Manajer Frank Lampard masih harus menanti kemenangan perdananya di Chelsea seusai ditahan Leicester City, 1-1, Minggu malam. Namun, laga itu menjanjikan masa depan cerah bagi Chelsea, tidak terkecuali untuk Inggris.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Manajer Frank Lampard masih harus menanti kemenangan perdananya di Chelsea seusai ditahan Leicester City, 1-1, Minggu malam. Namun, laga itu menjanjikan masa depan cerah bagi Chelsea, tidak terkecuali untuk Inggris.
LONDON, SENIN — Stadion Stamford Bridge, markas Chelsea, terlihat semarak menjelang laga kontra Leicester City, Minggu (19/8/2019) malam WIB. Pendukung Chelsea bak tengah berpesta menyambut legendanya yang kini menjadi manajer baru mereka, Frank Lampard.
”Selamat datang di rumah, Super-Frank!” bunyi koreografi raksasa di tribune stadion itu menyambut debut laga kandang Lampard. Sambutan meriah yang lama tidak terlihat itu bak ekstasi bagi Lampard, mantan kapten sekaligus pencetak gol terbanyak Chelsea dengan koleksi 211 gol.
Energi Lampard mengalir ke para pemainnya. Chelsea tampil luar biasa pada babak pertama laga Liga Inggris itu. Mereka tampil revolusioner, yaitu kompak, ngotot, menekan dengan intensitas tinggi, dan nyaris tidak memberikan ruang bagi Leicester untuk melakukan serangan balik. Para pemain Chelsea bak kesetanan dan terus berlari menekan meskipun kehilangan bola.
Leicester sempat kewalahan menghadapi ledakan energi tuan rumah. Gelandangnya, Wilfred Ndidi, sampai dibuat kikuk menghadapi tekanan konstan Chelsea. Gelandang muda Chelsea, Mason Mount, merampas bola yang digiring Ndidi dan tanpa ampun menendangnya seketika ke gawang Leicester yang dikawal kiper kawakan, Kasper Schmeichel.
Bersamaan masuknya bola ke gawang, Stamford Bridge pun bergemuruh. Sepak bola rock and roll alias energi tinggi—yang sempat menjadi monopoli Liverpool—tiba-tiba hadir di hadapan mereka dalam balutan kostum biru. Lewat gol itu, Chelsea seolah menunjukkan bahwa mereka adalah muda, energik, penuh semangat.
”Mereka tim yang tampil progresif,” ujar Tim Cahill, mantan pemain Liga Inggris, di BBC.
Gol Mount, alumnus Akademi Chelsea, sangatlah simbolis bagi Chelsea. Itu adalah gol pertama Lampard sebagai manajer di Liga Inggris. Mount juga mengukir rekor baru, yaitu sebagai pemain asal Inggris pertama dalam kurun 22 tahun terakhir yang mencetak gol pada debutnya di laga kandang Chelsea. Sebelumnya, prestasi itu diukir Paul Hughes, eks pemain Chelsea, pada Januari 1997.
Mount mewakili gerakan nasionalisme Chelsea bersama Lampard. Klub yang di masa lalu dikenal sebagai ”tim internasional” dengan banyaknya manajer dan bintang asing itu kini mendadak kental dengan nuansa Inggris. Klub yang satu dekade silam hobi membeli pemain-pemain mahal sejagat itu kini mulai melihat akademinya sebagai pasokan utama di skuad inti.
Para alumnus akademi itu, seperti Mount, Tammy Abraham, dan Andreas Christensen, dipercaya Lampard sebagai fondasi tim. Dominasi para alumnus Akademi Chelsea di tim itu bakal kian nyata seiring pulihnya gelandang Ruben Loftus-Cheek dan penyerang Callum Hudson-Odoi.
”Pusat latihan Cobham (Akademi Chelsea) memproduksi lebih banyak talenta muda berbakat dibandingkan akademi-akademi lainnya. Namun, sedikit yang berkesempatan tampil di tim inti,” ungkap Nizaar Kinsella, koresponden Goal.com di London.
Menurun drastis
Karena terbilang muda, baik Chelsea maupun Lampard masih dalam fase membangun dan jauh dari sempurna. Pada babak kedua kontra Leicester, misalnya, intensitas serangan mereka menurun drastis seiring ditarik keluarnya striker berpengalaman, Oliver Giroud, untuk digantikan Abraham. Leicester pun balik menekan. James Maddison, penyerang sayap Leicester yang juga berdarah Inggris, merajalela di babak kedua.
Maddison, pemain yang menciptakan kreasi peluang terbanyak di Liga Inggris musim lalu, menghasilkan asis yang dimaksimalkan Nididi menjadi gol lewat sepak pojok di menit ke-67. Maddison bahkan nyaris membuat gol kemenangan di pengujung laga. ”Saya benci mencari-cari alasan kelelahan. Namun, itu menjadi faktor (turunnya penampilan Chelsea) di babak kedua,” ujar Lampard seusai laga itu.
Permainan intensitas tinggi seperti dituntut Lampard memang membutuhkan stamina dan energi tinggi. Sayangnya, laga kontra Liverpool di Piala Super Eropa yang berlangsung hingga 120 menit, Kamis lalu, cukup menguras energi mereka. Chelsea masih harus belajar cara mengelola energi itu. ”Saya tidak berharap kami berlari 100 mil per jam selama 90 menit laga. Namun, seharusnya kami bisa menahan bola lebih lama. Ini pelajaran penting bagi saya hari ini,” ujar Lampard.
Terlepas dari hasil imbang itu, media Inggris, The Independent, menilai, tim nasional Inggris bakal diuntungkan. Pelatih timnas Inggris, Gareth Southgate, kini punya lebih banyak pemain berbakat di timnya, seperti Mount dan Maddison. Keduanya diyakini menjadi bintang masa depan Inggris. ”Adalah hal langka di Liga Inggris melihat sebuah laga didominasi dua pemain kreatif asal Inggris (Mount dan Maddison) seperti ini,” tulis koran itu. (AFP)