Hadapi Era Digital, Minimarket Perlu Cepat Berinovasi
Era digital yang mengubah gaya belanja konsumsi masyarakat harus lebih cepat diadaptasi perusahaan ritel tipe minimarket. Meski dalam beberapa tahun terakhir tren pertumbuhannya tidak lebih rendah dibandingkan tipe ritel konvensional lain, minimarket harus lekas berinovasi.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Era digital yang mengubah gaya belanja konsumsi masyarakat harus lebih cepat diadaptasi perusahaan ritel tipe minimarket. Meski dalam beberapa tahun terakhir tren pertumbuhannya tidak lebih rendah dibandingkan tipe ritel konvensional lain, minimarket harus lekas berinovasi.
Era digital mengubah kebiasaan masyarakat dengan berbagai cara. Masyarakat kini cenderung senang berbelanja dalam jaringan (daring), seperti melalui e-dagang dan bertransaksi menggunakan uang elektronik atau dompet digital. Perubahan pun harus diikuti gerai ritel konvensional yang masih mengandalkan penjualan lewat gerai luar jaringan (luring).
Ketua Umum Dewan Perwakilan Pusat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, perubahan itu harus diikuti seluruh pemain di industri ritel, baik hypermart, supermarket, minimarket, toko serba ada, hingga pedagang grosir. Namun, minimarket harus lebih awal beradaptasi karena paling dekat dengan konsumen.
”Minimarket lebih dekat pada pelanggan di perumahan dan menjual barang kebutuhan paling pokok. Jadi mereka harus paling siap dan cepat untuk beradaptasi. Beda dengan hypermart atau supermarket yang butuh waktu untuk mengubah model bisnis,” kata Roy kepada Kompas, Senin (19/8/2019).
Sejauh ini, ia mengapresiasi beragam inovasi yang dilakukan perusahaan minimarket di tengah gencarnya kemajuan teknologi. Inovasi seperti menghadirkan layanan finansial hingga penjualan makanan dan minuman yang lebih atraktif membantu minimarket bertahan.
Inovasi di bidang pemasaran dan logistik, yang memanfaatkan teknologi digital dan media sosial, juga ikut mendongkrak. Pertumbuhan ritel minmarket tiap tahun pun masih terjaga di angka dua digit.
”Secara umum, seluruh peritel konvensional harus segera berinovasi dalam teknologi, efisiensi, kecepatan pelayanan, dan meningkatkan pengalaman konsumen,” tuturnya.
Roy menambahkan, saat ini semakin banyak peritel yang menciptakan inovasi dan belajar dari perubahan perilaku konsumen. Aprindo optimistis transaksi ritel hingga akhir tahun ini bisa tumbuh 10 persen dari tahun sebelumnya menjadi Rp 258 triliun.
Aprindo optimistis transaksi ritel hingga akhir tahun ini bisa tumbuh 10 persen dari tahun sebelumnya menjadi Rp 258 triliun.
Dibandingkan tahun 2018, transaksi ritel hanya mencapai Rp 235 triliun dengan pertumbuhan tahunan 7-8 persen. Nilai pertumbuhan satu digit tersebut terjadi sejak 2015. Padahal, nilai pertumbuhan yang optimal ada di angka 14-15 persen atau dua hingga tiga kali pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Alfagift
Dalam rangka mendongkrak usaha, perusahaan waralaba minimarket PT Sumber Alfaria Trijaya (Alfamart) meluncurkan aplikasi Alfagift versi 4.0 yang mengandalkan kemampuan analisis data. Aplikasi itu diharapkan menjadi solusi berbelanja bagi konsumen.
Aplikasi Alfagift pertama kali diluncurkan pada 2015. Sebelumnya, aplikasi tersebut hanya menunjang beberapa program promosi atau loyalitas konsumen.
Presiden Direktur Alfamart Hans Prawira mengatakan, aplikasi yang kini dilengkapi kemampuan analisis data ini diharapkan bisa memudahkan transaksi berbelanja konsumen serta memaksimalkan pemasaran produk.
”Data itu bukan sekadar tumpukan informasi, tetapi aset yang strategis. Segala macam inisiatif yang akan kita tawarkan di aplikasi akan dihadirkan berdasarkan analisis data,” katanya dalam acara peluncuran Alfagift di Jakarta.
Analisis data digunakan untuk membaca kebiasaan berbelanja dan merekam daftar barang yang biasa dibeli oleh konsumen, khususnya yang telah mendaftar menjadi anggota. Konsumen bisa dengan mudah mengakses barang yang biasa mereka beli, termasuk promo atau diskon dari barang yang direkomendasikan.
Analisis data digunakan untuk membaca kebiasaan berbelanja dan merekam daftar barang yang biasa dibeli oleh konsumen, khususnya yang telah mendaftar menjadi anggota.
”Diharapkan kita juga lebih bisa memahami konsumen dengan memberikan penawaran yang lebih relevan dan personal,” imbuhnya.
Direktur Pemasaran Alfamart Ryan Alfons Kaloh menjelaskan, aplikasi ini akan mengintegrasikan aplikasi atau situs mikro Alfamart. Saat ini, pemilik akun aplikasi dan situs itu sebanyak 200.000 orang.
Aplikasi itu juga ditambah fitur peta yang memungkinkan pengguna mengakses lokasi Alfamart beserta fasilitasnya di mana saja. Saat ini, Alfamart memiliki lebih dari 13.000 toko di sejumlah wilayah di Indonesia.
”Aplikasi itu juga disediakan untuk kemudahan bertransaksi barang secara daring dan penerimaan barang dengan pengantaran langsung atau pengambilan di toko terdekat,” katanya.
Menurut Ryan, aplikasi ini diciptakan untuk mengantisipasi perkembangan digital ke depan. Kaum milenial saat ini juga ingin semua serba cepat sehingga Alfaart juga perlu lebih aktif di digital dan memberikan nilai tambah ke konsumen.
Kecenderungan masyarakat memanfaatkan digital demi kemudahan berbelanja itu terlihat dari peningkatan jumlah pengikut Alfamart di media sosial. Saat ini, Alfamart telah memiliki 20 juta pengikut dari berbagai akun sosial media, seperti Line dan Instagram.
”Adapun jumlah konsumen yang mendaftar sebagai anggota lewat kartu keanggotaan sudah mencapai 11 juta orang. Jumlah tersebut meningkat dari sekitar 3,8 juta pengguna di 2014. Sebagian dari anggota pengguna kartu tersebut diharapkan beralih ke Alfagift hingga setahun ke depan,” ujarnya.
Maksimalkan pemasaran
Analisis data di Alfagift juga bisa dimanfaatkan supplier atau penyedia produk yang bekerja sama dengan Alfamart untuk lebih mengenal perilaku konsumen. Dengan demikian, baik produsen maupun Alfamart dapat memaksimalkan pemasaran produk.
”Selama ini, supplier dalam hal pemasaran banyak mengeluarkan uang dan asal tambak saja. Dengan adanya data konsumen, kinerja pemasaran dapat lebih efektif,” kata Hans.
Sejauh ini, Alfamart memiliki sekitar 400 supplier besar hingga kecil, serta produsen milik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Produk-produk mereka dijual di 13.800 toko Alfamart di sejumlah wilayah di Indonesia.
Selama tahun ini, Hans mengungkapkan, Alfamart tidak melakukan ekspansi besar-besaran untuk memaksimalkan toko yang sudah ada. Sampai akhir 2019, Alfamart hanya akan menambah 500 toko, lebih rendah dibanding 1.000-an toko yang dibuka pada 2017.
”Ekspansi tetap akan ada, tapi lebih selektif. Kami ingin memaksimalkan kualitas pemasaran lewat kanal digital yang kami punya,” pungkasnya.