Perdagangan ilegal satwa langka dari Indonesia masih mengkhawatirkan. Tingginya harga satwa langka tersebut di pasar gelap menjadi salah satu sebab masih adanya praktik perdagangan ilegal.
Oleh
Aris Prasetyo
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Perdagangan ilegal satwa langka dari Indonesia masih mengkhawatirkan. Tingginya harga satwa langka tersebut di pasar gelap menjadi salah satu sebab masih adanya praktik perdagangan ilegal. Praktik semacam itu dapat mengancam populasi satwa langka di Indonesia.
”Perdagangan satwa langka di Indonesia mengkhawatirkan. Hampir semua bagian dari tubuh satwa diincar karena bernilai jual tinggi,” kata Kepala Seksi Konservasi Pengamanan In Situ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Krismanko Padang dalam konferensi internasional bertema ”Wildlife Trade and Utilization in Wallacea Region”, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2019).
Baru-baru ini, menurut Krismanko, pihaknya mengungkap perdagangan ilegal kulit harimau sumatera di Ngawi, Jawa Timur. Di lain waktu, aparat juga menangkap penjual gigi dan kulit gajah. Padahal, selama ini yang paling sering diincar dari bagian tubuh gajah adalah gading.
Tingginya harga burung-burung langka di Indonesia yang dilindungi undang-undang, terutama dari kawasan Wallacea, menyebabkan praktik tersebut terus terjadi sampai kini. Secara umum, rute perdagangan ilegal itu dari Maluku menuju Surabaya, lalu dilanjutkan ke Jambi untuk menuju Batam. Dari Batam, burung selanjutnya dijual ke pasar internasional lewat Singapura.
”Sebagai contoh, kakatua raja di pasar internasional bisa 10.000-15.000 dollar AS per ekor. Itu sudah mencapai Rp 200 juta per ekor. Bandingkan denda pidananya yang maksimal Rp 100 juta saja,” ucap Krismanko.
Benny A Siregar, peneliti organisasi Burung Indonesia di wilayah Maluku Utara, mengungkapkan, penangkapan burung dilindungi untuk diperdagangkan menggunakan banyak cara. Cara yang lazim dipakai adalah penggunaan lem perekat yang dioleskan di cabang pohon tempat burung hinggap. Selain lem, pemburu burung dilindungi juga menggunakan jaring, perangkap, dan senapan angin.
”Pada 2018, tercatat ada 1.177 burung paruh bengkok yang disita aparat di seluruh Indonesia. Sebanyak 700 ekor adalah burung paruh bengkok dari Maluku Utara,” ucap Benny.
Temuan perdagangan satwa dilindungi juga disampaikan Risma Illa Maulany, pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Penelitian yang dilakukan di Kota Makassar, ujarnya, menunjukkan perdagangan satwa liar terdiri dari 62 spesies jenis mamalia, unggas, dan reptilia. Beberapa di antaranya adalah satwa endemik Sulawesi.
”Sekitar 50 persen adalah satwa asli Indonesia. Dari angka itu, satwa endemik Sulawesi yang diperdagangkan di Kota Makassar mencapai 18 persen,” ujar Risma.
Lemahnya pengawasan di lapangan juga menjadi salah satu sebab perburuan dan perdagangan satwa langka masih marak. Hal itu lantaran terbatasnya jumlah petugas di lapangan. Sebagai contoh, luas kawasan Taman Nasional Gandang Dewata di Sulawesi Barat yang mencapai 189.000 hektar hanya diawasi empat polisi hutan.
Sampai periode April 2019, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku berhasil menyita 311 satwa dilindungi yang hendak diperjualbelikan. Satwa itu terdiri dari burung, mamalia, dan ikan. Adapun nilai dari perdagangan itu mencapai Rp 300 juta.
Sulawesi dan Maluku Utara menjadi wilayah terbesar untuk perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi. Jenis satwa yang paling banyak diburu dan diperdagangkan adalah burung dan mamalia. Pencegahan yang tidak optimal dikhawatirkan menyebabkan satwa-satwa dilindungi tersebut kian terdesak menuju ambang kepunahan.