Himki Minta Subsidi Mesin Mebel Naik Dua Kali Lipat
Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) minta kepada pemerintah agar pada 2020 menaikkan subsidi peralatan mesin mebel dua kali lipat dari Rp 15 miliar menjadi Rp 30 miliar. Kenaikan subsidi sangat penting untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi
industri mebel.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS - Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) minta kepada pemerintah agar pada 2020 menaikkan subsidi peralatan mesin mebel dua kali lipat dari Rp 15 miliar menjadi Rp 30 miliar. Kenaikan subsidi sangat penting untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi
industri mebel.
Langkah tersebut kata Sekretaris Jenderal Himki Abdul Sobur di Surabaya, Selasa (20/8/2019) diyakini bisa berdampak positif terhadap upaya
peningkatan nilai ekspor mebel Indonesia. Saat ini nilai ekspor mebel secara nasional 1,7 miliar dollar AS per tahun.
Masih kecilnya nilai ekspor mebel secara nasional menurut Abdul Sobur disebabkan masih banyak regulasi yang memberatkan sektor industri tersebut antara lain terkait upah pekerja, serta pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). "Jadi demi efisiensi peremajaan peralatan
mesin di sektor industri permebelan berupa penggunaan mesin canggih perlu terus diperluas," katanya.
Dalam seminar di sela-sela seminar "Teknologi Tercanggih untuk Meningkatkan Produktivitas Industri Mebel dan Kerajinan Nasional", Abdul Sobur kembali mengatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Perindustrian sejak tahun lalu memberikan subsidi pembelian peralatan mesin senilai Rp 15 miliar bagi industri kecil menengah (IKM). Tahun ini nilai anggarannya masih sama sama. "Maka tahun depan diharapkan bisa naik menjadi Rp 30 miliar," ujarnya.
Teknis pemberian subsidi dengan sistem pelaku industri membeli terlebih dulu jenis peralatan mesin yang dibutuhkan, kemudian Kemenperin memberikan subsidi 25 persen dari harga beli mesin. Adapun plafon pemberian subsidi untuk pembelian peralatan mesin hingga seharga Rp 500 juta.
Penggunaan mesin canggih menjadi keniscayaan agar industri
mebel Indonesia bisa maju dan efisien sekaligus memiliki daya saing tinggi di
pasar internasional. Hal serupa juga dilakukan industri mebel di China yang
semula mengimpor mesin dari Eropa, kemudian menggunakan mesin buatan
sendiri dengan mendirikan pusat industri mesin mebel di Kota Lunjio, Provinsi
Kwantung, China.
Imbas perang dagang AS-China, sebanyak 600 perusahaan mebel asal China dan Taiwan merelokasi pabrik ke Vietnam. Padahal dalam kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia, tapi investasi pabrik mebel di sini kurang diminati karena regulasinya memberatkan
Dengan cara demikian, industri mebel China maju pesat hingga mampu
mengekspor produk furnitur senilai 250 miliar dollar AS per tahun. Bahkan 2019 diperkirakan ada penurunan dan hanya mencapai 200 miliar dollar AS akibat terjadinya perang dagang China-AS.
"Imbas perang dagang AS-China, sebanyak 600 perusahaan mebel asal China dan Taiwan merelokasi pabrik ke Vietnam. Padahal dalam kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia, tapi investasi pabrik mebel di sini kurang diminati karena regulasinya memberatkan,” ujarnya.
Pada kesempatan itu Ketua HIMKI Jatim Nur Cahyudi mengatakan regulasi yang memberatkan itu antara lain ketentuan tentang SVLK yang membutuhkan biaya tidak kecil. Selain itu, upah pekerja juga cukup besar. Akibatnya, biaya produksi mebel menjadi tidak kompetitif.
Kemudahan regulasi
Selain tambahan subsidi Nur Cahyudi juga meminta kemudahan regulasi guna mempertahankan industri eksisting bidang ermebelan yang tergolong industri padat karya.
“Tingkat pengangguran terbuka di Jatim mencapai 830.000 orang dan
sebanyak 5 juta jiwa bekerja di bawah 5 jam per hari. Untuk itu Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus membuat terobosan kebijakan guna mempertahankan keberlangsungan industri mebel yang ada sekaligus menarik investasi baru,” ujarnya.
Dia menambahkan, industri mebel di Jatim terbebani upah pekerja yang
cukup tinggi yakni Rp 3,8 juta/bulan di Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Mojokerto dan Pasuruan. Beban lain industri mebel kehadiran aparat penegak hukum juga sering masuk ke pabrik
guna merazia penggunaan genset maupun peraturan lain yang membuat
risau pengusaha.
“Kontribusi industri mebel terhadap ekspor mebel nasional mencapai 40 persen,
tetapi masa depan industri ini kurang cerah akibat regulasi yang memberatkan.
Sudah ada produsen mebel yang merelokasi pabriknya ke Vietnam,” ungkap Nur.