Krisis Hong Kong saat ini terjadi di momen sangat sensitif dalam hubungan China-AS. Persaingan dua kekuatan global itu tidak terhindarkan. Cakupan dan intensitasnya tergantung pada keputusan pemimpin kedua negara, Xi Jingping dan Donald Trump. Fenomena perang dingin baru ”mengintai” pilihan-pilihan politik dan kekuasaan Beijing-Washington atas Hong Kong.
Kesabaran China atas unjuk rasa selama lebih dari dua bulan terakhir di Hong Kong tampak semakin menipis. Beijing semakin kerap unjuk kekuatan di Shenzhen, wilayah China yang berbatasan dengan Hong Kong. Sebagian publik khawatir akan terulangnya kekerasan ala tragedi Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Namun, para diplomat di Hong Kong yakin pemimpin China tidak akan berlaku gegabah. Mereka menilai, apa yang dilakukan Beijing di Shenzhen hanya propaganda. Pengerahan pasukan keamanan ke Hong Kong justru dapat menggerus kepercayaan internasional pada slogan ”satu negara, dua sistem” di Hong Kong.
Hong Kong telah memainkan peran sentral dalam dua kisah besar saat ini, yakni kebangkitan China dan globalisasi ekonomi dunia. Lebih dari 30 tahun lalu, kemunculan China sebagai kekuatan baru global dimulai di Hong Kong dengan dukungan dana, aneka keahlian, dan koneksi internasional di wilayah itu.
Hingga detik ini Hong Kong terus berfungsi sebagai gerbang penting antara China dan Barat. Saat belakangan ada ketegangan AS-China, sekali lagi Hong Kong menjadi salah satu pusat ceritanya.
Harian Financial Times menilai, tak sulit menemukan hubungan antara kekacauan di Hong Kong dan pertikaian Washington-Beijing. Salah satu yang terlihat adalah dikibarkannya bendera AS dalam aksi-aksi di Hong Kong yang digerakkan muda-mudi. Mereka meneriakkan slogan-slogan demokrasi. Pemandangan ini mungkin dimanfaatkan China guna menguatkan pendapatnya bahwa AS mendukung aksi di Hong Kong.
Perlunya mempertahankan kontrol politik di Hong Kong kemungkinan menjadi langkah terpenting bagi Beijing. Namun, pengerahan kekuatan—apalagi militer—secara langsung ke Hong Kong diragukan akan ditempuh China. Sampai saat ini, kemungkinan besar China mencoba menunggu. Beijing bisa saja berharap para pengunjuk rasa akan kehilangan momentum ketika musim panas berubah menjadi musim gugur, dan siswa kembali ke sekolah dan universitas.
Aksi protes tampaknya meningkat, bukan memudar. Perubahan zaman telah mengubah cara pandang, termasuk cara menginterpretasikankekhawatiran-kekhawatiran atas kebebasan.
Namun, aksi protes tampaknya meningkat, bukan memudar. Perubahan zaman telah mengubah cara pandang, termasuk cara menginterpretasikan kekhawatiran-kekhawatiran atas kebebasan. Dalam masa puncak globalisasi, Hong Kong adalah lambang komersial. Warganya tidak begitu peduli pada politik selama mereka dapat berjual beli dan berbelanja.
Namun, zaman berubah. Kekhawatiran pada masalah ekonomi dan kebebasan menyeruak secara luas. Hong Kong bisa dikata berada di era baru. Wajah Hong Kong berbeda dari saat ini dan sebelumnya.
Peneliti senior pada Brookings Institution, Thomas Wright, menilai, tindakan keras China justru bisa mempersulit posisi Beijing. Dalam opininya di majalah The Atlantic, penulis buku All Measures Short of War: The Contest for the 21st Century and the Future of American Power itu menilai, aksi kekerasan dapat menjerumuskan posisi China ke dalam negara berstatus diktator. Kerja sama-kerja sama dengan negara itu akan sulit dijalin. Rivalitasnya dengan AS akan semakin mengeras, termasuk di Laut China Selatan dan Laut China Timur serta terkait isu Taiwan.
Bukan itu saja, tindakan keras Beijing juga akan mempercepat keterpurukan ekonomi Hong Kong. Para investor Barat bisa lari dari Hong Kong. Mereka menilai, kota itu sama dengan kota China lainnya. Saat ini sudah lebih dari 1.300 perusahaan AS ada di Taiwan, termasuk semua perusahaan keuangan utama AS. Ada 85.000 warga AS di Hong Kong.
Mereka bisa pergi sewaktu-waktu dari Hong Kong saat kondisi makin memburuk. Patut diperhitungkan, tindakan kekerasan juga dapat memantik respons keras Washington, termasuk pengenaan sanksi oleh Kongres AS. Posisi China pun bisa terjepit dalam negosiasi dagangnya dengan Washington karena dinamika di Hong Kong.
Koran China, Global Times, menegaskan tidak akan ada tindakan ulangan seperti di Lapangan Tiananmen tahun 1989. ”Insiden di Hong Kong tak akan mengulang insiden politik 4 Juni 1989,” tulis koran itu sambil menegaskan bahwa China kini memiliki cara lebih canggih.
Sudah waktunya, demikian tulis Marion Smith di USA Today, mengakui bahwa Perang Dingin baru ada di depan mata. Blokade Berlin 1948 secara luas dilihat sebagai pembuka dari perjuangan puluhan tahun antara kebebasan dan komunisme. Uni Soviet sudah tidak ada, kini yang dihadapi AS adalah Partai Komunis China.
Namun, tidak seperti Perang Dingin pertama, kali ini tidak jelas apakah AS memiliki keinginan untuk menang. Ketika melawan Uni Soviet, Washington bersikap demi peradaban dan kebebasan. Menarik untuk menantikan sikap dan tindakan Trump terkait dinamika Hong Kong. Setelah sebelumnya tampak skeptis dan cenderung keras, belakangan ia melunak.
”Jika Presiden Xi bertemu langsung dan secara pribadi dengan para pengunjuk rasa, masalah Hong Kong akan berakhir dengan manis dan mencerahkan. Saya sangat yakin hal itu,” kata Trump melalui akun Twitter-nya, Jumat (16/8/2019).
Diplomat senior di Asia pada masa pemerintahan Presiden George W Bush, Michael Green, berpendapat, Trump harus menunjukkan kepada Xi bahwa Undang-Undang Kebijakan Hong Kong 1992 memungkinkan pemerintah mengubah pendekatannya andai Hong Kong menjadi kurang otonom. Trump juga harus mengatakan, arah tindakan China bakal disorot. Hal itu untuk menegaskan, penggunaan kekuatan dan kekerasan tak patut dilakukan.