Seruan Penegakan Hukum demi Rasa Keadilan dari Sorong
Situasi Kota Sorong, Papua Barat, belum benar-benar stabil. Unjuk rasa yang berujung anarki pada Senin lalu terulang Selasa (20/8/2019).
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
SORONG, KOMPAS — Situasi Kota Sorong, Papua Barat, belum benar-benar stabil. Unjuk rasa yang berujung anarki pada Senin lalu terulang Selasa (20/8/2019). Massa menuntut pelaku ujaran bernada rasis yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di luar daerah segera diproses hukum demi memenuhi rasa keadilan.
”Kami minta pelaku yang menghina mahasiswa Papua ditangkap dan diproses menurut hukum yang berlaku. Hati kami sangat sakit mendengar hinaan itu. Proses hukum demi tegaknya rasa keadilan bagi kita semua,” kata Filep Imbir, salah satu peserta unjuk rasa yang berorasi di halaman Kantor Wali Kota Sorong, Selasa siang.
Pemerintah Kota Sorong meliburkan semua sekolah. Kantor pemerintahan mulai dari kelurahan hingga dinas pun ditutup.
Unjuk rasa yang diikuti lebih dari 1.000 orang pada Selasa itu berakhir ricuh. Massa melempari Wali Kota Sorong Lamberth Jitmau yang sedang berbicara di antara massa. Lamberth bersama sejumlah pejabat yang berdiri di depan massa itu berlari masuk ke kantor wali kota. Polisi pun segera memukul mundur demonstran dengan tembakan peringatan dan gas air mata yang letupannya masih terdengar hingga Selasa sore.
Sebelum ricuh di kantor wali kota, massa yang terkonsentrasi di sejumlah lokasi itu memblokade jalan dengan batang kayu dan membakar ban. Saat berjalan kaki menuju kantor wali kota, ada di antara mereka yang melempar toko dan kantor dengan batu. Mereka berteriak meminta agar pelaku ujaran bernada rasis diproses secara hukum.
Sehari sebelumnya, Senin, aksi anarkistis terjadi di Bandar Udara Domine Eduard Osok. Ada penerbangan yang batal mendarat. Dinding kaca di dekat pintu keberangkatan dan kedatangan bolong dipukul dengan benda tajam dan dilempari bantu. Di halaman parkir, satu mobil polisi dan tiga sepeda motor terbakar. Puluhan mobil dan sepeda motor dirusak.
Hingga Senin malam, kondisi di Sorong mulai reda. Aparat Polri dibantu TNI setempat serta sekitar 500 personel Brimob dari sejumlah provinsi berhasil mengendalikan kondisi yang memanas. Aparat keamanan sudah menduduki sejumlah lokasi strategis dan membuka beberapa blokade di jalanan.
Kepala Polres Sorong Kota Ajun Komisaris Besar Mario CP Siregar mengimbau masyarakat tidak perlu lagi turun ke jalan. Pihaknya terus melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama agar mengajak para pengikutnya menjaga keamanan. ”Mari kita jaga keamanan untuk daerah kita ini,” katanya.
Tuntutan akan proses hukum terhadap kasus penghinaan itu diserahkan kepada pihak berwajib. Masyarakat diminta tidak main hakim sendiri. Masyarakat juga diharapkan tidak cepat percaya pada isu yang belum diketahui sumber kebenarannya. Banyaknya hoaks yang beredar di media sosial dan aplikasi percakapan berpotensi memprovokasi masyarakat.
Wali Kota Lamberth Jitmau juga berjanji akan meneruskan harapan masyarakat tersebut kepada pihak berwenang. Bagaimanapun, penghinaan bernada rasis harus diproses secara hukum demi tegaknya keadilan. Ia juga berharap, hal tersebut tidak terulang.
Ekonomi lumpuh
Aksi unjuk rasa yang berujung anarki di Kota Sorong itu menyebabkan ekonomi di kota berpenduduk sekitar 220.000 jiwa tersebut lumpuh total. Sepanjang Senin malam hingga Selasa siang, tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Pertokoan di sepanjang jalan ditutup. Pengelola warung makan juga memilih tutup. Stasiun pengisian bahan bakar minyak juga ditutup.
Toko dan perkantoran di sisi jalan dikhawatirkan menjadi sasaran amukan massa. Kantor Bank BTN dan sejumlah ATM dirusak. Selain aktivitas ekonomi, kegiatan belajar mengajar di sekolah juga tidak dilangsungkan. Pemerintah Kota Sorong meliburkan semua sekolah. Kantor pemerintahan mulai dari kelurahan hingga dinas pun ditutup.