Resonansi Nasionalisme
Ada masanya media cetak berperan vital dalam membangun dan memupuk nasionalisme. Namun zaman yang berubah, terutama di era digital, ikut mengubah pola distribusi gagasan nasionalisme.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, gegap gempita kelahiran Indonesia terlihat pada halaman muka sejumlah media cetak. Pada surat kabar Asia Raya, Sabtu 18 Agoest 2605 atau 18 Agustus 1945, misalnya, pembentukan perangkat kenegaraan Republik Indonesia menjadi berita utama.
Berita utama di koran terbitan pemerintah Jepang itu berjudul, Pengangkatan Kepala Negara Indonesia Merdeka Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta dengan subjudul Oendang-Oendang Dasar Negara Disahkan. Selain memuat foto headshot Bung Karno dan Bung Hatta, berita itu juga mengetengahkan hasil rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang digelar pada hari yang sama dengan penerbitan koran.
Rapat menghasilkan tiga hal, diantaranya menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta memilih Soekarno dan Moh Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Rapat pun sepakat membentuk komite nasional yang bertugas membantu pekerjaan presiden untuk sementara.
Rapat panitia yang dibentuk pemerintah Jepang itu juga menghasilkan sebuah maklumat. Masyarakat diminta untuk percaya serta bersiap sedia membantu pemerintah untuk membangun negara yang baru saja lahir tersebut.
Baca juga :Rengasdengklok dan Spirit Nasionalisme Kaum Muda
Dwitunggal Soekarno-Hatta pun menjanjikan, semua urusan terkait pembangunan negara akan diselesaikan dalam waktu singkat.
Dalam rubrik opini berjudul Indonesia Merdeka: Goal! di surat kabar dan edisi yang sama, Soekardjo Wirjopranoto, menuliskan, seluruh penduduk Indonesia harus mendukung pemerintah. Tidak perlu membesar-besarkan perbedaan yang berkembang, karena tantangan bagi negara baru itu berat. Kemerdekaan yang telah diproklamirkan, tanpa menunggu pemberian Jepang, harus dipertahankan.
Bagaimana tidak, proklamasi kemerdekaan dilakukan dalam situasi vacuum of power setelah Jepang menyerah dari Sekutu. Namun, kedatangan kembali Belanda untuk mengklaim “haknya” hanya soal waktu.
“Dengan segala keichlasan hati hendaknja kewadjiban (mempertahankan kemerdekaan) itu didjalankan meskipoen meminta maximum pengorbanan,” tulis Soekardjo.
“Kami sebagai rakjat merdeka jang ingin tetap merdeka boeat selama-lamanja dengan bertjita-tjita kedaulatan rakjat atas dasar gotong royong sanggoep melakoekan tiap-tiap kewadjiban nasional jang dipikoelkan di atas poendak kami,” tambah anggota Volksraad atau Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda pada 1931 itu.
Setelah Indonesia merdeka dan surat kabar satu persatu bermunculan, kabar kemerdekaan Indonesia langsung menghiasi edisi pertama surat kabar. Ini seperti terlihat pada terbitan pertama koran khusus wilayah Aceh, Semangat Merdeka, pada 18 Bulan X 1945 (Oktober 1945). Terbitan pertamanya, memuat naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia di halaman muka.
Tak sebatas itu. Residen Aceh dan daerah taklukannya, Teuku Nyak Arief, dalam sambutannya di terbitan perdana koran tersebut, menekankan pentingnya kehadiran surat kabar agar bisa mengabarkan masyarakat di seluruh penjuru negeri bahwa Indonesia telah merdeka.
“Kelahiran soerat kabar Semangat Merdeka patoet kita samboet dengan bergirang hati karena selain dari kewadjibannja memberi penerangan2 dan segala apa jang diandjoerkan oleh pemimpin dan haroes bersedia memberikan toendjangan jang sekoeat2nja oentoek membela Kemerdekaan Indonesia jang telah berdiri di atas dasar kedaulatan rakjat,” ujar Arief.
Asia Raya, Semangat Merdeka, dan surat kabar lain yang terbit pasca-kemerdekaan tak pelak berperan vital dalam membangun nasionalisme, sehingga semangat itu tak hanya terasa setelah kemerdekaan diproklamasikan.
Bahkan jauh sebelum itu, persisnya pada awal abad ke-20, surat kabar sudah digunakan untuk membangkitkan nasionalisme. Medan Prijaji yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo contohnya. Surat kabar berbahasa Indonesia pertama itu sengaja digunakan untuk membangkitkan nasionalisme pribumi.
Kapitalisme cetak
Benedict Anderson, Indonesianis yang telah berpulang pada 2015, dalam bukunya "Imagined Communities" menjelaskan, beragam produk cetak, salah satunya surat kabar memang memiliki peran sentral dalam membangun rasa kebangsaan atau nasionalisme.
Konten yang terkandung di dalamnya mampu memantik empati di antara sesama pembaca atas kondisi yang dialami orang lain meski tak dilihat secara langsung.
Empati itu mampu membangun perasaan senasib sepenanggungan di kalangan masyarakat terjajah.
Perasaan itu kemudian mendorong pembentukan imaji kebersamaan dalam sebuah komunitas pada lingkup nasib dan wilayah tertentu.
Dan, pada tingkatan selanjutnya, rasa kesetiakawanan itu dapat membangkitkan determinasi untuk membebaskan diri dari penjajahan.
Oleh karena itu, Ben menyimpulkan bahwa bangsa merupakan komunitas politis yang dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.
Komunitas itu dibayangkan karena sulit bagi anggota dalam suatu bangsa yang besar untuk saling mengenal dan bertatap muka. Meski demikian, mereka hidup dalam bayangan yang sama, imaji penuh kebersamaan.
Bagi Ben, penyebaran konsep bangsa dan kebangsaan itu merupakan buah dari konvergensi antara kapitalisme dan penemuan teknologi mesin cetak. Kebersatuan dua hal tersebut memungkinkan adanya distribusi gagasan nasionalisme secara massal.
Baca juga : Sejarah-Budaya Nusantara Mendunia dalam Balutan Teknologi
Sebab, prinsip kapitalisme yang mereduksi nilai-nilai adiluhung mampu membongkar eksklusivitas gagasan, salah satunya bahasa yang hanya dimengerti segelintir pihak. Kapitalisme cetak atau printed-capitalism justru menciptakan satu bahasa massa yang dapat diterima semua orang.
Era digital
Tujuh dekade pasca-proklamasi, rasa nasionalisme itu jelas masih ada.
Namun, perkembangan teknologi dan semangat zaman memaksa ikhtiar membangun dan memupuk nasionalisme tak cukup hanya melalui media cetak. Beragam cara harus ditempuh.
Baca juga: Lewat Visinya, Jokowi Menjawab Tantangan Teknologi Digital
Sebagaimana dilakukan Muhammad Adi Panuntun, CEO PT Sembilan Matahari. Praktisi studi kreatif itu membuat pemetaan video atau video mapping yang dilengkapi realitas tertambah (augmented reality), realitas maya (virtual reality), dan hologram, untuk menampilkan pertunjukan peristiwa sejarah di berbagai museum secara interaktif.
Karya serupa pernah mengantarkannya menjuarai Art Vision Contest 2014 di Rusia dan Festival of Lights Championship 2017 di Jerman.
“Melalui kreativitas, kita bisa menjadi duta budaya dan persatuan. Bisa menyentuh nilai-nilai tersebut tanpa harus menggurui dan mengindoktrinasi,” ujar Adi.
Baca juga : Indonesia “Mengekspansi” Dunia Melalui Aplikasi
Ia sadar, ikatan sejarah dan nasionalisme harus terus diwariskan dari generasi ke generasi. Akan tetapi, perlu langkah adaptif untuk mengemasnya agar relevan dengan situasi kekinian.
Hal serupa dilakukan oleh komedian Pandji Pragiwaksono. Ia mencoba meningkatkan kesadaran politik anak muda dengan standup comedy. Kemudian melalui akun media sosial miliknya, dia kerap mengunggah konten yang mengajak warganet untuk melek politik.
Selain itu, keberhasilan anak-anak bangsa membangun perusahaan rintisan teknologi yang entah disadari atau tidak, turut membangkitkan spirit nasionalisme. Sebut saja misalnya, Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Keempat perusahaan berhasil masuk dalam status unicorn bersama 400 usaha rintisan lain di seluruh dunia.
Baca juga: 74 Tahun Indonesia, Ekonomi Kreatif Memerdekakan Pengangguran?
Nama mereka terangkat karena nilai ekonomi usaha yang telah melampaui 1 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 14 Triliun. Bahkan, Go-Jek mampu masuk ke dalam daftar teratas perusahaan rintisan berstatus decacorn, berkat valuasinya mencapai 10 kali lipat dari unicorn.
Baca juga: Petani dan Rakyat Kecil dalam Pusaran Proklamasi RI
Ditambah lagi perjuangan atlet-atlet kita di kejuaraan-kejuaraan level internasional. Ajang Asian Games 2018 yang dihelat di Jakarta misalnya, menunjukkan bagaimana perjuangan atlet bisa membakar nasionalisme kita. Setiap harinya, lokasi tempat bertandingnya atlet kita, selalu dipenuhi penonton. Sepanjang laga, mereka tak henti-hentinya meneriakkan, "Indonesia!".
Perubahan pola
Menurut Peneliti Sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Thung Ju Lan, distribusi gagasan nasionalisme di era digital juga mendapat tantangan berat dengan tumbuh suburnya media massa digital dan media sosial.
Ini karena media massa digital dan media sosial bersifat dua arah atau dialogis, berbeda dengan media cetak yang bersifat satu arah. Dan dialog yang terjadi, berpotensi berakibat pada perbedaan interpretasi atau pandangan terhadap nasionalisme.
“Dengan adanya dialog, definisi nasionalisme menjadi berbeda-beda,” ujar Thung Ju Lan.
Terlebih media sosial yang memberikan ruang bagi siapa saja untuk berpendapat. Ini lebih besar potensinya untuk menimbulkan kekacauan.
Sebab, masyarakat dari beragam latar belakang bisa membicarakan nasionalisme dari berbagai perspektif.
Situasi tersebut rentan menimbulkan kesalahpahaman. Dampak terburuknya, kesalahpahaman dapat memunculkan konflik horizontal dan kebencian antarwarga.
Baca juga: Optimistis Indonesia Maju
Menurut Arie Sujito, sosiolog Universitas Gadjah Mada, nasionalisme memang tidak bisa dimaknai secara instan, karena terkait dengan proses historis yang panjang. Perlu ada dialog lintas generasi agar tidak ada keterputusan narasi mengenai rasa kebangsaan.
Kini, merebaknya benturan antarkelompok dan antarsentimen jelas jadi tantangan untuk ditaklukkan. Ikatan kebangsaan dan keindonesiaan diperlukan untuk meningkatkan energi untuk menghadapinya.
Sejarah mencatat, pemanfaatan teknologi secara tepat mampu menjadi kendaraan untuk mencapai keberhasilan. Kini, perkembangan teknologi yang amat dahsyat semestinya juga bisa dimanfaatkan untuk me-resonansi-kan nasionalisme guna menjawab tidak hanya tantangan hari ini, tetapi juga mempersiapkan masa depan.