Revisi UU Fokus pada Perlindungan Pekerja terhadap Disrupsi Teknologi
Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dibutuhkan untuk menghadapi pesatnya perkembangan teknologi yang mengubah pola kerja dan industri. Kajian matang diperlukan agar pemerintah mampu melindungi kepentingan berbagai pihak, khususnya pekerja.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dibutuhkan untuk menghadapi pesatnya perkembangan teknologi yang mengubah pola kerja dan industri. Kajian matang diperlukan agar pemerintah mampu melindungi kepentingan berbagai pihak, khususnya pekerja.
Era digital saat ini telah mengubah pola kerja dan industri dari berbagai sisi. Teknologi digital membuat orang bisa bekerja di mana saja tanpa batas ruang dan waktu. Beberapa perusahaan, seperti usaha rintisan teknologi, bahkan mengandalkan kemitraan daripada ikatan kerja untuk menggerakkan usaha mereka.
Staf Ahli Ekonomi dan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Aris Wahyudi, saat dihubungi Kompas, Kamis (22/8/2019), mengatakan, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu direvisi untuk menyesuaikan dinamika pasar kerja yang menuntut fleksibilitas.
”Misalnya, seorang pekerja mungkin tidak perlu lagi ke kantor dengan jam kerja tertentu. Dengan pemanfaatan teknologi, mungkin pekerja tidak perlu ke kantor dan punya jam kerja yang fleksibel. Hal ini yang perlu diatur agar kita tidak resistansi dengan pemanfaatan teknologi,” tuturnya.
Menurut Aris, Kemnaker masih meneliti dan mengkaji segala bentuk perubahan yang perlu diakomodasi dalam revisi UU itu. Sinergitas lima unsur, yaitu pemerintah, pekerja, pengusaha, akademisi, dan media, diharapkan terus mengawal rencana revisi yang telah dimulai beberapa tahun lalu.
”Secara prinsip, butuh penyempurnaan yang bisa win-win solution terhadap permasalahan yang dihadapi, baik oleh pihak pengusaha maupun karyawan,” kata Aris.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Tadjuddin Nur Effendi, mengatakan, perubahan UU harus lebih memihak para pencari kerja. Hal itu, antara lain, perlu dilakukan dengan membuat aturan terkait perlindungan pekerja berupa pelatihan keterampilan kerja.
”Perlindungan pekerja yang hanya berbentuk finansial saja tidak cukup. Pemerintah akan membuat semacam perlindungan pekerja berbasis pelatihan kerja. Ini akan berguna karena industri saat ini kemungkinan besar akan terus mengurangi tenaga kerja,” ujarnya.
Perubahan UU harus lebih memihak para pencari kerja. Hal itu, antara lain, perlu dilakukan dengan membuat aturan terkait perlindungan pekerja berupa pelatihan keterampilan kerja.
Nur Effendi menambahkan, aturan mengenai pelatihan kerja sesuai kualifikasi atau keahlian pekerja juga butuh dipayungi undang-undang. Sementara itu, dalam waktu dekat, pemerintah berencana mengeluarkan kartu prakerja, yaitu jaminan pelatihan kerja bagi pencari kerja dan pekerja yang mengalami pemutusan kerja.
Pelatihan kerja, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun industri, diharapkan juga meningkatkan kapabilitas lebih dari 50 persen dari 130 juta penduduk bekerja yang hanya lulusan sekolah menengah pertama atau lebih rendah.
Penolakan revisi
Sejumlah organisasi pekerja dan buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan. Alasannya, lembaga kerja sama (LKS) tripartit dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) belum dilibatkan. Mereka khawatir revisi UU itu justru merugikan buruh dan semakin memperlemah pengawasan pemerintah.
Koordinator Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) Arif Minardi, saat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/8/2019), mengatakan, tidak dilibatkannya LKS tripartit sebagai forum komunikasi pekerja dengan pengusaha dan pemerintah ditakutkan merugikan buruh.
Hal itu mendasari mereka bereaksi atas draf RUU Ketenagakerjaan yang telah dikonfirmasi hoaks oleh Kemnaker. Sementara, serikat pekerja lainnya menolak karena pemerintah kerap mengabaikan pengawasan terhadap aturan ketenagakerjaan yang dibuatnya.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Indonesia Khamid Istakhori mencontohkan pembentukan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenker) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Permenker tersebut, antara lain, membatasi proses evaluasi dan pengawasan ketenagakerjaan. Hal itu akan mendorong percepatan ketidakpatuhan pengusaha penyedia jasa alih daya terhadap ketentuan ketenagakerjaan yang ada.
”Saat ini saja pengawasan ketenagakerjaan masih sangat lemah, apalagi dengan ketentuan baru ini, akan semakin paripurnalah kelemahan pengawasan ketenagakerjaan kita,” ujarnya.
Saat ini saja pengawasan ketenagakerjaan masih sangat lemah, apalagi dengan ketentuan baru ini, akan semakin paripurnalah kelemahan pengawasan ketenagakerjaan kita.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit mengemukakan, kekhawatiran tersebut bisa dihindari jika ada penegakan hukum dan negosiasi bersama.
”Kebijakan pemerintah kita memberikan perlindungan yang bagus, baik buat pekerja maupun pengusaha. Karena itu, hukum harus ditegakkan dan mengedepankan negosiasi. Selama ini, semua itu belum dijalankan dengan benar,” kata Anton.