Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Kabupaten Bekasi di Jawa Barat,” ujar Irham.
Irham menambahkan, kasus-kasus serupa harus dicegah. Penjabat kepala daerah harus profesional dan berintegritas. Sebab, dalam beberapa tahun ke depan, ratusan pemerintah daerah akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah.