Pertemuan Emmanuel Macron dan Vladimir Putin diharapkan bisa menerobos kebuntuan terkait krisis di Ukraina dan ketegangan akibat gagalnya kesepakatan nuklir Iran.
PARIS, SENIN—Pertemuan Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah membuka peluang dialog konstruktif menyangkut konflik bersenjata di Ukraina, kesepakatan nuklir Iran, konflik Suriah, serta perbaikan hubungan antara Rusia dan Uni Eropa.
Pertemuan pada Senin (19/8/2019) sore waktu setempat itu berlangsung di rumah peristirahatan resmi Macron di Bregancon, kawasan tepi Laut Tengah, Perancis, beberapa hari jelang pertemuan G-7 di Biarritz, 24-26 Agustus.
Rusia dikeluarkan dari kelompok G-8 pada 2014 setelah menganeksasi Semenanjung Crimea (Ukraina) dan terus mendukung kelompok separatis di Ukraina timur. Konflik di wilayah itu telah merenggut sekitar 13.000 korban jiwa.
Sejak menjadi presiden pada 2017, Macron terus melebarkan peran Perancis di panggung internasional. Ia meyakini , terpilihnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky akan membantu penyelesaian krisis. Zelensky sebelumnya telah meminta pertemuan dengan Putin dan keduanya telah melakukan pembicaraan via telepon.
Menurut sumber di Paris, terpilihnya Presiden Zelensky telah memberi ruang bagi Perancis untuk melakukan manuver sebagai mediator.
Penasihat untuk Kremlin, Yuri Ushakov, menyebutkan bahwa dialog antara Perancis dan Rusia semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir. ”Kami berterima kasih pada Perancis atas perannya yang konstruktif,” kata Ushakov.
Respons positif Rusia terhadap pertemuan itu ditunjukkan dengan pembebasan bankir Perancis, Philippe Delpal, yang mendekam di penjara Rusia selama enam bulan.
Delpal, mitra perusahaan ekuitas di Moskwa, ditahan karena tuduhan penipuan. Delpal yang berkeras tidak bersalah, pekan lalu, dibebaskan dari penjara dan kini menjalani tahanan rumah. Menurut Ushakov, Macron telah beberapa kali membicarakan kasus Delpal dengan Putin.
Ukraina dan Iran
Sejumlah sumber mengatakan, Macron ingin menghidupkan lagi Kesepakatan Minsk tahun 2015 yang diinisiasi Paris dan Berlin. Kesepakatan itu dianggap bisa meredam konflik di Ukraina timur.
Selain soal Ukraina, kedua tokoh ini juga akan membicarakan masalah nuklir Iran dan eskalasi ketegangan Iran-AS di Timur Tengah. Rusia dan Perancis merupakan penanda tangan Kesepakatan Nuklir Iran 2015 (JCPOA) bersama dengan Inggris, Jerman, China, dan AS. Secara unilateral, AS keluar dari kesepakatan pada 2018 dan kembali menerapkan sanksi ekonomi pada Iran yang berdampak pada hancurnya ekonomi Iran.
Sejauh ini, lima negara yang berupaya melanjutkan kesepakatan nuklir tidak mampu menyelamatkan Iran dari dampak sanksi ekonomi. Alhasil, Iran kembali memperkaya uranium di atas batas yang diizinkan oleh kesepakatan nuklir. Konfrontasi Iran-AS itu dikhawatirkan dapat berujung perang.
Ushakov mengonfirmasi bahwa Macron dan Putin akan membicarakan kesepakatan nuklir. Paris berharap, Moskwa yang memiliki hubungan dekat dengan Teheran bisa menggunakan pengaruhnya agar eskalasi ketegangan di kawasan bisa diturunkan.
Terkait konflik di Suriah, saat ini pertempuran masih berlangsung di wilayah Idlib antara pasukan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad yang didukung Rusia dan Iran melawan kubu oposisi yang didukung Turki dan negara-negara Arab.
Paris berharap, kubu pro-Assad menghentikan serangan sehingga tak terjadi banjir pengungsi menuju Turki. Dari Turki para pengungsi mengupayakan segala cara untuk menyeberang ke Eropa.
Sebetulnya, pada September 2018 telah terjadi kesepakatan pembentukan zona penyangga yang ditandatangani Rusia dan Turki. Namun, kesepakatan itu tidak pernah bisa diimplementasikan secara penuh di lapangan. Kubu oposisi berkeras menolak mundur dari zona demiliterisasi.