JAKARTA, KOMPAS — Risiko negatif yang membayangi penerimaan perpajakan harus diantisipasi lewat terobosan kebijakan. Salah satunya dengan merealisasikan nomor identitas tunggal untuk mempermudah penggalian potensi pajak.
Efektivitas pemungutan pajak harus ditopang strategi mengawinkan identitas (siapa) dengan aktivitas (melakukan dan memiliki apa). Semakin akurat data dan informasi yang dimiliki Direkrorat Jenderal Pajak, maka penggalian potensi pajak juga makin mudah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, konsistensi dan keandalan data jadi tantangan besar di Indonesia. Integrasi data antara Direktorat Jenderal Pajak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, atau dengan institusi lain memang dibutuhkan. Namun, integrasi data saja tidak cukup.
“Prioritas bagi kami—Kementerian Keuangan, adalah keandalan konsistensi dari data tersebut,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Menurut Sri Mulyani, setiap orang mesti memiliki identitas khusus atau unik yang tidak mudah dipindahtangankan. Tujuannya untuk mempermudah otoritas terkait dalam pelacakan transaksi. Saat ini Kemenkeu sudah menyinkronkan data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Ditemui terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, nomor identitas tunggal seharusnya digunakan sebagai pengidentifikasi umum (common identifier) semua transaksi pemerintah dan swasta. Nomor identitas tunggal akan mempermudah petugas pajak dalam menghimpun data.
“Penggalian potensi pajak semakin mudah manakala nomor identitas tunggal segera terealisasi dan berjalan optimal,” kata Prastowo yang dihubungi di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Nomor identitas tunggal seharusnya digunakan sebagai pengidentifikasi umum (common identifier) semua transaksi pemerintah dan swasta
Nomor identitas tunggal bisa digunakan pemerintah untuk menangkap potensi pajak konsumsi. Hal itu bisa dilakukan karena nomor identitas tunggal melibatkan sejumlah lembaga dan basis data yang besar. Selain pajak, ada beberapa data yang terkoneksi, antara lain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan surat izin mengemudi.
Menurut Prastowo, nomor identitas tunggal yang tak kunjung terealisasi menjadi sumber masalah. Selain menyebabkan potensi pajak sulit tergali, ketiadaan data awal yang akurat membuat pemeriksaan pajak tak efektif dan rawan menimbulkan sengketa. Nomor identitas tunggal akan mempermudah pelacakan transaksi wajib pajak.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menuturkan, sejauh ini data perpajakan baru tersinkronisasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Integrasi data antara Ditjen Pajak dan Disdukcapil berjalan sejak tahun 2013.
Penerapan sistem identitas data tunggal akan menggunakan KTP elektronik yang terintegrasi dengan sejumlah data kependudukan. Pemerintah menjamin kerahasiaan data integrasi data kependudukan. Sejauh ini sudah terjalin kerja sama dengan 1.210 lembaga.
Potensi pajak
Sri Mulyani, berulang kali menegaskan, risiko negatif masih membayangi kinerja APBN 2020. Kondisi itu juga akan memengaruhi pendapatan negara. Meski demikian, potensi penerimaan negara tetap dibidik melalui ekstensifikasi perpajakan dengan mengelola ekspektasi investor dan pelaku usaha.
Dalam Rancangan APBN 2020, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp 1.861,8 triliun atau meningkat 13,3 persen dibandingkan dengan proyeksi APBN 2019. Target perpajakan itu terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.639,9 triliun dan kepabeanan Rp 221,9 triliun. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto ditargetkan 11,5 persen.
Prastowo menambahkan, sejauh ini belum ada terobosan yang dilakukan atau direncanakan pemerintah untuk mencapai target penerimaan perpajakan. Padahal, target penerimaan tahun 2020 terbilang berat.
Menurut Prastowo, selain sinkronisasi data pajak dengan nomor identitas tunggal, ada beberapa terobosan lain yang bisa ditempuh pemerintah, seperti penggunaan mesin kasir untuk memungut PPN, serta optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).