BI Turunkan Suku Bunga Acuan, Konsumsi dan Investasi Dijaga
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perekonomian domestik perlu dilindungi dari dampak buruk melandainya pertumbuhan ekonomi global. Setelah memastikan likuiditas perbankan melonggar, Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan untuk menjaga konsumsi dan investasi dalam negeri tetap positif.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan menurunkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen. Penurunan sebesar 25 bps juga dilakukan pada suku bunga lending facility (pinjaman rupiah bank dari BI) menjadi 6,25 persen, dan suku bunga deposit facility (simpanan rupiah bank di BI) menjadi 4,75 persen.
Penurunan suku bunga acuan ini merupakan kali kedua setelah selama 8 bulan berturut-turut (November 2018-Juni 2019), BI mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate di level 6 persen. Pada Juli lalu, BI menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (22/8/2019), di Jakarta, mengatakan, keputusan pemangkasan suku bunga acuan merupakan langkah lanjutan BI menjaga momentum positif pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
“Kebijakan BI tetap harus preemptif (visioner) untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ke depan dari perlambatan ekonomi global,” ujarnya.
Perry memaparkan, penurunan suku bunga acuan akan berdampak pada semakin murahnya biaya investasi. Peningkatan permintaan investasi, baik bangunan maupun non-bangunan, diharapkan dapat mendorong permintaan pembiayaan terhadap perbankan. Sektor-sektor yang tergerak itu akan turut mendorong dan menumbuhkan konsumsi rumah tangga.
“Kebijakan penurunan suku bunga itu diarahkan untuk mendorong permintaan pembiayaaan dari sisi korporasi maupun rumah tangga, setelah sebelumnya kami pastikan kebutuhan likuiditas terpenuhi,” ujarnya.
Kebijakan penurunan suku bunga itu diarahkan untuk mendorong permintaan pembiayaaan dari sisi korporasi maupun rumah tangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga tercatat masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 55,79 persen. Pertumbuhan konsumsi pada triwulan II-2019 sebesar 5,17 persen.
Sementara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi pada Januari-Juni 2019 mencapai Rp 395,6 triliun terdiri dari penanaman modal asing sebesar Rp 212,8 triliun dan penanaman modal dalam negeri sebesar Rp 182,8 triliun.
Meski suku bunga acuan dipangkas, Perry tetap optimistis tingkat kepercayaan investor kepada perekonomian Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 yang berada di titik tengah 5-5,4 persen.
Berdasarkan catatan BI, hingga 8 Agustus 2019 aliran modal asing mencapai Rp 179,6 triliun. Aliran modal asing tersebut terdiri dari Rp113,7 triliun ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 65,9 triliun masuk ke instrumen pasar saham.
Perry menilai, saat ini kecukupan likuiditas di pasar uang tercukupi. Kecukupan likuiditas itu tercermin pada rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 19,1 persen pada Juni 2019. Posisi ini meningkat dari 18,5 persen pada Mei 2019. Di samping itu, secara tahunan inflasi Juli 2019 dianggap terkendali di posisi 3,32 persen.
Perkembangan ini cukup kondusif sehingga mendukung berjalannya transmisi pemangkasan suku bunga. “BI terus memastikan kecukupan likuiditas dan meningkatkan efisiensi pasar uang, sembari memperkuat transmisi kebijakan moneter yang akomodatif,” kata dia.
Sepanjang 2019, BI telah mengeluarkan sejumlah instrumen pelonggaran makroprudensial untuk memastikan kebutuhan likuiditas perbankan terpenuhi. Sejak 1 Juli 2019 BI menaikan batas bawah dan batas atas rasio intermediasi makroprudensial (RIM) perbankan, dari 80-92 persen menjadi 84-94 persen.
Selain itu, BI juga menelurkan kebijakan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) yang bersifat countercyclical atau kontra siklus untuk mengatasi risiko pengetatan likuiditas perbankan. Sebulan berselang, BI menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) perbankan sebesar 50 bps untuk menambah kecukupan likuiditas perbankan hingga Rp 25 triliun.
Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menilai, keputusan pelonggaran suku bunga dapat mendukung pemulihan ekonomi domestik. Hal ini dapat dilakukan dengan catatan inflasi terukur di kisaran yang rendah, serta gejolak stabilitas nilai tukar rupiah dapat terjaga.
“Ruang pelonggaran moneter memang masih terbuka tetapi harus dipastikan juga kondisi (likuiditas) perbankan dapat menerima sokongan dari penurunan suku bunga,” ujarnya.
Ruang pelonggaran moneter memang masih terbuka tetapi harus dipastikan juga kondisi (likuiditas) perbankan dapat menerima sokongan dari penurunan suku bunga.
Ekonom Bank Danamon, Wisnu Wardana, menilai pelonggaran moneter perlu disertai dengan upaya mempertahankan stabilitas nilai tukar. Dengan begitu, setiap peningkatan permintaan domestik tidak malah menjadi risiko bagi keseimbangan neraca berjalan.
“Upaya tersebut selaras dengan tujuan BI dalam mengatasi risiko pelemahan permintaan domestik, setelah adanya penurunan kinerja ekspor akibat perlambatan ekonomi global,” kata dia.