Risiko Negatif Masih Membayangi
JAKARTA, KOMPAS
Risiko negatif masih membayangi kinerja APBN 2020. Prospek perekonomian global yang lesu, kendati diperkirakan membaik dibandingkan dengan tahun ini, akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
Kondisi itu juga akan memengaruhi pendapatan negara. Meski demikian, potensi penerimaan negara tetap dibidik melalui ekstensifikasi perpajakan dengan mengelola ekspektasi investor dan pelaku usaha.
Dalam Rancangan APBN 2020, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp 1.861,8 triliun atau meningkat 13,3 persen dibandingkan dengan proyeksi APBN 2019. Target perpajakan itu terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.639,9 triliun dan kepabeanan Rp 221,9 triliun. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto ditargetkan 11,5 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, target perpajakan dalam RAPBN 2020 bukan angka tetap. Penerimaan perpajakan dari setiap pos bisa berubah, tergatung prospek pertumbuhan ekonomi dan kemampuan pemerintah memungut pajak dan bea cukai.
“Dari sisi target, basisnya dihitung berdasarkan asumsi dasar makro. Target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen ditambah inflasi dan upaya ekstra Direktorat Jenderal Pajak yang kami anggap realistis,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Sri Mulyani mengakui, perekonomian yang prospeknya lesu akan memengaruhi pendapatan negara. Akan tetapi, ia memastikan, reformasi perpajakan berjalan sesuai rencana.
Pada 2020, arah kebijakan perpajakan difokuskan pada peningkatan kepatuhan wajib pajak dan kualitas layanan, perbaikan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), implementasi keterbukaan informasi perpajakan (AEoI), serta penyetaraan berusaha.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, sejauh ini belum ada terobosan yang dilakukan atau direncanakan pemerintah untuk mencapai target penerimaan perpajakan. Padahal, target penerimaan pada tahun depan terbilang berat.
“Jika tak ada terobosan kita jangan berharap ada kejutan-kejutan dari penerimaan, apalagi situasi perekonomian global menunjukkan pelemahan,” kata Prastowo.
Tren pertumbuhan penerimaan perpajakan melemah. Pada semester I-2019, realisasi penerimaan perpajakan tumbuh 5,4 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan semester I-2018 yang tumbuh 14,3 persen.
Pada 2018, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.344,1 triliun atau sekitar 92,41 persen dari target APBN.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, target pertumbuhan penerimaan pajak 13,3 persen pada 2020 tidak realistis. Kenaikan target ini disinyalir merupakan hasil perhitungan matematis untuk menambal penurunan penerimaan negara bukan pajak.
Menurut Ahmad, tidak ada faktor fundamental yang mendorong lonjakan penerimaan pajak hingga tumbuh dua angka. ”Pengusaha butuh relaksasi perpajakan, tetapi pemerintah justru mengejar kenaikan target PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan) nonmigas,” ujarnya.
Manufaktur
Kemampuan mendorong investasi merupakan kunci penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Investasi, terutama di sektor manufaktur, berpengaruh besar dalam meningkatkan pendapatan dan konsumsi rumah tangga, termasuk menambah penerimaan negara dari sisi pajak.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, investasi manufaktur yang lebih bercorak padat karya akan mendorong peningkatan pendapatan. Selanjutnya, pendapatan yang meningkat akan menumbuhkan konsumsi rumah tangga. Bahkan, investasi manufaktur yang meningkat akan mendorong penerimaan pajak.
"Salah satu penyebab penurunan tahun ini adalah penerimaan pajak dari industri manufaktur yang minus 13 persen. Padahal kontribusi terbesar penerimaan secara sektoral dari industri manufaktur," kata Faisal. (KRN/CAS/DIM)