JAKARTA, KOMPAS — Makin masifnya pemanfaatan teknologi, perubahan tantangan ekonomi dan globalisasi membuat peningkatan kualitas manusia Indonesia butuh percepatan. Upaya menciptakan manusia unggul itu juga akan menentukan apakah Indonesia bisa memetik buah bonus demografi dan melompat menjadi bangsa maju.
Setelah fokus membangun infrastruktur pada periode pemerintahan pertamanya, Presiden Joko Widodo ingin fokus membangun manusia unggul pada periode pemerintahan keduanya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani saat membuka Diskusi Panel Terbatas Pakar Kependudukan di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Rabu (21/8/2019), menegaskan manusia unggul itu tak hanya terdidik dan memiliki kesehatan baik, tapi juga harus berkepribadian Indonesia.
Manusia unggul itu tak hanya terdidik dan memiliki kesehatan baik, tapi juga harus berkepribadian Indonesia.
"Penguatan karakter bangsa harus diberikan di setiap jenjang pendidikan," katanya.
Diskusi yang diikuti sejumlah akademisi dan pengambil kebijakan itu diselenggarakan harian Kompas dan Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (Koalisi Kependudukan Indonesia). Diskusi dimoderatori Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Turro S Wongkaren.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Denni Puspa Purbasari menambahkan investasi modal manusia lebih efektif dalam meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan dibanding investasi modal fisik.
"Untuk negara berkembang dan miskin, investasi manusia itu akan memberikan hasil yang lebih besar jika dikaitkan dengan keterbukaan," katanya. Karena itu, kolaborasi internasional menjadi keniscayaan.
Pembangunan manusia berkualitas itu harus dilakukan sesuai siklus hidup manusia, yaitu anak-anak, usia produktif, hingga lansia. Perhatian dan investasi pemerintah terhadap tiga kelompok itu harus adil karena ketimpangan pada satu kelompok berdampak pada kelompok penduduk yang lain.
Saat ini, investasi negara untuk anak, apalagi lansia, lebih rendah dibanding investasi bagi penduduk usia produktif. Padahal, investasi anak, khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan dan pendidikan usia dini berpengaruh besar bagi perkembangan otak dan fisiknya yang akan menentukan kualitas mereka di usia produktif.
Saat ini, investasi negara untuk anak, apalagi lansia, lebih rendah dibanding investasi bagi penduduk usia produktif.
Namun, upaya pembentukan manusia unggul itu tidak bisa diserahkan hanya pada pemerintah. Masyarakat, akademisi dan swasta punya andil sama.
"Keluarga memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas manusia," tambah Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo.
Angkatan kerja
Percepatan peningkatan kualitas manusia Indonesia itu diharapkan bisa memperbaiki struktur angkatan kerja yang 58,26 persennya masih berpendidikan lebih rendah dari SMP. Terlebih, Indonesia diprediksi akan memasuki masa puncak bonus demografi pada 2021-2024.
Untuk itu, mulai tahun depan, pemerintah mendorong jaminan pendidikan 12 tahun, menggandakan penerima beasiswa bidik misi hingga 818.000 mahasiswa, serta merevitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, melalui SMK, politeknik atau balai latihan kerja.
Namun, Ketua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia Sonny HB Harmadi mengingatkan tingkat pengangguran terbuka tertinggi dan lulusan dengan waktu menunggu kerja terlama adalah lulusan SMK.
Di sisi lain, meski ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi digital, akan makin berperan besar dalam pembangunan, sebagian besar mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi Indonesia justru berlatar belakang ilmu sosial.
"Pendidikan masih dipandang sebagai upaya peningkatan status sosial, bukan peningkatkan produktivitas," katanya.
Kondisi itu, lanjut Puan, membuat keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan manusia penting. Keterpaduan menghindarkan dari ketidakselarasan program dan menekan ego sektoral.
"Untuk membuat perencanaan dalam semua bidang, kuncinya adalah data," tambah Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrulloh menegaskan pemerintah sudah memiliki satu data kependudukan berdasar nama, alamat dan nomor induk kependudukan. Jumlahnya per Juni 2019 mencapai 266,5 juta penduduk.
"Itu adalah modal untuk pelayanan negara sehingga program pembangunan lebih terarah, fokus, dan tepat sasaran," ujarnya.