Badan Restorasi Gambut menimbun kanal untuk membuat kawasan gambut di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, tetap basah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PADANG SUGIHAN, KOMPAS — Badan Restorasi Gambut menimbun kanal untuk membuat kawasan gambut di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, tetap basah. Dengan penimbunan kanal ini, lahan gambut di kawasan yang dihuni puluhan gajah sumatera ini terjaga dari risiko kebakaran lahan dan juga perambahan liar.
Kepala Subkelompok Kerja Badan Restorasi Gambut (BRG) Sumsel Onesimus Patiung, Sabtu (17/8/2019), menerangkan, dari 88.148,05 hektar lahan SM Padang Sugihan, seluas 63.459,93 hektar merupakan lahan gambut yang perlu dijaga kelembabannya. Karena itu, sejak 2017, BRG mulai menimbun kanal agar air yang didapat pada musim hujan tidak langsung mengalir ke sungai.
Timbunan tersebut dibangun di area kanal yang menghubungkan Sungai Sugihan dengan Sungai Padang. Posisi dari penimbunan kanal ada di setiap ujung sungai.
”Hingga 2018, sudah ada 28 unit timbunan kanal yang dibangun. Pada tahun 2019 diharapkan ada sembilan timbunan kanal yang akan dibangun untuk menyempurnakan upaya restorasi gambut ini,” ucap Onesimus.
Hingga 2018, sudah ada 28 unit timbunan kanal yang dibangun. Pada tahun 2019 diharapkan ada sembilan timbunan kanal yang akan dibangun untuk menyempurnakan upaya restorasi gambut ini.
Hasil penimbunan kanal ini, ujar Onesimus, sudah terlihat, mulai dari menurunnya titik api hingga tumbuhnya tanaman endemik lahan gambut yang dulu pernah hilang.
”Ini membuktikan proses penimbunan di kanal cukup efektif untuk membasahi gambut dan mengembalikan fungsi gambut itu sendiri,” lanjutnya.
Selain penimbunan kanal, dilakukan juga pembangunan sumur bor, yang sampai 2019 ditargetkan sudah ada 55 sumur bor. ”Hingga saat ini sudah ada 30 sumur bor yang dibangun,” ujar Onesimus.
Penggunaan sumur bor ini tidak lain untuk membasahi lahan saat kemarau. Dengan pembasahan ini, potensi kebakaran juga dapat dikurangi. Sumur bor digali sedalam 25-30 meter. Air yang dihasilkan dapat menjadi sumber air untuk proses pembasahan.
Sebelum dibangun timbunan kanal, ujar Onesimus, ada sejumlah kegiatan yang mengancam ekosistem SM Padang Sugihan, seperti penebangan liar dan perburuan. Aktivitas ini meningkatkan risiko kebakaran lahan. ”Mungkin mereka sedang merokok atau memasak dan tidak memadamkannya sehingga menyulut api,” katanya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel Genman Hasibuan menuturkan, dengan adanya program restorasi gambut ini, termasuk upaya penimbunan kanal dan pembangunan sumur bor, potensi kebakaran turun signifikan.
”Sepanjang tahun ini saja, baru terpantau empat titik panas. Berbeda dengan tahun sebelum adanya pembasahan, titik panas bisa mencapai puluhan titik,” ucapnya.
Titik api itu muncul karena ada aktivitas sonor, yakni membuka lahan dengan cara membakar dan adanya perambahan liar di dalam kawasan. Genman menuturkan, sebelum adanya timbunan kanal, aktivitas ilegal kerap terjadi.
Perambah sering mengambil kayu gelam di dalam kawasan. Belum lagi adanya aktivitas perburuan liar. Mereka menggunakan kanal untuk dijadikan akses keluar masuk. Pengawasan tidak bisa optimal karena jumlah personel tidak sebanding dengan luas lahan yang diawasi.
Aktivitas tersebut membuat potensi kebakaran cukup tinggi. Puncaknya, pada tahun 2015, sekitar 60.000 hektar lahan di SM Padang Sugihan terbakar. ”Dengan langkah pembasahan ini, kebakaran jarang terjadi. Kalaupun ada, itu hanya di permukaan dan dapat segera diantisipasi,” katanya.
Perambahan pun menurun drastis. Suaka margasatwa ini juga sangat penting karena menjadi tempat tinggal 38 gajah jinak dan sekitar 50 gajah liar.
Kepala BRG Nazir Foead mengatakan, keberhasilan timbunan kanal di Sumsel ini tentu akan menjadi contoh bagi kawasan lindung lain agar lahan gambutnya tetap basah. Pembangunan timbunan kanal di kawasan lindung tentu akan lebih mudah karena di kawasan tersebut tidak boleh ada aktivitas masyarakat. ”Kalaupun ada, sudah dipastikan itu ilegal. Karena itu, kita timbun saja,” ucapnya.
Berbeda jika kanal tersebut masih digunakan untuk aktivitas masyarakat, pilihan lain adalah penggunaan sekat kanal. ”Dengan sekat kanal, masyarakat masih bisa mendapatkan air di musim kemarau karena tabungan air di sepanjang musim hujan,” katanya.
Bahkan, dalam waktu dekat, pihaknya berencana membuat sekat kanal secara permanen jika sekat tersebut sudah memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Biasanya, untuk sekat kanal biasa, masyarakat menggunakan kayu. Namun, dengan sekat kanal permanen, sekat kanal akan dibuat dari beton. Memang biayanya jauh lebih mahal. Pembangunan satu sekat kanal yang terbuat dari kayu biasanya membutuhkan dana sekitar Rp 12 juta, sedangkan sekat kanal beton membutuhkan dana setidaknya Rp 70 juta.
”Walau demikian, biaya perawatan sekat kanal beton lebih murah karena dapat digunakan hingga bertahun-tahun,” kata Nazir. Menurut rencana, pembangunan sekat kanal permanen ini akan dilakukan tahun ini di Riau, Sumsel, dan Kalimantan Barat.