Tak Mudah Melaut di Sebatik
Ketua Kelompok Nelayan Tunas Harapan di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Sebatik Timur, Nunukan, Kalimantan Utara, Nawawi (41), terlihat lesu saat ditanya perihal tangkapan ikannya pada hari itu, Selasa (13/8/2019). Ombak besar sudah 10 hari melanda sisi timur Pulau Sebatik. Selama itu pula, ia tidak melaut demi keselamatan.
Kelesuan Nawawi tersebut juga disebabkan kondisi pukatnya yang tidak bagus lagi. Ia belum menggantinya selama enam bulan ini. Biasanya, ia sudah mendapat pukat baru dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada pertengahan tahun. Namun, bantuan pukat itu tak kunjung tiba hingga Agustus ini.
”Kalau tidak melaut, ya kadang bantu istri menjual makanan dan minuman kemasan. Apa saja kami lakukan agar bisa makan,” kata Nawawi. Siang itu, istrinya membantu membenahi pukat di dalam kapal.
Jika cuaca sedang baik, ia bisa mendapat 10 kilogram ikan dalam sehari. Dalam sebulan, setidaknya ia bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Itu pun apabila hasil tangkapannya berkualitas nomor satu yang didapat, yang harga jualnya Rp 33.000 per kilogram. Penghasilan itu harus dipotong biaya bahan bakar untuk mesin 15 PK sebesar Rp 510.000 setiap minggu. Cuaca buruk memang tidak terhindarkan, tetapi Nawawi dan istrinya tidak mau menyerah. Toh, hidup harus terus berjalan.
Selain kondisi cuaca, ia juga pernah melihat penangkapan ikan dengan bom di perairan Pulau Sebatik bagian timur, yang berbatasan laut dengan Filipina dan Malaysia. Ia tidak mengetahui kapal itu dari mana asalnya. Jaraknya sekitar 200 meter dari perahunya.
Komandan Pos Angkatan Laut Sungai Nyamuk Letnan Satu Adi Suseno mengatakan, pemindaian kapal-kapal yang memasuki wilayah perbatasan terus dilakukan selama 24 jam. Tahun ini, kondisi laut di perbatasan sangat mendukung. ”Jika ada kapal asing masuk, pasti terlihat di radar kami. Hingga Agustus ini, tidak ada nelayan atau kapal tempur negara tetangga memasuki teritori Indonesia,” ujarnya.
Soal keamanan memang menjadi isu penting para pelaut. Selain soal keberadaan kapal asing, keamanan melaut juga terkait cuaca dan alat kerja. Aswan (36), salah satu nelayan, berharap nelayan tradisional seperti mereka mendapat asuransi melaut. Kecelakaan di laut bisa terjadi sewaktu-waktu. Jaminan asuransi akan meringankan dan menenangkan nelayan tradisional. ”Anggota kami ada yang lututnya terbentur perahu dan cedera. Beberapa minggu tak bisa melaut,” ujarnya.
Di Pulau Sebatik, masih ada pula nelayan tradisional berperahu kecil tak bermesin. Dullah (53) salah satunya. Dullah menggunakan perahu ketinting kawannya untuk melaut. Ia hanya bermodalkan dayung untuk mencari titik menebar jaring. ”Ini benar-benar dipinjamkan, tidak sewa. Paling sehari, kalau sedang dapat banyak ikan, hanya dapat Rp 50.000. Saya tidak mempunyai modal untuk membeli mesin dan perahu. Rumah saja numpang,” ujarnya.
Akses permodalan
Terkait akses modal, pinjaman perbankan dinilai meringankan Nawawi. Ia membeli mesin dan perahu sendiri dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro Bank Rakyat Indonesia. Ia mencicil Rp 700.000 sebulan.
Untuk itu, ia harus menyiasati bagaimana hasil tangkapan yang sedikit bisa menutup pinjaman itu. Istrinya pun terkadang membantu berjualan makanan dan minuman ringan di sekitar rumah. Hasil tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti beras, listrik, dan membeli air.
Sementara hasil menjual tangkapan ikan selalu ia sisihkan untuk membayar angsuran. Sudah lima bulan ia mengikuti program KUR Mikro ini. Ia berharap hasil tangkapan laut semakin membaik dan tidak terusik nelayan asing atau pengeboman ikan.
Pemimpin Kantor Cabang BRI Nunukan Ronaldo Nasution mengatakan, target program KUR Mikro adalah pelaku usaha dan produksi, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah dan nelayan. KUR Mikro menyediakan pinjaman Rp 1 juta sampai Rp 25 juta.
”Hingga semester I-2019, KUR Mikro di Sebatik sudah mencapai lebih dari Rp 13 miliar. Ini merupakan upaya kami memperkuat rupiah juga di perbatasan, yang beberapa masyarakatnya masih menggunakan ringgit Malaysia di Pulau Sebatik,” ujar Ronaldo.
Selain itu, BRI juga sudah memiliki 60 agen BRI Link di Pulau Sebatik untuk melayani transfer dan penyedia informasi pinjaman kepada masyarakat di sekitarnya. Dari agen-agen itu, 40 orang sudah menggunakan aplikasi di telepon genggam dan 20 orang menggunakan mesin elektronik.
Dengan adanya kredit di masyarakat Pulau Sebatik, selain membantu warga, hal itu juga membantu penguatan rupiah di perbatasan. Berdasarkan data kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Utara, pada 2008, ringgit Malaysia lebih banyak digunakan dibandingkan rupiah, sekitar 60 persen.
Seiring masuknya berbagai layanan perbankan, hal itu membantu penguatan rupiah. Hingga 2018, rupiah menjadi alat tukar utama di Sebatik, yaitu 78 persen. Ringgit Malaysia masih digunakan karena berbagai kebutuhan pokok masih dibeli di Tawau, Malaysia, yang bisa ditempuh sekitar 15 menit menggunakan perahu bermotor dari Sebatik bagian timur.
”Program pendampingan dari perbankan memang yang utama perlu dijalankan agar usaha yang dijalankan nasabah terus berkembang. Hingga semester I-2019, KUR Mikro di Pulau Sebatik sudah lebih dari Rp 13 miliar,” kata Ronaldo.
Ronaldo berharap pengelolaan keuangan yang baik dalam berbisnis ke depannya lahir pengusaha-pengusaha yang mampu mengelola hasil pertanian atau hasil laut di Pulau Sebatik. Hal itu bisa membantu pertumbuhan ekonomi di Pulau Sebatik. Namun, sebelum hal tersebut tercapai, berbagai upaya pendampingan mutlak dilakukan, termasuk menyasar nelayan-nelayan kecil seperti Nawawi atau nelayan-nelayan tradisional seperti Dullah.