JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah organisasi masyarakat sipil berharap pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo yang juga presiden terpilih 2019-2024 Jumat ini memberi arah jelas bagi visi pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Fokus pembangunan untuk menciptakan sumberdaya manusia yang unggul akan tercapai bila didukung kondisi lingkungan yang sehat.
Arahan itu penting mengingat pada pidato kemenangan Joko Widodo di Sentul Bogor, sebagai presiden terpilih beberapa waktu lalu, terlalu menekankan pada investasi besar yang eksploitatif. Presiden Joko Widodo diingatkan akan fakta ketimpangan ekonomi serta penguasaan aset dan akses lahan atau hutan, sebagai dampak kebijakan masa lalu. Sekitar lebih dari 80 persen hutan produksi dikuasai oleh korporasi. Demikian dengan perkebunan yang rantai perdagangan dikuasai korporasi dalam negeri dan korporasi multinasional.
“Kalau melihat sebelum-sebelumnya bagaimana Presiden Joko Widodo mengelola sumberdaya dan lingkungan hidup maupun dalam pidatonya, kerap miris bahwa isu lingkungan hidup dan gagasan pentingnya perlindungan hak rakyat itu hilang,” kata Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Kamis (15/8/2019) di Jakarta.
Ia berharap dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara maupun presiden terpilih 2019-2024, menjawab keraguannya itu. Fokus Presiden pada periode kedua pada peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) tak bisa berdiri sendiri atau bila hanya mengandalkan sektor pendidikan.
Fokus Presiden pada periode kedua pada peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) tak bisa berdiri sendiri atau bila hanya mengandalkan sektor pendidikan.
Kualitas SDM berelasi dengan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat, termasuk kebutuhan air dan pangan bergizi. “Bagaimana bisa kualitas sumber daya manusia tinggi bila anak-anak di Riau dan Kalteng terpapar asap. Belum lagi bicara lubang tambang (di Kaltim) yang menewaskan puluhan anak-anak,” katanya.
Karena itu, Raynaldo mengingatkan agar Presiden tak mendikotomikan permasalahan sumber daya manusia, pembangunan ekonomi, dan kualitas lingkungan karena ketiganya saling berkaitan. Ia berharap template pidato presiden yang selalu berbicara terkait peningkatan pertumbuhan ekonomi juga diikuti makna pembangunan berkelanjutan.
Melihat akar masalah
Khalisah Khalid, Desk Politik Eksekutif NasionalWahana Lingkungan Hidup Indonesia, pun berharap pidato kenegaraan nanti komprehensif melihat berbagai akar permasalahan dan berisi langkah pemerintahan ke depan dalam jangka panjang, tak sekadar ritual pidato tahunan. Keuntungan demografi yang akan dituai Indonesia bisa dimanfaatkan secara baik bila didukung kondisi lingkungan sehat sehingga menghasilkan SDM unggul.
Ia pun meminta Presiden Joko Widodo yang kerap mengutarakan terkait penghargaan atas perbedaan suku dan agama, juga menaruh perhatian pada akar kebudayaan. Identitas budaya masyarakat Indonesia terkait kedekatan komunitas masyarakat dengan bentang alam beragam mulai dari gunung, lembah, pesisir, dan laut, serta kekayaan pengetahuan lokal. “Ini bisa jadi pondasi. Sehingga tak terputus antara budaya dan tantangan alam,” kata dia.
Lebih lanjut, ia menilai pidato kenegaraan perdana saat menjadi presiden terpilih 2014-2019 masih merupakan orasi dan arah terbaik Joko Widodo karena berkonteks pada masalah dan mengacu nawacita. Sayangnya, kata dia, diksi “tidak akan memunggungi laut”, “membangun Indonesia dari pinggiran”, dan “membangun ekonomi kemasyarakatan” yang didengungkan saat itu, kini tampak redup.
Imbauan itu kini bergeser oleh semangat mendatangkan investasi skala besar yang cenderung eksploitatif. “ Kembalilah pada janji politik Nawa Cita. Target 2030 Indonesia bisa menjadi aktor ekonomi terbesar keempat di dunia, hanya bisa terwujud harus ada prasyarakat dipenuhi dan melihat tantangan yang dihadapi,” ungkapnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan tantangan lain Indonesia yaitu risiko bencana terkait krisis iklim akibat pengaruh manusia. Berbagai bencana hidrometeorologi yang menurut BNPB mencapai 2.300 kejadian antara lain akibat kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim.
"Indonesia sebagai daerah rentan bencana dan dampak perubahan iklim seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah. Jangan sampai pemerintah membangun istana pasir. Dibangun capek-capek, tapi lalu roboh karena tersapu air laut," ujarnya.