Senja Para Warga Lansia
Mata Rokhani (82) menerawang ke arah televisi di rak pada dinding beberapa langkah dari kursi yang didudukinya. Bersama Andiana (55) dan Emma (80), sesekali ia mengomentari laku gerak lakon sinetron yang ditayangkan Senin (5/8/2019) sore itu.
Mata Rokhani (82) yang sayu menerawang ke arah televisi di rak yang terpasang pada dinding beberapa langkah dari kursi yang didudukinya. Bersama Andiana (55) dan Emma (80), sesekali ia mengomentari laku gerak lakon-lakon sinetron yang ditayangkan pada Senin (5/8/2019) sore itu. Sejak tinggal di Panti Werdha Damai Manado, Sulawesi Utara, Rokhani tak lagi menanti senja sendirian.
”Saya baru sekitar setahun di sini. Setiap bulan dibayari Rp 1 juta sama anak majikan saya, soalnya 60 tahun kerja sama mereka, saya enggak pernah terima gaji,” kata Rokhani dalam bahasa Jawa bercampur Melayu Manado.
Rokhani adalah pekerja migran dari Cerme, Gresik, Jawa Timur. Ia merantau ke Manado saat usianya 14 tahun. Lebih dari enam dasawarsa ia menjadi asisten rumah tangga di rumah sebuah keluarga. Sejak itu, ia memang tak pernah kembali ke Gresik untuk menemui tiga kakak dan seorang adiknya.
Semakin tua, Rokhani tak lagi bisa bekerja karena semakin lemah. Ia tak menikah dan tak punya rumah ataupun keluarga di Manado. Anak-anak majikan Rokhani memutuskan membawanya ke Panti Werdha Damai, Kelurahan Ranomuut, Kecamatan Paal II. Kini, ia tinggal bersama 13 perempuan lanjut usia lainnya.
Sementara Rokhani dan para perempuan lanjut usia lain di panti itu menonton, Emma terlihat mondar-mandir di lorong tengah panti yang berbentuk persegi. Ada pegangan besi bercat putih melintang menyambung dari pilar yang satu ke yang lain. Namun, ia tak menggunakannya dan lebih mengandalkan topangan tongkat besinya.
Emma tampak tertatih-tatih, jalannya lambat. Kakinya terlihat sangat besar. ”Kaki saya sedang bengkak, sudah beberapa hari setelah saya pingsan karena darah tinggi,” katanya lirih.
Ia tak menyebut perawatan apa yang telah diterimanya, sementara tak ada keluarga yang datang untuk merawatnya. Yang jelas, dokter dari puskesmas rutin datang sekali seminggu untuk memeriksanya dan memberi obat. Mondar-mandirnya adalah kegiatan yang dianjurkan dokter.
Sebaliknya, Andiana yang lebih muda daripada kedua temannya tak banyak bergerak di kursinya. Sakit di punggung yang menderanya mengharuskan dia bertumpu pada tongkat besi berkaki empat yang melingkar di depan badannya. Meski belum tergolong lansia, tinggal di Panti Werdha Damai adalah pilihan terbaiknya saat ini.
”Anak saya bekerja di Amerika Serikat dan tidak pernah pulang. Suami saya sudah meninggal. Tidak ada siapa-siapa lagi,” katanya.
Etha Mowilos, Bendahara Panti Werdha Damai, mengatakan, hampir semua dari 14 perempuan lansia yang dirawat di sana memang sudah sakit-sakitan, seperti asam urat, diabetes, dan hipertensi. Para perempuan itu pun menjadi tanggung jawab panti swasta itu tanpa terkecuali.
Seharusnya ada biaya jasa perawatan untuk para orang tua sebesar Rp 1 juta per bulan. ”Tetapi, banyak yang sudah tidak punya siapa-siapa. Ada juga yang ada keluarga, tetapi ditelantarkan. Jadi, memang banyak yang tidak bayar, tetapi tetap kami rawat,” kata Etha.
Juru masak dan tiga perawat terus melakukan tugasnya setiap hari. Upah mereka pun diambil dari biaya rawat yang dibayarkan wali lansia. Beruntungnya, sumbangan terus berdatangan, baik dalam bentuk uang maupun sembilan bahan pokok, misalnya dari anak majikan Rokhana, begitu pula dari bank, cabang BUMN di Manado, dan gereja.
Kunjungan dalam bentuk perayaan ulang tahun, ibadah, dan sebagainya selalu ada setiap bulan. Pemerintah provinsi juga memberikan bahan pokok setiap bulan, seperti beras, biskuit, susu, dan kacang hijau, untuk kebutuhan warga lansia.
”Kami memang di sini masih kekurangan. Tetapi, Tuhan itu adil. Semua masih bisa tercukupi karena selalu ada donatur meski tidak ada yang tetap. Bahkan, kami bisa menyumbangkan makanan kami ke 44 orang di luar panti,” kata Etha.
Yang sakit dipulangkan
Senin sore, tiga perempuan lansia duduk berjajar di salah satu wisma di Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia Telantar Senja Cerah, Paniki Bawah, Mapanget, Manado. Di seberang mereka duduk Netty (72). Selepas mandi, rambutnya masih tergulung roll yang di atas dahi dan di belakang kepala.
Rupanya ada konfrontasi antara Netty dengan tiga perempuan tersebut. Dua pegawai negeri sipil (PNS) berpakaian coklat menengahi. ”Oma Netty, kan, suka nonton TV sampai malam. Lebih baik Oma pindah saja ke wisma sebelah. Kalau Oma pulang ke sini pukul 20.00, pintunya berisik, bikin yang lain bangun,” kata salah seorang PNS.
Salah seorang perempuan yang dikenal sebagai Oma Jawa menimpali. ”Iya, saya tidak suka Oma Netty kembali malam-malam karena suara pintu bikin saya terbangun,” katanya.
”Oma Jawa ini memang menyakitkan sekali kalau bicara,” Netty membalas. Namun, tak terjadi pertengkaran. Netty rela pindah ke wisma sebelah.
”Saya memang hobi nonton TV karena tidak ada lagi yang mau dilakukan di sini untuk mengisi waktu,” ujarnya. Netty masih bisa beraktivitas secara mandiri, mulai dari berjalan, mandi, hingga mencuci piring. Dia juga bisa memasak, tetapi tidak perlu karena makanan sudah disediakan di balai lansia milik Pemerintah Provinsi Sulut itu.
Netty memilih tinggal di sana karena tak lagi ingin tinggal dengan anaknya di rumah. Ia sempat berpikir membuka toko kelontong, tetapi rumahnya yang sudah merangkap fungsi sebagai salon milik anaknya tak menyediakan tempat lagi. ”Jadi, saya lebih baik di sini saja,” katanya.
Hal yang sama dikatakan Maria (72). Enam bulan setelah suaminya meninggal pada Agustus 2011, ia memutuskan untuk tinggal di Balai Senja Cerah. Ia memiliki empat anak dan lima cucu di beberapa tempat. Namun, ia memilih untuk tinggal di balai itu.
”Saya sudah besarkan anak-anak, saya tidak akan kuat lagi kalau masih dititipi cucu,” katanya. Ia juga melepaskan pekerjaannya di sebuah rumah makan. Kini, kebutuhan makanan sehari-hari sudah tercukupi dari balai.
Balai Senja Cerah kini diisi oleh 55 orang, sesuai kuota maksimalnya. Warga lansia yang tinggal di sana berusia lebih dari 70 tahun, tetapi semuanya masih bisa melakukan aktivitas sendiri karena tubuh yang masih kuat.
Jerry Hamonsina, Kepala Tata Usaha Balai Senja Cerah, mengatakan, Pemprov Sulut hanya menerima lansia yang memenuhi tiga syarat. Mereka harus memiliki surat identitas, seperti KTP, sehat jasmani dan rohani, dan dapat menyertakan persetujuan dari keluarga untuk tinggal di balai.
”Kalau ada yang sakit, kami akan kembalikan kepada keluarga. Dana dan sumber daya manusia kami sangat terbatas di sini. Jadi, kami hanya bisa merawat yang masih mandiri,” kata Jerry.
Balai itu hanya memiliki empat perawat, sementara tenaga kerja kesejahteraan sosial tidak ada sama sekali. Kebutuhan makan ke-55 lansia dalam setahun dipenuhi dengan dana APBD sekitar Rp 800 juta per tahun. Setiap orang mendapatkan biaya makan Rp 40.000 selama 365 hari. Adapun pakaian hanya didapatkan dari sumbangan masyarakat yang berkegiatan di balai.
Kegiatan para lansia pun cukup teratur, seperti ibadah pada Minggu dan Kamis, pemeriksaan kesehatan oleh dokter tiap Selasa, dan olahraga senam tiap Jumat. ”Para lansia sering kali kesepian karena anak dan cucu mereka hanya ada saat malam hari. Di sini, kebutuhan psikososial mereka lebih terpenuhi karena ada teman ngobrol yang sebaya,” kata Jerry.
Jerry mengatakan, otomatis kehidupan lansia di Balai Senja Cerah lebih sejahtera karena semua sudah dijamin pemerintah. Jika tidak di balai, setidaknya para lansia masih punya keluarga, terutama saat sakit. Ini kontras dengan keadaan di Panti Werdha Damai.
Namun, menurut dia, Balai Senja Cerah tidak lebih baik daripada panti swasta. ”Swasta bisa bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lain untuk pendanaan, sedangkan kami tidak,” katanya.
Sementara itu, Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan Lanjut Usia Dinas Sosial Sulut Henny Lintang mengatakan, pemerintah sangat selektif dalam memasukkan lansia ke panti. ”Kalau ada keluarga, meskipun miskin, kami akan pulangkan. Kami memprioritaskan yang benar-benar tidak punya keluarga dan sudah terdaftar di Basis Data Terpadu Kemensos,” ujarnya.