Ada tarikan besar di kawasan selatan Indonesia. Tarikan besar itu adalah bagaimana negara-negara di wilayah Pasifik Selatan menyikapi sejumlah isu yang akhir-akhir ini berkembang pesat. Bagi negara-negara seperti Tuvalu, Nauru, Kiribati, Samoa, Kepulauan Solomon, dan Tonga, isu utama yang patut diperhatikan adalah isu perubahan iklim. Bagi mereka, perubahan iklim adalah persoalan serius.
Seorang diplomat di Kementerian Luar Negeri RI mengatakan, negara kecil seperti Kiribati saat ini telah berhadapan dengan persoalan naiknya permukaan laut yang berpotensi besar menenggelamkan negara itu. Tidak mengherankan apabila Kiribati mulai mencari tempat baru untuk pindah, salah satunya ke Selandia Baru.
Ancaman itu tentu membayangi negara-negara kecil lain di kawasan. Perhatian utama bagi para pemimpin negara-negara pulau di Pasifik Selatan—banyak dari mereka tinggal di negara-negara dataran rendah yang terancam oleh naiknya laut—adalah perubahan iklim.
Akan tetapi, isu yang menjadi keprihatinan mereka tampaknya berbeda dengan isu yang menjadi keprihatinan negara-negara kuat di dunia. Australia, yang merupakan salah satu negara anggota Forum Kepulauan Pasifik, menilai, isu China jauh lebih penting.
Bagi Canberra, langkah-langkah asertif China baik di wilayah Laut China Selatan maupun saat ini di Pasifik Selatan harus mendapat perhatian khusus. Terkait isu itu, Australia telah melabeli kampanyenya dengan Pacific Step-Up, Selandia Baru memiliki Pacific Reset dan Britain the Pacific Uplift, sementara Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis juga telah mengintensifkan upaya mereka untuk lebih memperhatikan kawasan Pasifik Selatan.
Proyek-proyek itu menempatkan Pasifik Selatan yang dahulu dianggap sebagai wilayah terpencil di dunia diplomatik saat ini justru menjadi ”wilayah perebutan”, dengan aneka dana bantuan dikucurkan, pertama-tama karena dipicu oleh kepanikan pada menguatnya kehadiran China di wilayah itu.
Perbedaan sikap
Tidak mengherankan jika dalam pertemuan tahunan PIF yang digelar di Funafuti, ibu kota Tuvalu—digelar pada 13-16 Agustus—ada perdebatan sengit antara Australia dan mitra-mitranya di Pasifik Selatan. Situasi itu bahkan masih terasa setelah perhelatan di Tuvalu berakhir. Bahkan para pemimpin negara pulau itu menyerukan agar Australia ”dikeluarkan” dari PIF.
Itu terjadi setelah Australia dituduh menghalang-halangi para pemimpin yang ingin menggunakan Forum Kepulauan Pasifik di Tuvalu untuk mengeluarkan seruan global untuk bertindak atas perubahan iklim menjelang pembicaraan yang disponsori PBB di New York bulan depan.
Salah satu yang membuat hangat adalah pernyataan Wakil Perdana Menteri Australia Michael McCormack saat ia seolah tidak menghiraukan kekhawatiran warga negara-negara pulau di Pasifik dengan mengatakan, ”Mereka bisa datang ke sini dan memetik buah kami untuk bertahan hidup.”
Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga menyebut komentar McCormack ”kasar dan ofensif”. ”Semangat cara Pasifik tidak dipahami oleh orang-orang ini. Saya tidak berpikir mereka mengerti apa-apa tentang itu,” katanya kepada Radio Selandia Baru, Senin (19/8/2019).
Sebagai catatan, Australia mengucurkan dana bantuan senilai lebih dari 950 juta dollar AS untuk mitranya di Pasifik Selatan. Namun, terlepas dari ”kemurahan hati Canberra” itu, warga di negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan sering bersiaga atas bantuan Australia itu. Bagi mereka, cara pendekatan China dinilai jauh lebih ”ramah”.
Sopoaga mengatakan perselisihan Forum Kepulauan Pasifik tentang perubahan iklim mengingatkannya pada pertemuan regional beberapa dekade lalu, ketika ”penguasa kolonial” menetapkan agenda. ”Kami masih melihat refleksi dan manifestasi dari pendekatan neo-kolonialis terhadap apa yang para pemimpin bicarakan,” katanya kepada RNZ.
Bagi Australia, sebagaimana dikatakan Perdana Menteri Scott Morrison, perubahan iklim memang persoalan nyata, tetapi ancaman itu dapat dikelola dengan cara yang tidak merugikan ekonomi, termasuk industri batubara yang menguntungkan.
Morrison mengakui ada ”percakapan yang sulit” dengan para pemimpin Pasifik, tetapi ia mengibaratkan persoalan itu seperti ”pertengkaran dalam keluarga”, dan menyangkal ada kerusakan jangka panjang pada hubungan. ”Sama seperti keluarga mana pun yang datang ke meja kami membahas semua hal ini melalui ... kami selalu ada di sana. Kami akan selalu ada di sana,” katanya kepada wartawan akhir pekan lalu.
Pada akhirnya memang kepentingan negara-negara pulau di Pasifik Selatan lebih mendapat perhatian. Hal itu antara lain tampak dari komunike bersama yang dihasilkan, yang antara lain memberi perhatian khusus pada perubahan iklim yang dinilai sebagai satu-satunya ancaman terbesar bagi penghidupan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat Pasifik. Mereka pun berkomitmen untuk memajukan implementasi Perjanjian Paris.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.