Pendiri Bangsa Rumuskan UUD Hanya 10 Hari, DPR Bahas Satu Pasal RUU Berbulan-bulan
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa konstitusi yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa tidak untuk diseminarkan, tetapi untuk dilaksanakan. Dirumuskannya konstitusi juga bertujuan untuk membatasi kekuasaan agar dalam penyelenggaraan negara tidak bersifat sewenang-wenang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa konstitusi yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa tidak untuk diseminarkan, tetapi untuk dilaksanakan. Dirumuskannya konstitusi juga bertujuan untuk membatasi kekuasaan agar dalam penyelenggaraan negara tidak bersifat sewenang-wenang.
”Saya berharap kita memaknai (konstitusi) sesuai apa adanya. Bung Karno tidak merumuskan konstitusi untuk diseminarkan, tetapi untuk dilaksanakan,” ujar Kalla saat memberikan sambutan dalam acara Peringatan Hari Konstitusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Kalla memaparkan, saat ini penyelenggaraan negara di Indonesia berpegang pada empat konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD), yakni UUD 1945, UUD Sementara Republik Indonesia Serikat (27 Desember-17 Agustus 1950), UUD Sementera RI (1950-1957), dan amendemen UUD tahun 2001-2014.
Menurut Kalla, konstitusi memang dapat diamendemenkan asalkan tidak mengubah mukadimah yang merupakan dasar dan tujuan bernegara Indonesia. Mukadimah tersebut dengan tegas menyatakan tujuan bernegara Indonesia, yaitu adil dan makmur melalui proses mencerdaskan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Pada momentum peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agutus dan Hari Konstitusi 18 Agustus tersebut, Kalla juga mengajak masyarakat luas untuk menghargai jasa dan perjuangan para pendiri bangsa. Sebab, para pendiri bangsa telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan merumuskan konstitusi dengan sangat baik.
Selain itu, dalam sambutannya, Kalla juga menyinggung kinerja parlemen terkait lamanya waktu yang dibutuhkan dalam membahas setiap pasal dalam rancangan undang-undang (RUU).
Sindirian tersebut bermula saat Kalla menyampaikan sejarah konstitusi yang dibuat para tokoh sebelum kemerdekaan. Konstitusi yang dibuat hanya dalam waktu 10 hari tersebut dinilai telah menjadi dasar negara yang sangat konsisten digunakan sepanjang waktu.
”Kita merdeka 17 Agustus dan besoknya konstitusi diresmikan. Tetapi, prosesnya (merumuskan konstitusi) sudah dibahas BPUPKI tanggal 7 Agustus. Para tokoh BPUPKI itu membentuk dasar negara hanya 10 hari, sementara kita satu pasal bisa berbulan-bulan dibahas DPR,” ujarnya.
Para tokoh BPUPKI itu membentuk dasar negara hanya 10 hari, sementara kita satu pasal bisa berbulan-bulan dibahas DPR.
Sindirian dari Kalla tersebut beralasan. Sebab, saat ini kinerja DPR di aspek legislasi dinilai masih buruk. Hingga masa jabatan anggota DPR berakhir pada Oktober mendatang, masih terdapat 52 RUU prioritas yang belum diselesaikan. Bahkan, hanya satu RUU prioritas yang disahkan pada masa sidang kelima Mei-Juli 2019.
Gagasan utama konstitusi
Selain Wapres Kalla, dalam acara peringatan hari konstitusi tersebut juga turut hadir Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD Oemar Sapta Odang, hingga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Dalam sambutannya, Zulkifli menyampaikan, konstitusi dan negara memiliki hubungan yang sangat erat. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
”Konstitusi adalah hukum yang mengatur negara, bukan hukum mengenai bagaimana negara mengatur. Gagasan utama dari konstitusi adalah bahwa negara perlu dibatasi kekuasaannya agar penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang,” ujarnya.
Zulkifli menegaskan, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip menjaga hubungan antara rakyat dan pemerintah. Dengan kata lain, konstitusi menjamin terpenuhinya hak-hak asasi manusia, realisasi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, berjalannya supremasi hukum, hingga terkendalinya pemerintahan.
Pada akhir sambutannya, Zulkifli juga mengajak seluruh pihak untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis dan sistem hukum yang adil. Selain itu, untuk menuju Indonesia yang unggul, maju, adil dan makmur, perlu juga mewujudkan pembangunan untuk kesejahteraan sosial.
Kinerja MK
Di tempat terpisah, pada momentum Hari Konstitusi ini juga digunakan Setara Institute untuk memaparkan penelitian tentang kinerja Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara yang bertugas mengadili perkara berdasarkan ketentuan konstitusi atau UUD 1945.
Berdasarkan hasil penelitian, pada periode 18 Agustus 2018-16 Agustus 2019, MK telah mengeluarkan 91 putusan terkait pengujian undang-undang. Putusan tersebut antara lain 5 putusan kabul, 50 putusan tolak, 31 putusan tidak dapat diterima, dan 5 produk hukum yang berbentuk ketentuan ketetapan.
Selain itu, MK juga dinilai telah cukup mengalami kemajuan pada aspek waktu untuk menyelesaikan putusan. Setara mencatat, sebanyak 4 putusan diselesaikan MK dalam waktu 1 bulan, 34 putusan (1-3 bulan), 25 putusan (3-6 bulan), 9 putusan (9-12 bulan), 1 putusan (12-15 bulan), dan 2 putusan (lebih dari 15 bulan).
Direktur Ekskekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, penelitian ini bertujuan untuk melihat kualitas putusan MK di periode tersebut. Dengan mempelajari putusan tersebut, diharapkan kinerja MK dalam memutus perkara semakin berkualitas dan berintegritas.