JAKARTA, KOMPAS — Niat Komisi Penyiaran Indonesia mengawasi media-media baru di internet dinilai melampaui kewenangannya. Semestinya, KPI memfokuskan diri pada kewajiban utamanya, yaitu mengawasi dan memperbaiki kualitas konten televisi dan radio.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua KPI Agung Suprio menyatakan KPI akan turut menerapkan pengawasan kepada media-media baru berbasis internet, seperti Facebook, Youtube, Netflix, dan sebagainya. Langkah itu akan dilakukan setelah revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sembari menunggu revisi UU Penyiaran, KPI akan melakukan tindakan persuasif dalam mengawasi media-media baru.
Menanggapi hal ini, Ketua Bidang Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen, Bayu Wardhana, mengatakan, menurut UU Penyiaran, KPI tidak mempunyai wewenang untuk mengatur internet. Selama ini, pengaturan internet telah dijalankan pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Kinerja KPI dalam mengatur penyiaran beberapa tahun terakhir ini justru tidak memuaskan publik. Maka sebaiknya KPI yang sekarang, fokus saja memperbaiki kualitas tayangan televisi dan siaran radio,” kata Bayu, Rabu (21/8/2019), di Jakarta.
Sebaiknya KPI yang sekarang, fokus saja memperbaiki kualitas tayangan televisi dan siaran radio.
Contoh konkret tugas KPI yang belum berjalan antara lain, hingga saat ini KPI belum bisa memastikan kuantitas maupun kualitas konten lokal sebesar 10 persen di setiap wilayah siar atau provinsi. Selama ini, konten-konten lokal tidak diperjelas batasannya sehingga di televisi seringkali muncul acara-acara wisata yang diputar berulang-ulang dan kadang hanya sekedar tukar-menukar konten antar wilayah siar saja.
KPI periode 2016-2019 yang empat komisionernya kini kembali terpilih juga kerap mempraktikkan mekanisme pembinaan jika ada pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Padahal, mekanisme pembinaan tidak ada dalam UU Penyiaran. “Mestinya KPI langsung saja menegur dan memberi sanksi jika ada pelanggaran P3SPS sesuai mandat UU,” ujarnya.
Menurut Bayu, DPR periode mendatang sebaiknya mensahkan Rancangan UU Konvergensi Telematika. Berikutnya, dua lembaga, yaitu KPI dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, dibubarkan, lalu dibentuk lembaga independen baru yang mengatur Internet, penyiaran, dan telekomunikasi. Dengan demikian, lembaga negara baru ini lebih efisien dengan wewenang yang menyeluruh.
Menyikapi wacana yang berkembang terkait pengawasan media baru, KPI telah menerima berbagai respon, masukan, dan juga aspirasi dari beberapa kelompok masyarakat. “Sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran, KPI berkomitmen untuk bekerja berlandaskan pada UU Penyiaran, di antaranya dengan melakukan pengawasan optimal terhadap isi dari siaran televisi dan radio, termasuk melakukan revisi terhadap P3SPS serta penegakan sanksi terhadap pelanggaran aturan tersebut,” ucap Irsal Ambia, Komisioner KPI Koordinator Bidang Kelembagaan.
Seperti pernyataan Ketua KPI sebelumnya, menurut Irsal, KPI mengajak seluruh pihak untuk ikut menyumbangkan gagasan dalam pengaturan media baru. KPI berharap, dengan adanya kajian komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, akan menghasilkan pengaturan yang adil terhadap media baru. Sehingga keberadaan media baru pun ikut memberikan informasi yang berkualitas, serta kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Hanya merekomendasikan
Direktur Penyiaran Kominfo Geryantika Kurnia mengungkapkan, hingga kini Kominfo sama sekali belum menerima draft revisi UU Penyiaran dari DPR sehingga belum jelas bagaimana landasan hukum pengaturan media baru oleh KPI. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan KPI hanyalah merekomendasikan kepada Kominfo bahwa ada konten-konten di internet yang tidak layak ditonton untuk kemudian ditertibkan oleh Kominfo.
Sejumlah protes dan gugatan dilontarkan berbagai elemen masyarakat sebelum sembilan komisioner KPI periode 2019-2022 ditetapkan. Bahkan Ombudsman Republik Indonesia menemukan maladministrasi dalam proses seleksi mereka.
“Tindakan maladministrasi dilakukan oleh panitia seleksi yang melampaui kewenangannya dengan membuat aturan sendiri melalui kesepakatan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,” kata anggota Ombudsman Republik Indonesia, Prof Adrianus Meliala.