Hindari Saling Menyinggung Hati Antarumat Beragama
Komunikasi antarumat lintas agama diyakini mampu menjaga kerukunan sesama warga bangsa dengan tingkat keberagaman tinggi seperti Indonesia.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Komunikasi antarumat lintas agama diyakini mampu menjaga kerukunan sesama warga bangsa dengan tingkat keberagaman tinggi seperti Indonesia. Moderasi beragama juga harus dipahami dan diamalkan secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu, setiap pihak mesti menghindari menyakiti hati antarumat beragama.
Hal tersebut mengemuka dalam peluncuran dan diskusi buku berjudul Kata Bersama: Antara Muslim dan Kristen di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (22/8/2019).
Buku tersebut ditulis 138 cendekiawan, ulama, dan intelektual Muslim. Adapun pihak yang menerbitkan buku tersebut adalah UGM Press. Buku itu merupakan terjemahan dari edisi asli berbahasa Inggris, yang berjudul A Common Word Between Us and You.
David K Linnan, salah satu editor utama buku itu, mengatakan, permasalahan dalam hubungan antarumat beragama bukan hal baru di Indonesia. Namun, terdapat kesadaran sosial untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ruang dialog yang dilakukan umat lintas agama menjadi jalan yang ditempuh dalam penyelesaiannya.
”Ada kesadaran di tingkat masyarakat bicara tentang masalah itu di kehidupan sehari-hari. Muncul dari kalangan akar rumput. Ini merupakan hal menarik,” kata Linnan.
Berulangnya permasalahan dalam hubungan lintas agama menjadi hal yang harus dikritisi. Kurangnya komunikasi diduga merupakan persoalan krusial. Secara mendasar, dalam buku itu disebutkan, ada kesamaan yang dimiliki setiap agama, yaitu cinta kasih. Hal itu yang seharusnya bisa terus memupuk persaudaraan umat lintas agama.
Franz Magnis-Suseno SJ, rohaniwan Katolik, menyampaikan, tidak dapat dimungkiri bahwa dorongan menjaga kerekatan relasi umat lintas agama masih dilakukan dengan metode dari atas ke bawah. Padahal, kesadaran menjaga hubungan baik itu harus dilakukan dari tingkatan masyarakat paling dasar.
Untuk itu, Magnis menyatakan, tokoh-tokoh agama lokal harus mulai menjalin hubungan harmonis. Mereka adalah tokoh yang dianut para pengikutnya. Aksi itu diyakini bisa memupuk semangat persaudaraan antarumat lintas agama.
Tokoh-tokoh agama lokal harus mulai menjalin hubungan harmonis. Mereka adalah tokoh yang dianut para pengikutnya.
”Kalau tokoh-tokoh itu membangun hubungan baik, pasti akan menyebar ke umatnya. Kebiasaan silaturahmi akan sangat membantu terbentuk hubungan harmonis umat lintas agama. Itu hal penting agar hubungan lintas agama tidak dibahas di kalangan akademisi saja,” kata Magnis.
Magnis menambahkan, dasar terciptanya hubungan baik adalah sikap saling menghargai. Satu celaan saja bisa berakibat hancurnya hubungan. Untuk itu, kepekaan hati setiap pemeluk agama agar tidak menyakiti hati pemeluk agama lain harus terus diasah.
Selain itu, menurut Magnis, Pancasila juga merupakan penguat hubungan lintas agama. Dalam sila-sila yang termuat di dalamnya, masyarakat diberi hak untuk sepenuhnya beragama. ”Keindonesiaan tidak menindas. Masing-masing identitas malah melindungi dan mengangkat. Tidak saling memaksakan,” ujarnya.
Sementara itu, Yenny Wahid, salah satu pendiri Wahid Foundation, mengatakan, pengarusutamaan toleransi juga harus terus diupayakan. Toleransi mendasari terjadinya keharmonisan relasi antarumat lintas agama. Sikap saling menghargai itu akan terus dipupuk apabila toleransi dijadikan pedoman dalam menyikapi keberbedaan.
Dia menambahkan, saat ini, agama seolah direduksi menjadi sekadar identitas politik oleh sebagian orang. Nilai luhur agama yang mengutamakan kemanusiaan seolah ditanggalkan. Kondisi ini yang seolah meruncingkan hubungan antarumat beragama.
”Agama seharusnya tidak membuat orang takut. Sebab, agama merupakan rahmat bagi umat manusia dan semesta. Jika agama membuat orang takut, pasti ada yang salah. Dan, yang salah itu adalah manusianya. Cara berpikir itu yang harus dibenahi,” ujar Yenny.