Berapa Nyawa Lagi Harus Melayang di Hong Kong?
Bagi pejuang demokrasi di Hong Kong, kebebasan demokrasi ternyata lebih berharga daripada nyawa mereka sendiri.
Adakah yang lebih berharga daripada nyawa seorang manusia?
Bagi pejuang demokrasi di Hong Kong, kebebasan demokrasi ternyata lebih berharga daripada nyawa mereka sendiri.
Demikian kira-kira yang menjadi alasan lima orang demonstran di Hong Kong yang memilih mengakhiri hidupnya demi terpenuhinya harapan bagi dua juta orang demonstran yang lain. Mereka menjadi martir yang berani mati demi memperjuangkan keyakinan mereka: kebebasan demokrasi di Hong Kong.
Telah lebih dari dua bulan Hong Kong dicengkeram oleh gelombang aksi massa. Salah satu kota pelabuhan penting China ini praktis ”beku” akibat jutaan orang melakukan demonstrasi besar-besaran. Bak anak tiri yang membangkang, publik yang tak terima demokrasi di kotanya terenggut terus berteriak lantang dan memberontak ke orangtua komunisnya di Beijing.
Demonstrasi terus memanas
Gelombang demonstrasi yang terus berlangsung semenjak awal Juni 2019 ini dipicu oleh penolakan masyarakat terhadap RUU Ekstradisi yang sempat dibahas oleh Pemerintah Hong Kong. Namun, aksi protes yang awalnya damai ini berubah menjadi pertarungan sengit antara aparat keamanan dan para demonstran.
Publik Hong Kong geram karena jika RUU ini disahkan, Pemerintah China dapat mengajukan permintaan ekstradisi kepada Hong Kong. Dengan tingginya potensi kriminalisasi aktivis pro demokrasi Hong Kong oleh Pemerintah Beijing, RUU ini akan membuat posisi para aktivis tersebut menjadi semakin rentan. Terlebih lagi, tidak ada jaminan perlindungan HAM bagi mereka yang akhirnya diadili oleh China.
Seperti menyiram minyak dalam api, kegelisahan golongan muda Hong Kong atas melemahnya ekonomi tersulut kemarahan atas prasangka publik terhadap Wali Kota Hong Kong, Carrie Lam, yang dianggap lebih berpihak kepada Pemerintah Beijing. Tak pelak, kian hari ombak demonstran terus membesar membanjiri tujuh distrik, yaitu Admiralty, Sha Tin, Tuen Mun, Tseun Wan, Wong Tai Sin, Mong Kok, dan Tai Po.
Pemerintah Hong Kong sebenarnya sempat melunak. Pada 15 Juni 2019, Lam telah mengumumkan bahwa pembahasan RUU Ekstradisi telah dihentikan untuk waktu yang belum ditentukan. Namun, massa masih belum puas.
Para pengunjuk rasa itu menuntut Lam secara formal menarik RUU tersebut dan juga mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Chief Executive Hong Kong. Merasa mendapat dukungan dari Beijing, Lam pun bergeming dan berkukuh tidak akan mundur atau meminta maaf atas RUU yang sempat ia inisiasi tersebut.
Para demonstran semakin menjadi-jadi. Untuk mengelabui petugas pengamanan dan pemerintah, para demonstran pun menggunakan taktik gerilya.
Eskalasi demonstrasi dimulai ketika massa berhasil menduduki gedung parlemen Hong Kong pada 1 juli 2019, tepat pada hari peringatan kembalinya Hong Kong kepada Pemerintah China. Massa merangsek masuk ke gedung parlemen, merusak fasilitas di dalamnya, serta menghiasi putihnya tembok gedung parlemen tersebut dengan slogan-slogan pro demokrasi.
Tidak hanya gedung parlemen, beberapa infrastruktur serta fasilitas publik di Hong Kong pun menjadi sasaran kemarahan massa. Pada awal Agustus ini, para demonstran mulai melumpuhkan transportasi publik dan jalan arteri Hong Kong. Beberapa contohnya adalah para demonstran mengganjal pintu kereta komuter dengan payung dan memblokade jalan terowongan yang menghubungkan Pulau Hong Kong dengan Kowloon atau Hong Kong dengan daratan utama China.
Gerilya ribuan demonstran Hong Kong ini memang kerap mengelabui pihak kepolisian. Dengan taktik flash mob, yakni massa dikonsentrasikan di satu titik hanya untuk waktu yang singkat, mereka berhasil menduduki Bandara Internasional Chep Lap Kok, Hong Kong, hingga tiga kali. Pada puncaknya, pendudukan atas bandara ini menyebabkan setidaknya 200 penerbangan dari dan ke bandara tersebut dibatalkan.
Di Tengah Perang Dagang
Lamanya protes para demonstran Hong Kong yang dapat bertahan hingga lebih dari sepuluh minggu sempat memunculkan tuduhan dari Pemerintah China bahwa protes tersebut didukung oleh kekuatan asing. Kecurigaan tersebut masuk akal mengingat protes berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan antara Beijing dan Washington.
Pemerintah China merilis foto pertemuan diplomat AS, Julie Eadeh, dengan para tokoh demonstran Hong Kong, termasuk figur kuncinya Joshua Wong. Hal tersebut menguatkan tuduhan bahwa AS main belakang dengan mendukung gerakan protes di Hong Kong.
Tuduhan tersebut langsung ditepis oleh juru bicara Kedubes AS. Menurut dia, demonstrasi yang terjadi di Hong Kong merefleksikan keprihatinan warga Hong Kong tentang surutnya kebebasan. Pemerintah AS juga menyatakan bahwa para diplomat AS di Hong Kong telah diberi arahan agar berhati-hati dalam menyampaikan pendapat terhadap gelombang protes yang sedang terjadi.
Salah satu tokoh penting demonstrasi, Joshua Wong, menegaskan bahwa tak ada dana, dukungan, maupun nasihat dari Pemerintah AS yang mengalir ke dirinya maupun kelompok demonstran. Pendapat senada disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Hong Kong, Willy Lam. Lam menyatakan bahwa tuduhan Pemerintah China hanya merupakan pembenaran terhadap langkah pamungkas yang mungkin akan ditempuh oleh Beijing: pengerahkan kekuatan militer.
Melihat eskalasi yang mulai tak terkendali, Pemerintah Hong Kong dan Beijing pun kehilangan kesabaran. Peristiwa pendudukan gedung parlemen menjadi momentum bagi kedua pemerintah tersebut untuk mengubah cara mereka menghadapi para demonstran. Pasukan polisi pengaman pun tak segan untuk menggunakan kekerasan dan menangkap massa yang dianggap memprovokasi. Setidaknya, hingga 12 Agustus 2019, telah lebih dari 700 demonstran ditangkap oleh pihak kepolisian.
Pemerintah China mendukung tindakan pemerintah Hong Kong terhadap demonstran, bahkan melabeli tindakan para demonstran sebagai tindakan teroris. Setelah cukup lama bersabar menunggu waktu yang tepat untuk ikut bertindak, Beijing mulai lebih terbuka mengintimidasi para demonstran.
Pemerintah Chinta tak hanya menempatkan pasukan di perbatasan serta merilis video dan foto latihan militer, tetapi juga mulai melakukan parade kekuatan militer. Tempat yang dipilih adalah Stadion Shenzhen Bay, Shenzchen, kota yang berbatasan dengan Hong Kong.
Tidak berhenti menuntut
Alih-alih mundur, resistansi publik justru semakin menguat. Tuntutan yang awalnya hanya menyangkut RUU Ekstradisi dan pengunduran diri Lam, kini mulai merembet. Hingga saat ini, paling tidak ada lima tuntutan yang diajukan oleh para demonstran.
Tuntutan pertama ialah agar Pemerintah Hong Kong membatalkan RUU ekstradisi. Massa menuntut pemerintah agar tidak hanya membekukan pembahasan RUU, tetapi meniadakan RUU ekstradisi secara sepenuhnya.
Hingga saat ini, belum tampak adanya niatan serupa baik dari Pemerintah Hong Kong maupun Beijing. Kedua, massa menuntut pemerintah, terutama Pemerintah China, untuk tidak menggunakan kata ”kerusuhan” sehubungan dengan demonstrasi yang terjadi.
Selanjutnya, para demonstran menuntut pembebasan dan pembatalan tuntutan bagi kawan-kawan mereka yang ditangkap. Keempat, tuntutan yang diajukan oleh para protestan adalah adanya penyelidikan independen terhadap perilaku polisi yang menggunakan kekerasan.
Terakhir, serupa dengan tuntutan publik Hong Kong pada ”Gerakan Payung” lima tahun silam, massa demonstran menuntut pemenuhan hak pilih universal bagi seluruh warga Hong Kong.
Resistansi para demonstran untuk tetap menyuarakan tuntutan mereka mencapai tahap yang menyayat hati. Hingga saat ini, telah lima orang demonstran yang gugur.
Bukan karena kekerasan aparat atau pembunuhan oleh pihak tertentu, demonstran yang gugur melakukan aksi bunuh diri sebagai bentuk pernyataan sikap atas kekecewaan mereka terhadap pemerintah. Salah satunya adalah Lo yang melompat dari apartemennya di Ka Fuk Estate, Sheng Hui.
Sebelum memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, Lo sempat menulis pesan agar para demonstran tetap melanjutkan perjuangan melawan pemerintah. Ia menuliskan, ”I hope to exchange my life to fulfil the wishes of 2 million… Please keep on persisting.” Pesan tersebut bergema menjadi penyemangat para demonstran yang memprotes pemerintah hingga saat ini.
Budaya Resistansi
Sesungguhnya, demonstrasi bukanlah hal baru bagi publik Hong Kong. Setidaknya, setelah Hong Kong diserahkan kembali ke China, telah terjadi empat peristiwa demonstrasi besar-besaran. Dari keempat aksi massa tersebut, demokrasi dan kebebasan sipil menjadi isu utama yang diperjuangkan.
Demonstrasi besar-besaran pasca penyerahan Hong Kong ke China terjadi pada 1 Juli 2003. Saat itu, lebih dari 500.000 warga Hong Kong turun ke jalan untuk memprotes RUU antisubversi yang mengancam kebebasan berekspresi warga Hong Kong.
Jika RUU itu disetujui, tindakan yang dianggap sebagai pengkhianatan, tindakan pemisahan diri dari China, penghasutan dan subversi terhadap Pemerintah China akan dilihat sebagai tindakan melanggar hukum.
Perjuangan publik Hong Kong ini membuahkan hasil. Tekanan yang diberikan kepada pemerintah saat itu menggeser arah kebijakan parlemen Hong Kong sehingga dukungan terhadap RUU tersebut anjlok. Akhirnya, pembahasan RUU tersebut pun ditangguhkan hingga saaat ini.
Aksi massa dengan skala besar juga terjadi pada 2012. Saat itu, Pemerintah Hong Kong ingin mengubah kurikulum sekolah untuk memasukkan topik-topik tentang sejarah dan kebudayaan China. Tujuannya adalah untuk memompa nasionalisme China dan menanamkan identitas bangsa China kepada generasi muda Hong Kong.
Menanggapi hal ini, para siswa pun menyatakan sikapnya dan melakukan demonstrasi di sekitar kompleks gedung parlemen Hong Kong pada 1 Juli 2012. Organisasi yang menjadi motor gerakan ini adalah ”Scholarism” dan diketuai oleh Joshua Wong yang pada saat itu masih berusia 15 tahun.
Keberhasilan organisasi ini untuk menekan Pemerintah, yang akhirnya membatalkan rencana perubahan kurikulum tersebut, menjadi momentum politik bagi Joshua Wong untuk kemudian menjadi figur penting selama aksi massa pada tahun 2014 dan 2019.
Pada 2014, kota ini juga kembali diguncang oleh aksi massa besar-besaran. Bertajuk ”Umbrella Movement”, atau gerakan payung, ribuan warga Hong Kong turun ke jalan sembari membawa payung untuk menuntut pemilihan wali kota, atau biasa disebut Kepala Eksekutif, secara demokratis. Hal ini akibat masyarakat Hong Kong menuduh adanya campur tangan Beijing dalam pemilihan umum kotanya.
Pada Agustus 2014, Pemerintah China mengeluarkan ketentuan bagi Pemilu Hong Kong yang akan dilaksanakan pada 2017. Hanya dua sampai tiga calon yang telah diseleksi oleh sebuah panel, yang berisikan perwakilan dari Pemerintahan China, saja yang dapat maju ke pemilihan umum. Syarat bagi calon ini pun sangat ambigu, yaitu harus terbukti mencintai negara.
Tidak hanya itu, sistem pemilu legislatif yang diajukan oleh Pemerintah China pun dianggap tidak adil. Hal ini karena tidak semua anggota parlemen dipilih secara langsung oleh warga Hong Kong. Lebih dari separuh calon yang akhirnya menduduki kursi parlemen Hong Kong merupakan representasi dari sektor industri, antara lain sektor industri jasa keuangan dan properti.
Oleh karena itu, sebagian besar calon yang terpilih akhirnya menghasilkan kebijakan yang lebih condong mendukung Pemerintah China. Hal ini dapat dipahami mengingat kedekatan dengan Pemerintah China berarti insentif tambahan dan meningkatnya kestabilan bisnis.
Setelah melakukan aksi selama 79 hari, ”gerakan payung” ini pun membubarkan diri. Sayangnya, hingga massa membubarkan diri, Pemerintah China tidak menggubris segala tuntutan mereka. Walau begitu, akibat aksi ini tak dapat disepelekan. Gelaran demonstrasi selama lebih dari dua bulan tersebut memukul Hong Kong secara ekonomi dan memberikan peringatan kepada Pemerintah China betapa kuat resistansi yang dapat ditunjukkan publik Hong Kong.
Sejarah panjang kebebasan
Melihat fenomena demonstrasi Hong Kong memang tidak dapat dilakukan secara sepotong. Ada bumbu sejarah dan politik yang membuat isu ini menjadi lebih ”pedas” dibandingkan dengan isu aksi massa atau demonstrasi pro-demokrasi di belahan dunia lainnya. Setidaknya, terdapat sekitar 200 tahun sejarah yang perlu dipahami agar mendapat gambaran yang lebih jelas atas apa yang terjadi di kota pelabuhan di selatan China ini.
Pertama, Hong Kong, paling tidak hingga saat ini, belum sepenuhnya menjadi milik China. Hong Kong merupakan wilayah semi-otonom. Ia memiliki pemerintahan daerah dengan otonomi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota lain di China.
Hanya dalam hal hubungan internasional dan keamanan sajalah yang menjadi tanggung jawab Pemerintah China. Seluruh kebijakan lainnya, seperti bidang ekonomi dan pembangunan, menjadi kewenangan Pemerintah Kota Hong Kong. China menjamin bahwa sistem peralihan yang disebut dengan ”satu negara dua sistem” tersebut setidaknya akan bertahan selama 50 tahun.
Keistimewaan tersebut bisa terjadi sebagai akibat perang antara China dan Inggris pada abad ke-19. Saat itu, Inggris yang menjual opium sehingga merusak masyarakat China memancing kemarahan kekaisaran. Namun, dalam serangkaian perang yang berlangsung hingga pertengahan abad ke-19, China tak dapat menandingi kekuatan tentara Inggris. China yang mengaku kalah pun terpaksa menyewakan Hong Kong selama 99 tahun kepada Inggris.
Hong Kong baru kembali diserahkan kepada China pada 1 Juli 1997. Mengingat perbedaan kultur demokrasi Inggris dan autokrasi China, kedua negara sepakat bahwa serah terima Hong Kong tidak dapat dilakukan begitu saja. Harus ada perjanjian yang melandasi masa transisi sampai Hong Kong benar-benar bisa terintegrasi dengan China secara sepenuhnya.
Perjanjian ini kerap disebut sebagai Sino-British Joint Declaration. Perjanjian inilah yang akhirnya menjadi dasar konstitusi Hong Kong yang bernama Hong Kong Basic Law. Pada intinya, konstitusi inilah yang menjamin kebebasan sipil, seperti kebebasan berekspresi, berkumpul, hingga pemilihan umum, di Hong Kong.
Oleh karena itu, masyarakat Hong Kong memang tidak bisa disamakan dengan masyarakat China di kota-kota lainnya. Publik yang telah menyecap manisnya demokrasi tentu tidak rela jika kebebasan mereka direnggut begitu saja.
Rasa takut akan hilangnya kebebasan inilah yang menjadi bahan bakar utama semangat masyarakat Hong Kong untuk melakukan demonstrasi besar-besaran hingga saat ini, bahkan berani mengorbankan nyawa demi tegaknya kebebasan. Bagi para martir pro demokrasi Hong Kong, kebebasan demokrasi di Hong Kong lebih berharga daripada nyawa mereka sendiri. (LITBANG KOMPAS)