Banyak Modus untuk Bekerja Nonprosedural di Luar Negeri
Saat ini, mulai banyak berkembang modus yang digunakan agar setiap orang bisa dengan cepat bekerja secara nonprosedural di luar negeri. Dengan menggunakan modus tersebut, seolah-olah aktivitas yang sebenarnya ilegal itu sudah memenuhi aturan yang berlaku.
Oleh
REGINA rUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Saat ini mulai banyak berkembang modus yang digunakan agar setiap orang bisa dengan cepat bekerja secara nonprosedural di luar negeri. Dengan cara demikian, seolah-olah aktivitas yang sebenarnya ilegal sudah memenuhi aturan yang berlaku.
Kepala Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Jawa Tengah Ramli HS mengatakan, sejumlah modus yang kerap dipakai untuk berangkat dan bekerja di luar negeri antara lain melakukan ibadah haji ataupun umrah.
”Mereka mengurus izin untuk berangkat sebagai jemaah haji dan umrah, tetapi pada akhirnya mereka tidak pernah pulang kembali ke Indonesia,” ujarnya dalam acara sosialisasi di Hotel Atria, Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa (20/8/2019).
Selain itu, modus lain yang kerap digunakan adalah tawaran beasiswa. Ramli mengatakan, beberapa waktu lalu, marak ada tawaran beasiswa untuk bersekolah di Taiwan. Namun, belakangan baru diketahui bahwa hal itu merupakan modus yang digunakan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) untuk memperdagangkan tenaga WNI tersebut menjadi TKI di luar negeri.
Di luar itu, modus lain yang kerap digunakan adalah memakai alasan ikut sebagai duta wisata atau duta budaya. Selain itu, ada pula sejumlah orang yang nekat berangkat dengan menggunakan visa ziarah.
Ramli mengatakan, perekrutan TKI secara nonprosedural terjadi dan diminati oleh WNI karena dengan menempuh cara ini, mereka tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk memenuhi semua persyaratan administrasi dan tidak perlu menempuh program pelatihan sebelum bekerja.
Sebaliknya, masyarakat di luar negeri pun suka mempekerjakan TKI yang direkrut nonprosedural karena mereka bisa digaji dengan upah lebih rendah tanpa perlu adanya pembayaran tunjangan kesehatan, transportasi, dan hak-hak lain seperti yang dibayarkan kepada mereka yang bekerja sesuai prosedur.
TKI yang bekerja nonprosedural sama sekali tidak memiliki jaminan perlindungan hukum dan jaminan hidup di luar negeri.
Untuk mencegah terjadi aktivitas bekerja nonprosedural di luar negeri, Ramli mengatakan, pihaknya kini lebih hati-hati dalam hal penerbitan paspor. Tahun 2018, di Jawa Tengah terjadi penolakan penerbitan paspor bagi 6.397 orang dan selama Januari-Agustus 2019 telah terjadi penolakan paspor bagi 3.926 orang. Penolakan tersebut dilakukan karena pemohon paspor tersebut terindikasi berencana bekerja secara ilegal.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Wonosobo I Gusti Ketut Arief Rachman menyebutkan, perekrutan tenaga kerja yang bekerja nonprosedural itu terjadi dan dilakukan mafia TKI yang ingin mengeruk keuntungan dalam mekanisme tersebut.
Dalam hal ini, ujar Arief, Kantor Imigrasi berupaya mencegah agar kasus tersebut tidak terus-menerus terjadi karena berdampak buruk bagi WNI.
”TKI yang bekerja nonprosedural sama sekali tidak memiliki jaminan perlindungan hukum dan jaminan hidup di luar negeri,” ucapnya.
Namun, perekrutan TKI ilegal memang sulit dicegah dan masih terjadi hingga kini. Di wilayah kerja Kantor Imigrasi Wonosobo saja, banyak wanita yang terindikasi akan bekerja secara nonprosedural di luar negeri.
”Alasan yang kerap dipakai untuk pergi ke luar negeri adalah melakukan kunjungan wisata,” lanjutnya.
Indikasi untuk bekerja nonprosedural adalah karena dokumen kependudukan seperti KTP dan kartu keluarga merupakan cetakan baru. Namun, di sisi lain, mereka juga tidak memiliki ijazah dan tidak tahu akan tinggal atau menginap di mana.
Waspadai modus pernikahan
Ramli juga meminta setiap orang mewaspadai adanya muatan kepentingan lain dalam pernikahan campuran, antara WNI dan warga negara asing (WNA). Tidak semata-mata bertujuan ingin membentuk keluarga, WNA yang terlibat justru kerap kali membawa muatan kepentingan lain, yang pada akhirnya berdampak buruk kepada WNI pasangannya.
Dengan statusnya sebagai seorang istri, WNI tersebut akhirnya ikut dimintai keterangan dan dianggap juga ikut mendukung tindak pidana suaminya.
Ia menambahkan, muatan kepentingan lain misalnya kepentingan ingin mengedarkan narkoba. Di salah satu daerah di Jawa Tengah, kasus ini pernah terjadi, ketika seorang warga negara Nigeria yang ingin menikahi WNI ternyata menjadi target aparat kepolisian. Pernikahan dijadikannya sebagai sarana untuk mengaburkan statusnya sebagai pelaku peredaran narkoba.
Hal ini pada akhirnya berdampak buruk kepada WNI yang menjadi istrinya. ”Dengan statusnya sebagai seorang istri, WNI tersebut akhirnya ikut dimintai keterangan dan dianggap juga ikut mendukung tindak pidana suaminya,” ujarnya.
Oleh sejumlah oknum, lanjutnya, pernikahan pun bisa menjadi cara untuk melakukan perdagangan manusia. Hal ini terjadi pada kasus ”pernikahan pesanan” yang biasanya kerap dilakukan WNA asal China.
Dalam hal ini, WNA yang mencari pasangan ini melibatkan seorang calo yang berperan mencarikan calon istri. Dari sinilah, calo mencari dan membujuk rayu para orangtua agar mau membiarkan putrinya dipinang WNA.
Dalam hal ini, Ramli mengatakan, pihak yang sepenuhnya diuntungkan adalah calo. ”Si calo bisa mendapatkan uang ratusan juta. Namun, sebaliknya, pengantin perempuan biasanya kemudian kerap menjadi korban karena tidak diperlakukan dengan baik. Sebaliknya, justru diperas tenaganya, diwajibkan bekerja untuk menghidupi keluarga,” tuturnya.
Kasus ”pengantin pesanan” ini menimpa banyak wanita di Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Namun, hal ini juga berpotensi di daerah-daerah lain.
Kasus ”pengantin pesanan” ini terjadi karena di China, pernikahan dengan sesama warga China menghabiskan biaya mahal. Selain itu, untuk pernikahan dengan sesama warga ini, Pemerintah China menetapkan satu anak pada setiap pernikahan.