Peristiwa-peristiwa besar di Republik ini selalu melibatkan kaum muda, tak terkecuali pada era kemerdekaan. Saat itu, para pemuda dari Gedung Menteng 31 atau sekarang bernama Gedung Joang 45 menjelma bak katalisator bagi Soekarno dan Hatta untuk membacakan teks proklamasi dan memerdekakan Indonesia.
Oleh
SHARON PATRICIA / PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Peristiwa-peristiwa besar di Republik ini selalu melibatkan kaum muda, tak terkecuali pada era kemerdekaan. Saat itu, para pemuda dari Gedung Menteng 31 atau sekarang bernama Gedung Joang 45 menjelma bak katalisator bagi Soekarno dan Hatta untuk membacakan teks proklamasi dan memerdekakan Indonesia.
Peran pemuda sangat signifikan dalam proses menuju kemerdekaan Indonesia. Yang paling diingat tentu peristiwa penculikan Soekarno-Hatta pada 16 Agustus 1945 pukul 03.00 dini hari oleh sejumlah pemuda, seperti Sukarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh, untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan. Kelak, peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Rengasdengklok.
Namun, jauh sebelum peristiwa tersebut terjadi, telah banyak pergerakan dari para pemuda yang memiliki cita-cita memerdekakan Indonesia. Mereka adalah para pemuda dari pusat pendidikan politik asrama Angkatan Baru Indonesia yang berlokasi di Gedung Menteng 31. Asrama ini kemudian membentuk badan yang diketuai Sukarni.
Para pemuda dari asrama ini memiliki andil besar perjuangan Indonesia, seperti tertuang dalam buku Menteng 31, Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45: Membangun Jembatan Dua Angkatan (1966) yang ditulis sekretaris Asrama Angkatan Baru Indonesia, Anak Marhaen Hanafi.
Dalam bukunya, Hanafi menyatakan, asrama dibuat setelah tercapai kemufakatan untuk mengorganisasi gerakan para pemuda. Para pemuda ini akan dididik dan dilatih untuk melancarkan gerakan perjuangan nasional, baik legal maupun ilegal, guna menyongsong revolusi kemerdekaan.
Setelah meminta kepada pihak Jepang, Gedung Menteng 31 yang sekarang menjadi Museum Joang 45 kemudian dipilih sebagai asrama atau benteng dari para pemuda ini. Saat meminta gedung itu pada Juli 1942, tentunya pihak Jepang yang baru memukul mundur kolonial Belanda di Indonesia tidak mengetahui tujuan asli asrama tersebut dibentuk oleh para pemuda.
Dalam catatan Peranan Gedung Menteng Raya 31dalam Perjuangan Kemerdekaan yang disusun Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta (1977), Gedung Menteng 31 sebelumnya merupakan penginapan bernama Hotel Schomper. Pada masa kolonial Belanda, hotel digunakan khusus untuk para pedagang asing, pejabat tinggi Belanda dan pribumi yang singgah di Jakarta.
Meski pada Maret 1943, Gedung Menteng 31 dijadikan markas Pusat Tenaga Rakyat (Putera) oleh Badan Pertahanan Jepang yang kemudian menjadi Jawa Hokokai, perjuangan para pemuda tidak lantas berhenti. Mereka pun tetap berjuang di luar gedung untuk tetap mempertahankan dan menyebarkan semangat nasionalisme.
Pertemuan
Perjuangan pemuda Gedung Joang mencapai puncaknya saat Jepang menyerah kepada sekutu. Sagimun MD dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988) memaparkan, para pemuda mulai menyiapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah mendengar kabar kekalahan Jepang tersebut.
Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00, para pemuda berkumpul di salah satu ruangan Lembaga Bacteriologi di Pegangsaan Timur 17, Jakarta (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia). Pertemuan dipimpin oleh Khairul Saleh yang merupakan Wakil Ketua Asrama Angkatan Baru Indonesia.
Pokok pembicaraan saat itu, yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang harus diumumkan secepat mungkin dan tidak terpengaruh dari bangsa dan pihak mana pun. Mereka menolak keras ”Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” yang berbau hadiah dari tentara Jepang.
Para pemuda pun menyadari bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilakukan tanpa Bung Karno dan Bung Hatta. Selepas pertemuan, dua pemuda, Wikana dan Darwis, diutus menyampaikan putusan rapat kepada Bung Karno dan Bung Hatta.
Para pemuda menolak keras ”Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” yang berbau hadiah dari tentara Jepang.
Wikana berasal dari kelompok Kaigun yang terdiri dari para pemuda revolusioner yang bekerja pada dinas Kaigun atau Angkatan Laut Jepang. Sementara Darwis berasal dari kelompok Ika Daigaku atau kelompok mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran yang berpusat di Asrama Prapatan 10, Jakarta Pusat, dan Cikini Nomor 71.
Malam itu juga, sekitar pukul 22.30, Wikana dan Darwis tiba di kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 56) Jakarta. Wikana pun menuntut agar Bung Karno mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia keesokan harinya, yakni 16 Agustus 1945. Dari sinilah yang mendasari peristiwa Rengasdengklok.
Meski sebelumnya sempat terjadi ketegangan, Bung Karno dan Bung Hatta memahami maksud para pemuda yang ingin kemerdekaan Indonesia segera terwujud. Mereka pun menyatakan kesediaannya dalam mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Refleksi saat ini
Sesudah proklamasi, pemuda sebagai salah satu unsur revolusi bahkan terus memperkuat dirinya untuk ikut berjuang bersama rakyat Indonesia. Mereka yang sebelumnya tergabung dalam Angkatan Baru Indonesia kemudian menyatukan aksinya yang diberi nama Komite van Aksi yang didirikan 18 Agustus 1945.
Gigihnya perjuangan yang dilakukan para pemuda saat itu memang membuahkan hasil. Lebih jauh, peran pemuda yang saat itu menyandang istilah ”Pemuda Radikal” terhadap nasionalisme juga tidak bisa dikesampingkan terhadap kemerdekaan Indonesia yang telah memasuki usia 74 tahun saat ini.
Ahli Sejarah Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai, Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan hasil dinamika hubungan antara pemuda dan pemimpin yang lebih senior. Dinamika ini menunjukkan kemerdekaan bukan hadiah dari Jepang.
Namun, saat ini Asvi melihat adanya sikap sebagian pemuda yang mengarah pada radikalisme, tetapi keluar dari konteks nasionalisme. Pemuda saat ini seolah lupa perjuangan pemuda terdahulu yang dengan gigih menyampingkan segala perbedaan demi satu tujuan mulai memerdekakan Tanah Air.
Asvi juga memandang, jika sifat radikalisme yang bertentangan dengan nasionalisme ini dibiarkan oleh negara, dikhawatirkan dapat merusak keutuhan bangsa. Oleh karena itu, Asvi berharap pemerintah menindak tegas sesuai hukum yang berlaku agar tidak ada lagi kelompok yang berpotensi memecah persatuan bangsa.