Sebanyak 915 kamar atau bilik hunian sementara untuk penyintas gempa bumi di Sulawesi Tengah tak ditempati.
Oleh
Videlis Jemali
·4 menit baca
SIGI, KOMPAS - Sebanyak 915 kamar atau bilik hunian sementara untuk penyintas gempa bumi di Sulawesi Tengah tak ditempati. Hal itu disebabkan perencanaan yang tak matang soal penerima manfaat atau penghuni hingga masih belum terjaminnya fasilitas penunjang hunian.
Hunian sementara (huntara) yang tak ditempati tersebut antara lain di Desa Pandere dan Desa Kalawara, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulteng. Semua huntara dirancang berbentuk rumah panggung dengan konstruksi utama papan lapis dan baja ringan.
Pantauan pada Kamis (22/8/2019), di Pandere, ada 3 unit/blok huntara atau sebanyak 36 kamar/bilik, semuanya belum dihuni. Masing-masing bilik sudah dilengkapi dengan meteran listrik dan satu kipas angin. Hanya lampu listrik belum dipasang. Ada dua tangki air yang terus mengalirkan air. Satu blok/unit terdiri dari 12 kamar/bilik.
Di Desa Kalawara, terdapat 6 unit huntara (72 kamar). Dari jumlah tersebut, baru empat unit yang ditempati. Meteran listrik dan kipas angin juga sudah dipasang. Tangki air sebanyak masing-masing dua unit untuk setiap blok juga telah tersedia.
Unit huntara di Kalawara yang belum ditempati tak terawat. Di dapur, sampah berserakan. Bahkan, kotoran hewan berserakan di teras depan bilik. Rumput liar tumbuh tinggi di sela-sela antarunit.
Tiga dari empat keluarga yang menempati huntara di Kalawara tak terdaftar sebagai penghuni huntara. Mereka menempati huntara atas izin aparat desa setempat.
Oktavianus (28), yang terdata sebagai penerima huntara Kalawara, menyatakan dirinya memilih memperbaiki rumah yang rusak ketimbang tinggal di huntara. "Di sini, banyak ternak yang harus kami urus," ujarnya.
Huntara itu berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah Oktavianus. Rumah keluarga Oktavianus rusak parah saat gempa September 2018 lalu, tetapi kini telah diperbaiki dan ditempati.
Dengan kondisi saat itu, yakni tinggal di tenda karena rumah rusak, semua mau ke huntara. Namun, dalam perkembangan, warga memperbaiki rumahnya dan menempatinya.
Sekretaris Desa Pandere Arnius Galuku menyatakan, data penerima huntara disampaikan saat awal-awal bencana. "Dengan kondisi saat itu, yakni tinggal di tenda karena rumah rusak, semua mau ke huntara. Namun, dalam perkembangan, warga memperbaiki rumahnya dan menempatinya," katanya.
Penerima huntara di Kalawara sebanyak 72 keluarga, sesuai dengan jumlah bilik yang telah dibangun. Huntara Kalawara rampung digarap pada April lalu. Arnius menyatakan, dirinya tetap mendorong agar penyintas penerima huntara segera menempatinya.
Kalau mereka tetap tidak mau menempati huntara, salah satu opsinya, keluarga yang menumpang di rumah orangtua meskipun tidak terdata sebagai penerima huntara, diusahakan untuk masuk ke huntara.
Selain penyintas memilih tinggal di rumahnya yang telah diperbaiki, masalah lain yakni belum terjaminnya fasilitas penunjang kebutuhan dasar, terutama air. Pengurus huntara Silae di Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Musriadi Safri (59), menyatakan, salah satu alasan penyintas meninggalkan huntara adalah masalah air.
Air di huntara Silae, yang masih diangkut dengan truk tangki, sering cepat habis. Aliran air baru lancar sejak awal Agustus atau sebelum Hari Raya Idul Adha lalu. Di huntara Kelurahan Silae, separuh dari 120 bilik huntara tak lagi ditempati.
Yang menempati huntara saat ini memang yang rumahnya sudah hancur sama sekali karena tsunami.
Warga kembali ke rumah masing-masing yang telah diperbaiki, tinggal di rumah keluarga, atau mengontrak rumah atau kos. "Yang menempati huntara saat ini memang yang rumahnya sudah hancur sama sekali karena tsunami," kata Musriadi, yang juga penyintas tsunami.
Berdasarkan data yang divalidasi Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulawesi Tengah pada 15 Agustus, total sebanyak 915 bilik (76 unit) huntara belum dihuni. Di Kabupaten Sigi sebanyak 177 bilik, Kota Palu (320 bilik), dan Kabupaten Donggala (418 bilik). Pembangunnan satu unit/blok huntara menelan angggaran sekitar 400 juta.
Huntara dibangun pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk penyintas yang rumahnya rusak berat atau hilang karena gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018. Banyak warga juga tak bisa menempati rumahnya lagi karena tak bisa membangun kembali di lokasi lama.
Lokasi itu ditetapkan sebagai zona merah atau terlarang yang harus steril dari pembangunan hunian lagi. Hal itu contohnya di bekas areal terdampak likuefaksi di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu.
Sementara, penyintas yang rumahnya tak berada di zona merah, mendapatkan dana stimulan untuk membangun rumahnya di lokasi lama. Selagi rumah permanen dibangun, mereka bisa mendirikan rumah sementara di lokasi tersebut. Desa Kalawara dan Pandere merupakan dua contoh lokasi yang tak masuk zona merah.
Anggota Panitia Khusus Penanganan Bencana DPRD Sulteng Moh Masykur menyampaikan, pembangunan huntara dilakukan tanpa perencanaan, pendataan yang tidak akurat, lama, dan berlarut. Akibatnya, banyak hal yang tak beres di lapangan, seperti huntara kosong dan tidak lengkap fasilitas. "Kami mendesak segera dilakukan audit atas seluruh program bencana," ujarnya.
Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng Ferdinand Kano Lo mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah desa, agar huntara yang masih kosong segera dihuni.
Soal salah sasaran, Ferdinand mengakui, huntara memang ditujukan bagi penyintas yang rumahnya rusak atau hilang dan berada di zona merah. Pihaknya membangun huntara berdasarkan penentuan lokasi dari pemerintah daerah.
Ferdinand menambahkan, seharusnya air yang tak lancar di huntara tak jadi alasan penyintas meninggalkan atau tak menghuni huntara. Selama ini, pihaknya memperhatikan kebutuhan di huntara melalui pengurus. Sikap proaktif dari pengurus huntara sangat diharapkan agar masalah-masalah di huntara dapat cepat diatasi.