Sineas-sineas Indonesia meraih prestasi yang progresif dalam Locarno Film Festival di Swiss. Film The Science of Fictions menjadi karya dari Indonesia pertama yang meraih penghargaan dalam festival itu, yakni Special Mention. Penghargaan lain yang diperoleh, yaitu Open Doors Hub.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·4 menit baca
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Beberapa pengunjung berjalan di bawah baliho bergambar macan tutul, lambang Locarno Film Festival di Locarno, Swiss, Minggu (18/8/2019).
LOCARNO, KOMPAS – Sineas-sineas Indonesia meraih prestasi progresif dalam Locarno Film Festival di Swiss. Film The Science of Fictions menjadi karya dari Indonesia pertama yang meraih penghargaan dalam festival itu, yakni Special Mention. Penghargaan lain yang diperoleh, yaitu Open Doors Hub.
Penghargaan Special Mention diserahkan di Locarno, Swiss, Sabtu (17/8/2019) atau Minggu (18/8/2019) waktu Jakarta. Sutradara The Science of Fictions Yosep Anggi Noen mengatakan, dewan juri menilai film itu spesial karena menawarkan gagasan baru.
Film tersebut berkisah tentang Siman, pemuda di pelosok Yogyakarta. Siman melihat pengambilan gambar pendaratan manusia di Bulan yang dilakukan di Pantai Parangtritis pada tahun 1960-an. Siman ditangkap lalu menjalani hidupnya dengan bergerak bagai mengalami antigravitasi seperti astronot.
Locarno adalah festival film global terkemuka, bersanding dengan Cannes, Venice, Berlin, dan Sundance. Pada tahun ini, Locarno sudah diselenggarakan 72 kali. Adapun The Science of Fictions adalah film pertama Indonesia yang menembus kompetisi utama Locarno Film Festival.
Meski tak meraih penghargaan utama, yakni Golden Leopard, dewan juri mengganggap film itu memiliki pencapaian khusus. Berdasarkan nota dewan juri Locarno Film Festival, The Science of Fictions melampaui realitas yang membawa penonton terhanyut dengan alurnya.
Film dengan kilas balik, serta masa kini dan depan itu dituturkan melalui sosok tuna wicara yang berkarakter magnetis. Selain Golden Leopard, penghargaan-penghargaan juga diserahkan antara lain untuk sutradara, aktor, dan aktris terbaik.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Para pemenang Locarno Film Festival diumumkan di Locarno, Swiss, Sabtu (17/8/2019).
Dewan juri yang terdiri dari lima orang menyerahkan Special Mention untuk dua karya, yaitu The Science of Fictions serta film lain hasil kerja sama sineas Italia dan Argentina, yaitu Maternal. Adapun Golden Leopard diberikan kepada film Portugal, Vitalina Varela yang disutradari Pedro Costa.
Film itu antara lain membawa pesan tentang Indonesia yang mungkin belum banyak dikenal sebagian audiens secara politik, budaya, dan sosial. “Kami amat senang meraih penghargaan karena selain The Science of Fictions kian dikenal, dewan juri bisa memahaminya sebagai karya yang punya makna,” ujar Anggi.
Selain itu, The Science of Fictions didiskusikan sineas-sineas yang berkunjung ke Locarno. “Bisa berkompetisi dengan Pedro yang senior sekaligus menjadi idola pun sudah membanggakan. Selain itu, The Science of Fictions bisa diputar perdana di Locarno,” tambah Anggi.
Penghargaan itu juga menawarkan karya berbeda dibandingkan film-film arus utama untuk khalayak Indonesia jika nanti diputar di dalam negeri. “Ditayangkan secepatnya. Kami berharap penonton bisa menikmati karya yang dapat mendinamiskan pola pikir,” ujarnya.
Selain Special Mention, sineas-sineas Indonesia juga meraih penghargaan utama Open Doors Hub. Sebagai bagian dari Locarno Film Festival, Open Doors Hub membuka kesempatan bagi sineas-sineas dalam dan luar negeri untuk mengajukan proyeknya.
Dewan juri lantas menentukan proyek yang dianggap terbaik dan pembuatan filmnya akan dibiayai. Penghargaan itu diberikan untuk proyek film Autobiography. “Kami mau memasuki kancah internasional dan penghargaan-penghargaan itu menjadi preseden baik,” ucapnya.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Beberapa warga berjalan-jalan di Locarno, Swiss, Minggu (18/8/2019).
Anggi mengatakan, Indonesia mencapai hasil progresif tak hanya di Locarno tetapi juga festival-festival internasional lain. “Indonesia perlahan dikenal karena kerja luar biasa. Film perlu menjadi media yang tak hanya menggambarkan keindahan negeri tapi juga dimensi kemanusiaannya,” ujarnya.
Lukman Sardi, aktor yang memerankan Jumik, penyuplai komponen untuk pabrik traktor dalam The Science of Fictions mengatakan, terpilihnya film itu hingga menembus kompetisi utama Locarno Film Festival pun sudah luar biasa. Penghargaan-penghargaan yang diterima bisa memotivasi para sineas lain.
Sejumlah karya sineas-sineas Indonesia sudah mendapatkan pengakuan dunia internasional mulai film pendek, feature, hingga dokumenter. “Bisa jadi bukti bahwa Indonesia bisa berkompetisi dengan level internasional. Para penyelenggara festival menyeleksi film-film terbaik,” ujarnya.
Asmara Abigail, aktris yang memerankan Nadiyah, perempuan Jawa dalam The Science of Fictions yakin para kru film itu sudah bekerja maksimal. “Proyek itu dibuat dari hati. Akhirnya bisa diputar perdana di Locarno Film Festival. Saya sangat senang,” katanya.
Menurut produser The Science of Fictions Yulia Evina Bhara, sebelum para pemenang diumumkan, ia sulit mengira-ngira kemungkinan filmnya yang dikembangkan sejak tahun 2012 itu, dapat menggondol Golden Leopard. Keputusan dewan juri sangat susah ditebak.