Perubahan Lingkungan Meningkatkan Risiko Kesehatan
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bauran DNA Denisovan menyebabkan orang Papua memiliki imunitas yang baik terhadap sejumlah parasit dan virus. Namun demikian, perubahan lingkungan dan pola hidup membuat mereka rentan terkena penyakit. Serangkaian studi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Papua diharapkan bisa memberikan perspektif baru terkait tingginya gizi buruk di kawasan ini.
“Kajian sebelumnya menunjukkan, populasi Papua memiliki komposisi DNA Denisovan 3-5 persen atau yang tertinggi dibandingkan populasi lain. Beberapa rantai DNA ini berperan penting bagi imunitas dan metabolisme lipid,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika populasi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Selama sepekan terakhir, Kompas mengikuti Herawati dan tim Eijkman mengumpulkan data genetika masyarakat Asmat, Papua. Selain untuk melengkapi pemetaan mengenai asal-usul dan sejarah migrasi manusia Indonesia, pemeriksaan ini juga mencari kaitan antara kekhasan DNA mereka dengan imunitas dan kerentanan terhadap penyakit.
Selama di Asmat, tim telah mengambil sampel genetik populasi di Kampung Daikot dan Somnak di Distrik Joutu, masing-masing sekitar enam dan tujuh jam dengan perahu cepat dari Kota Agats. Penelitian genetika ini dilakukan berbarengan dengan pemeriksaan lepra di kawasan ini oleh tim Litbang Kesehatan Papua yang dipimpin peneliti Hana Krisnawati.
“Dua kampung ini termasuk kantung lepra atau kusta dengan penderita bisa sampai di atas 75 persen populasi,” kata Hana.
Pola hidup
Masyarakat di dua kampung ini awalnya hidup dari berburu dan meramu, dengan pangan pokok sagu, ulat sagu, dan ikan. Namun demikian, sejak awal tahun 2000-an mulai terjadi perubahan pola konsumsi seiring dengan maraknya pencarian gaharu. Sejak itu banyak pendatang yang mengenalkan aneka jenis makanan baru, utamanya beras, mi instan, dan makanan kaleng. Selain itu, baik lelaki maupun perempuan di kampung ini rata-rata merokok.
Sejak awal tahun 2000-an mulai terjadi perubahan pola konsumsi seiring dengan maraknya pencarian gaharu
Sekalipun sehari-hari masih makan sagu, namun sebagian warga saat ini mulai rutin mengonsumsi beras dan mi instan. Bahkan, menurut Nasir (60), pemilik toko di Daikot, mi instan merupakan barang dagangan paling laku di kampung yang dihuni 304 orang ini. Dalam seminggu biasanya dia bisa menjual sekitar 50 kardus mi instan yang masing-masing berisi 40 bungkus.
“Perubahan pola makan alami ke processed food (makanan pabrikan) ini pasti mempengaruhi komposisi mikrobioma mereka. Beberapa kajian menunjukkan, makanan pabrikan menurunkan keragaman mikrobioma dan keseimbangan mikrobioma yang akhirnya bisa picu berbagai masalah kesehatan,” kata peneliti senior Eijkman, Safarina G Malik.
Beberapa kajian menunjukkan, makanan pabrikan menurunkan keragaman mikrobioma dan keseimbangan mikrobioma yang akhirnya bisa picu berbagai masalah kesehatan
Berdasarkan pengukuran kolesterol total di dua kampung ini diperoleh perbedaan nilai rerata. Kampung Daikot yang lebih banyak penjual makanan pabrikan, banyak responden yang memiliki kolesterol total di atas ambang normal, yaitu 200 miligram per desiliter. Sementara di Kampung Somnak yang lebih terisolir dan sedikit penjual makanan pabrikan, kolesterol totalnya masih di bawah ambang.
“Dari pengukuran antropometri, secara umum warga di dua kampung ini IMT (indeks massa tubuh) di bawah normal (18,5) yang menunjukkan kurangnya asupan pangan. Kecenderungannya, Kampung Somnak lebih banyak yang IMT nya di bawah normal,” kata Safarina.
Seperti diberitakan sebelumnya, wilayah Asmat rentan dengan gizi buruk dan wabah penyakit menular. Tahun 2018 lalu, terjadi kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk dan wabah penyakit yang menewaskan 72 orang di kawasan ini. Padahal, kawasan Asmat yang kebanyakan rawa-rawa ini memiliki keberlimpahan sagu dan ikan.
Penelitian terpisah oleh Zi-Ni T di Journal of Food Science (2015) menunjukkan, pati sagu (Metroxylon sagu) memiliki kandungan pati resisten jenis III (RS3) tinggi. Pati resisten tipe ini berguna sebagai prebiotik yang mendukung bakteri baik di pencernaan seperti lactobacilli dan Bifidobacteria.
“Masalah kesehatan di Asmat cukup kompleks. Kita perlu juga melihat bagaimana mereka mengolah sagu dan kebiasaan minum air mentah. Dulu ketika lingkungan masih terjaga, kualitas air mungkin masih lebih baik, tapi sekarang sudah tercemar dan rentan menularkan berbagai parasit,” sebut Herawati.
Masalah kesehatan di Asmat cukup kompleks. Kita perlu juga melihat bagaimana mereka mengolah sagu dan kebiasaan minum air mentah
Persoalan lain yang juga terjadi di Asmat adalah tingginya angka HIV-AIDS. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, terdapat 39 kasus HIV-AIDS di kabupaten itu pada 2017, dan 32 kasus di 2018. Sementara itu, berdasarkan data survei Provinsi Papua, akumulasi kasus di Asmat pada akhir 2018 sebanyak 177 kasus, terdiri dari 108 kasus HIV dan 69 AIDS.
Selain itu, menurut Titin, salah seorang pedagang di Agats, di era perburuan gaharu banyak pekerja seks komersial yang didatangkan hingga ke pedalaman, termasuk juga ke Daikot dan Somnak. Hal inilah yang memicu penularan HIV-AIDS hingga di daerah pedalaman.
“Saat ini masih ada perdagangan gaharu, tetapi sudah jauh berkurang,” kata Titin, yang pernah menjadi pengumpul gaharu di Daikot dan Somnak.