Naiknya potensi resesi global dinilai menjadi momentum penting untuk memperkuat sistem penanganan krisis keuangan nasional. Setelah melewati sejumlah krisis, stabilitas keuangan di Indonesia dinilai semakin baik, tetapi dalam beberapa hal tetap perlu belajar dari negara lain dan menyempurnakan sistem.
Oleh
Mukhamad Kruniawan
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Potensi resesi ekonomi global yang meningkat bisa menjadi momentum untuk memperkuat sistem penanganan krisis keuangan nasional. Setelah melewati sejumlah krisis, stabilitas keuangan di Indonesia dinilai semakin baik. Namun, dalam beberapa hal tetap masih perlu belajar dari negara lain dan menyempurnakan sistem.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dalam seminar internasional ”Facing Softening Global Economy: The Need to Strengthen Bank Resolution Preparedness” yang digelar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Nusa Dua, Bali, Rabu (21/8/2019), menyatakan, setelah krisis Asia pada 1997-1998 dan krisis global 2008, Indonesia mengalami reformasi signifikan di sektor keuangan. Reformasi itu antara lain melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Undang-undang mengamanatkan empat lembaga di bawah kerangka kerja Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mencegah dan menangani krisis. Empat lembaga itu adalah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS.
Menurut Mardiasmo, manajemen fiskal yang kredibel berkontribusi terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia sekaligus menumbuhkan kepercayaan pasar. Hal ini antara lain tecermin dari perbaikan peringkat investasi dari sejumlah lembaga pemeringkat utama.
Meski demikian, Indonesia tetap perlu waspada di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi global, antara lain dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan.
”Pertukaran pengalaman (dengan negara lain) akan membantu meningkatkan kualitas dan kapasitas institusional, khususnya isu-isu terkait resolusi bank,” ujarnya.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menyebutkan, sekitar 200 peserta dari sejumlah negara mengikuti seminar, bertukar pengalaman, dan mengikuti simulasi penanganan krisis keuangan.
Menurut Halim, Indonesia dinilai berpengalaman menghadapi beberapa krisis keuangan, yakni pada 1965, tahun 1997-1998, dan 2008. Oleh karena itu, The International Association of Deposit Insurers (IADI) mendorong Indonesia untuk mengenalkan peran LPS dan menggelar simulasi dalam rangka menghadapi kemungkinan krisis keuangan.
Pada sesi tentang kondisi global, Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan, Kepala Departemen Surveillance OJK Henry Rialdy, dan Executive Director JP Morgan Singapore Sin Beng Ong mengungkap pelambatan pertumbuhan ekonomi serta potensi resesi global.
Kondisi ini terutama akibat pelambatan pertumbuhan ekonomi China, pilihan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit), dan perang dagang Amerika Serikat-China.
”Ada pelambatan pertumbuhan ekonomi global, risiko resesi naik di beberapa negara, seperti AS dan Jerman, tetapi bukan berarti dunia akan mengalami resesi. Namun, LPS dan IADI mesti memperkuat kekebalan bank menghadapi krisis keuangan meski risiko (krisis) masih terbatas,” kata Fauzi.
Terkait kesiapan menghadapi risiko krisis, Indonesia terus mengejar kelengkapan, seperti regulasi turunan Undang-Undang 9/2016 yang belum siap. Regulasi itu antara lain peraturan pemerintah (PP) tentang premi tambahan untuk program restrukturisasi perbankan.
Menurut Mardiasmo, LPS berperan penting saat terjadi krisis sistem keuangan yang membahayakan kondisi perekonomian nasional. Ketika Presiden, atas dasar rekomendasi KSSK, mengaktivasi program restrukturisasi perbankan, LPS akan menjadi pelaksananya.
Kementerian Keuangan berharap LPS dapat meningkatkan kesiapan melaksanakan program restrukturisasi perbankan melalui penyusunan kebijakan dan penguatan koordinasi antarlembaga KSSK.