Setelah protes selama 11 minggu, Pemerintah Hong Kong membuka dialog dengan para pengunjuk rasa pro-demokrasi. Dialog dibuka untuk mencari solusi pada persoalan yang terjadi. Harapannya Hong Kong dapat keluar dari persoalan ekonomi yang kini menuju resesi.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
HONG KONG, SELASA - Setelah protes selama 11 minggu, Pemerintah Hong Kong membuka dialog dengan para pengunjuk rasa pro-demokrasi. Dialog dibuka untuk mencari solusi pada persoalan yang terjadi. Harapannya Hong Kong dapat keluar dari persoalan ekonomi yang kini menuju resesi.
Warga Hong Kong kembali menggelar aksi protes pada Minggu (18/7/2019). Penyelenggara unjuk rasa mengklaim sekitar 1,7 juta orang mengikuti aksi tersebut. Aksi itu berlangsung damai setelah beberapa aksi sebelumnya berakhir ricuh dengan korban luka dari pihak pengunjuk rasa dan kepolisian.
“Saya harap ini menjadi awal masyarakat kembali damai dan menjauh dari kekerasan. Kami akan memulai pekerjaan untuk membangun platform dialog. Saya harap dialog akan berdasarkan pada saling pengertian dan menghormati serta menemukan jalan keluar untuk Hong Kong saat ini,” ujar Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, Selasa (20/8/2019).
Lam berharap investasi perusahaan asing kembali masuk ke Hong Kong. Ucapan ini disebutkan setelah pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi Hong Kong turun 0,4 persen selama April-Juni 2019 dibandingkan periode yang sama pada 2018. “Ekonomi Hong Kong menghadapi risiko penurunan. Kita bisa melihat ini dari data di semester pertama. Sebenarnya, saya pikir data di semester pertama belum sepenuhnya mencerminkan keseriusan masalah yang terjadi,” kata Lam.
Unjuk rasa Hong Kong selama hampir tiga bulan terakhir memengaruhi perekonomian dan pariwisata Hong kong sebagai pusat keuangan Asia. Hong Kong kini menghadapi ancaman resesi pertama dalam satu dekade terakhir. Pemerintah telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi nol hingga 1 persen dari 2-3 persen pada 2019.
Akan tetapi, warga Hong Kong belum bergeming dengan tuntutannya. Sejumlah aksi unjuk rasa direncanakan berlangsung dalam beberapa hari ke depan, termasuk protes pekerja moda raya terpadu (MRT), protes pelajar sekolah menengah atas, protes akuntan selama 21-23 Agustus 2019.
Sejak awal Juni 2019, warga Hong Kong melakukan aksi protes menolak rancangan undang-undang ekstradisi yang diajukan pemerintah. RUU tersebut dikhawatirkan mengirim warga untuk diadili di China yang menganut sistem pemerintahan komunis. “RUU itu sudah mati. Tidak ada rencana untuk menghidupkannya kembali, terutama di tengah keprihatinan publik,” kata Lam.
RUU Ekstradisi hingga kini berada dalam status penundaan sejak 15 Juni 2019. Akan tetapi, Lam tidak kunjung mencabut usulan RUU Ekstradisi tersebut sesuai tuntutan para pengunjuk rasa. Aksi unjuk rasa kemudian berkembang menjadi gerakan pro-demokrasi. Para pengunjuk rasa tidak hanya meminta RUU Ekstradisi dicabut sepenuhnya.
Mereka juga menuntut agar Pemerintah Hong Kong membatalkan penyebutan pengunjuk rasa sebagai perusuh, membebaskan pengunjuk rasa yang ditahan polisi, mendesak Carrie Lam mundur, menyelidiki kekerasan yang dilakukan kepolisian, serta memberi mereka hak pilih terhadap pejabat legislatif dan pemimpin Hong Kong.
Aksi unjuk rasa tersebut mengundang kecaman China. Pekan lalu, China menggelar parade kekuatan militer di Shenzhen, sebuah kota yang berbatasan dengan Hong Kong. Amerika Serikat dituduh Beijing turut berkontribusi dalam memicu kerusuhan di Hong Kong.
Lebih dari 700 pengunjuk rasa telah ditahan kepolisian sejak Juni 2019. “Pengawas polisi telah membentuk satuan tugas untuk menyelidiki pengaduan (kekerasan polisi selama kerusuhan),” tutur Lam.
Ditahan
Kementerian Luar Negeri Inggris menyatakan kekhawatiran atas laporan staf lokal di Hong Kong ditahan di China. Media Hong Kong HK01 melaporkan, Simon Cheng dilaporkan tidak kembali bekerja pada 9 Agustus 2019 setelah mengunjungi Shenzhen sehari sebelumnya.
Namun, belum ada kejelasan apakah penahanan berkaitan dengan aksi protes. Kementerian Luar Negeri China dan Kepolisian Hong Kong tidak memberikan jawaban ketika dimintai keterangan.
Hong Kong menjadi bagian dari China sejak diserahkan Inggris pada 1997. Kesepakatan yang dibuat adalah China dan Hong Kong adalah satu negara dengan dua sistem pemerintahan yang berbeda hingga 2047. (Reuters)