Sekelompok massa, termasuk mahasiswa, di Manokwari, Papua Barat, terprovokasi oleh sebaran konten peristiwa pengamanan salah satu asrama mahasiswa di Surabaya, Jawa Timur. Presiden diminta bicara dalam menyelesaikan kasus ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi menyatakan, sekelompok massa, termasuk mahasiswa, di Manokwari, Papua Barat, terprovokasi oleh sebaran konten peristiwa pengamanan salah satu asrama mahasiswa di Surabaya, Jawa Timur. Akibatnya, massa berunjuk rasa di Manokwari yang menyebabkan rusaknya sejumlah fasilitas publik. Presiden diminta bicara dalam menyelesaikan kasus ini.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Senin (19/8/2019), di Jakarta, menjelaskan, pagi ini, massa memblokir sejumlah jalan di pusat kota Manokwari. Dalam perkembangannya, aksi massa juga berujung pada perusakan fasilitas publik, antara lain gedung DPRD, bangunan eks kantor gubernur, dan beberapa fasilitas publik lainnya yang masih didata.
Menurut Dedi, massa terprovokasi oleh konten di media sosial yang berisi dugaan diskriminasi dalam proses pengamanan asrama di Surabaya. Polisi pun sedang mencari identitas penyebar konten itu. Sejumlah konten dipastikan hoaks, antara lain soal terbunuhnya mahasiswa Papua.
”Akun-akun tersebut sudah menghapus kontennya, tetapi jejak digital masih bisa dilacak,” katanya.
Jumat (16/8/2019), masyarakat mendatangi asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya. Mereka merespons atas ditemukannya bendera dalam keadaan patah tiang dan berada di selokan dekat asrama.
Pada Sabtu, lanjut Dedi, aparat menjemput 43 mahasiswa di asrama tersebut. Kondisi asrama saat itu sudah dikepung oleh masyarakat. ”Kalau (mahasiswa) tidak dievakuasi, malah bisa jadi korban,” katanya.
Saat ini, ke-43 mahasiswa yang diperiksa polisi itu sudah dipulangkan. Sementara perusakan bendera di depan asrama tersebut terus berulang setiap tahun. ”Kami masih mencari siapa pelakunya,” ucapnya.
Presiden harus bicara soal ini karena ini bukan lagi levelnya gubernur, apalagi wali kota.
Di Manokwari, kata Dedi, situasi berangsur tenang. Sementara di Jayapura, situasi lebih kondusif. Kendati demikian, aparat gabungan masih melakukan patroli terpadu untuk mengantisipasi berkembangnya kerusuhan. Aparat terus membangun komunikasi dengan tokoh masyarakat dan koordinator massa.
Melalui keterangan tertulis, Direktur Paritas Institute Penrad Siagian menduga ada ucapan diskriminatif yang dilontarkan masyarakat yang mengepung asrama mahasiswa di Surabaya. Oleh karena itu, dia meminta polisi mengusut hal tersebut.
Dihubungi terpisah, pengacara hak asasi manusia yang mendampingi mahasiswa Papua, Veronica Koman, menjelaskan, penanganan aparat tidak proporsional. Sabtu lalu, ujarnya, terjadi dialog antara mahasiswa dan aparat di asrama itu. Saat diskusi berlangsung, aparat sudah keburu menembakkan beberapa kali gas air mata ke arah asrama.
Selain itu, mahasiswa disuruh berjalan jongkok dan tiarap saat keluar dari asrama. Ia menilai tindakan tersebut berlebihan.
Menurut Veronica, kerusuhan di Manokwari yang merupakan respons atas diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua itu merupakan puncak gunung es. Pemerintah pusat, katanya, harus duduk dengan orang Papua dalam posisi setara. Sudah terlalu sering orang Papua diperlakukan tidak adil.
Veronica menyebutkan, Presiden Joko Widodo harus turun tangan langsung menangani persoalan Papua. Masalah Papua, lanjut Veronica, tak bakal selesai jika hanya ditangani kepala daerah.
”Presiden harus bicara soal ini karena ini bukan lagi levelnya gubernur, apalagi wali kota,” katanya.