Gundah Hidup Nelayan Penjaring Minyak
Minyak yang tumpah di pesisir utara Karawang, Jawa Barat, mengubah hidup nasib sebagian manusia di sekitarnya. Masa depan mereka dan lingkungan pesisir di sana harus segera jadi perhatian jika tak ingin merugi kelak.
Minyak yang tumpah di pesisir utara Karawang, Jawa Barat, mengubah hidup nasib sebagian manusia di sekitarnya. Masa depan mereka dan lingkungan pesisir di sana harus segera jadi perhatian jika tak ingin merugi kelak.
Kamis (8/8/2019), Casyang (54) bersama tiga temannya baru pulang melaut. Ini untuk pertama kalinya bagi mereka kembali ada di atas perahu kayu sederhana itu. Namun, bukan ikan yang kali ini hendak mereka jaring.
Ditemui di tepi jembatan dekat Pantai Pelangi, Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mereka justru sibuk menurunkan tumpukan karung-karung belepotan noda menempel. Karung berisi tumpahan minyak di laut Karawang, sejak pertengahan Juli lalu. ”Perahu ini sekarang untuk penjaring limbah. Selama masih ada minyak, ikan tidak mau mendekat. Minyak juga merusak jaring,” kata Casyang.
Casyang adalah satu dari nelayan yang ikut membersihkan tumpahan minyak akibat kebocoran anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java. Dari 7.700 nelayan di Karawang, sekitar 1.200 orang ikut membersihkan minyak. Mereka dibantu petugas dari Pertamina, TNI, sukarelawan, hingga tim kesehatan.
Peristiwa ini mengingatkan tragedi putusnya penyalur minyak mentah milik Pertamina di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, tahun lalu. Minyak mencemari perairan teluk sekitar 7.000 hektar dan merusak mangrove.
Menjaring limbah, Casyang diupah Pertamina Rp 1,5 juta per perahu per hari. Upah dibagi tiga teman, masing-masing setidaknya menerima Rp 300.000 setelah dikurangi ongkos bensin. Meski uang tunai di tangan, mereka tampak tak bersemangat. Jika melaut, sehari mereka paling sedikit dapat Rp 500.000.
Sujono (33), nelayan Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, Karawang, juga galau. Sudah tiga minggu tidak mencari ikan. Padahal, dalam sehari, ia biasanya bisa dapat Rp 700.000.
Mau nekat melaut? Tarji (60), nelayan Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, pernah mencoba. Namun, jaringnya justru rusak dan kotor terkena tumpahan minyak di laut. Ia dapat 1 kilogram ikan dari biasanya 9 kg.
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Karawang, semua nelayan terindikasi terdampak tumpahan minyak. Mereka tersebar di 12 desa, yakni Cemarajaya, Sedari, Sukajaya, Sukakerta, Rawagenpol Kulon, Tanjungpakis, Sungai Buntu, Ciparagejaya, Tambaksari, Muara Baru, dan Pusakajaya Utara. Ironis, karena pendapatan dari sektor perikanan di kawasan ini Rp 179 miliar pada tahun 2018.
Tumpahan minyak terjadi pada 12 Juli 2019. Namun, dampak yang dialami para petambak udang di area budidaya baru dirasakan seminggu kemudian. Ada 900 petambak udang dan bandeng terdampak. Para petambak udang vaname harus panen dini, khawatir kematian udang meluas.
Endi Muhtarudin dan H Khoerul, petambak di Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, merasakan pahitnya akibat ulah manusia. Sejak pertengahan Juli lalu, kolam tambak udangnya panen dini secara bertahap.
Idealnya, satu kolam 2.500 meter persegi menghasilkan 7-8 ton udang dengan harga jual Rp 105.000 per kg untuk ukuran 1 kg berisi 30 ekor. Namun, panen dini hanya menghasilkan 1-3 ton udang dengan harga jual Rp 38.000-Rp 50.000 per kg.
Tak henti-hentinya Khoerul menggelengkan kepala. Dengan langkah berat, ia berjalan ke arah tiga kolam yang masih bertahan dari total 20 kolam. ”Kolam ini harapan terakhir menutup panen Agustus akhir,” ucapnya.
Sepi pembeli
Semua merasakan dampak yang terus bergulir. Saat para nelayan kehilangan mata pencaharian dan petambak merugi, omzet pedagang ikan di tempat pelelang ikan (TPI) juga turun. Pemandangan di tempat pelelangan ikan Mina Karya Makmur Karawang, Sabtu (10/8) pagi hingga sore, sepi pengunjung.
”Lapak saya sepi pembeli belakangan ini. Apa mungkin mereka mengira semua ikan dari sini tercemar limbah ya,” ujar Karwita (42), pedagang ikan. Sejak musibah itu, omzet lapak Karwita turun hingga 50 persen, semula Rp 20 juta, turun menjadi Rp 10 juta.
Lapak dagang ikan Yusuf (42) juga tampak kering, tak banyak air berceceran seperti lapak lain. Ikan bandeng segar juga masih tersusun rapi di dalam kotak es. Rupanya sudah lebih dari dua minggu Yusuf tidak berjualan. ”Saya masih trauma. Pasokan ikan yang seharusnya dikirim ke kota terhenti sementara, mereka takut ikan dari Karawang juga tercemar limbah,” kata Yusuf.
Tumpahan minyak juga menyebabkan wisata pantai di Karawang terpuruk. Gubuk tempat berteduh di bibir pantai kosong. Beberapa resto ikan bakar tutup. Tiga minggu terakhir jumlah pengunjung di Pantai Samudera Baru Karawang turun drastis. Pada akhir pekan, biasanya jumlah pengunjung berkisar 1.000-3.000 orang dengan harga tiket Rp 10.000 per orang.
Para pemilik resto juga memilih menutup warungnya. Rodiah (43), pemilik resto Ikan Bakar Mama, hanya mampu menjual 3 kg ikan bakar dalam tiga minggu terakhir dan meraup Rp 500.000. Padahal, saat akhir pekan, setidaknya ia mengantongi Rp 1 juta. Belum lagi ia harus membayar keperluan listrik untuk freezer penyimpanan ikan dan air Rp 200.000 per bulan.
Musibah ini membuahkan kekhawatiran yang tak berujung. Mereka bertanya-tanya kapan laut pulih kembali. Dalam proses pemulihan itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil meminta Pertamina memberikan kompensasi.
Presiden Direktur PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengungkapkan, pihaknya berkomitmen dan bertanggung jawab menyelesaikan masalah itu. Upaya maksimal akan diberikan melibatkan kerja sama dari berbagai pihak.
”Pertamina tidak akan ke mana-mana, kami akan menyelesaikannya hingga tuntas. Kami mohon kesabaran dari berbagai pihak,” ucap Nanang.
Menurut Muhammad Reza Cordova, peneliti pencemaran laut dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, tumpahan minyak berpengaruh pada kehidupan ikan dan ekosistem laut. Saat terekspos tumpahan minyak langsung, ikan pergi menjauh. Minyak tercampur di kolom air pun membuat ikan terpapar secara tidak langsung. Pertumbuhan ikan terganggu.
Penanganan tumpahan minyak memang sudah dilakukan dengan berbagai cara. Seiring penanganan, selama itu pula kegundahan nelayan dan masyarakat pesisir yang terdampak. Semangat Casyang yang runtuh adalah wajah harapan yang meredup. Jangan ada lagi kegetiran semacam ini.