Pertama Kali di Dunia, Indonesia Luncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Pemerintah akan meluncurkan Indeks Pembangunan kebudayaan pada Oktober nanti. Indeks Pembangunan Kebudayaan ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk memajukan kebudayaan di Indonesia.
BANDUNG, KOMPAS — Bertepatan dengan penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Nasional pada Oktober 2019, pemerintah akan meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan. Ini adalah Indeks Pembangunan Kebudayaan yang pertama kali pernah dirumuskan di dunia.
Indeks Pembangunan Kebudayaan diperlukan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan kebudayaan di Indonesia. Dimensi Indeks Pembangunan Kebudayaan antara lain meliputi ekonomi, budaya, pendidikan, ketahanan sosial-budaya, warisan budaya, kebebasan ekspresi, literasi, jender, dan tata kelola.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, ini adalah kali pertama penyusunan indeks pembangunan di bidang kebudayaan. Dimensi-dimensi Indeks Pembangunan Kebudayaan diturunkan dari Culture for Development Indicators Suite (CDIS) UNESCO yang kemudian dimodifikasi sesuai data-data yang dimiliki Indonesia.
“Kalau berhasil diluncurkan Oktober 2019, ini IPK (Indeks Pembangunan Kebudayaan) yang pertama kali di dunia,” paparnya dalam Seminar Nasional Pemajuan Kebudayaan di Tengah Peradaban Dunia, Kamis (15/8/2019), di Bandung, Jawa Barat.
Hadir pula sebagai pembicara Gubernur Lemhanas Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo, Staf Ahli Panglima Kodam III/Siliwangi Bidang Sosial Budaya Kolonel Inf Yusep Sudrajat, Kepala Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Lembaga Pendidikan Polri Inspektur Jenderal (Pol) Aris Budiman, dan anggota Komisi X DPR yang juga mantan Ketua Panja Rancangan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Ferdiansyah.
Indeks Pembangunan Kebudayaan diharapkan bisa digunakan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 sebagai acuan untuk memajukan kebudayaan di Indonesia. “Inilah yang kita jadikan alat ukur pemajuan kebudayaan, kalau kita bekerja kira-kira sampai atau tidak tujuannya,” ucapnya.
Kekayaan dan kekuatan
Hingga kini Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerima laporan dari sekitar 350 kabupaten/kota mengenai kekayaan dan kekuatan di daerah mereka masing-masing. Secara bertahap, daerah-daerah lainnya akan mengirimkan peta kekayaan dan kekuatan budaya mereka sehingga terkumpul data budaya secara nasional.
Sebagai contoh, dalam laporan yang dikirimkan kabupaten/kota tersebut telah tercatat 10.533 cagar budaya, 4.521 warisan budaya tak benda, 7.444 pengetahuan tradisional, 3.800 permainan rakyat, dan 8.224 jenis kesenian. Dari sisi infrastruktur, kekuatan lembaga kebudayaan yang tercatat mencapai 21.406 lembaga, 6.936 sarana prasarana pemerintah, dan 12.177 sarana prasarana masyarakat.
Melihat sebagian data yang masuk, terlihat bagaimana kekayaan dan kekuatan budaya Indonesia luar biasa. Demikian pula, lembaga dan sarana prasarananya begitu banyak sehingga tidak perlu susah payah membangun kembali. ”Semua inilah yang kita rangkum menjadi strategi kebudayaan untuk 20 tahun ke depan,” kata dia.
Ferdiansyah mengatakan, kebudayaan dan kearifan lokal menjadi kekayaan dan identitas Indonesia yang harus dimanfaatkan keberadaannya. “Kalau mau menyaingi negara-negara lain dalam hal teknologi, harus diakui Indonesia masih ketinggalan. Kebudayaan dan kearifan lokal menjadi kekayaan dan identitas Indonesia. Pemajuan kebudayaan jangan diartikan sebagai biaya (pengeluaran), tetapi investasi,” ujarnya.
Kebudayaan dan kearifan lokal menjadi kekayaan dan identitas Indonesia yang harus dimanfaatkan keberadaannya
Untuk menyangga kebudayaan, menurut Ferdiansyah, dibutuhkan enam pilar utama, yaitu akademisi, kalangan pebisnis, komunitas, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan media. Keenam pilar ini mesti berpadu, berkoordinasi, dan bersinergi.
Yusep memberikan contoh konkret bagaimana pemerintah dan masyarakat harus bersinergi meningkatkan ketahanan budaya untuk menjaga stabilitas keamanan nasional. Upaya itu dilakukan dengan bersama-sama menjaga kebersihan Sungai Citarum yang mengalami pencemaran luar biasa.
“Sungai Citarum yang menjadi sumber kehidupan bagi 35 juta jiwa tercemar akibat perilaku masyarakat yang membuang sampah ke sungai, buang air besar ke sungai, buang kotoran ternak, pembuangan limbah industri, kelebihan keramba jaring apung, bangunan liar di bantaran sungai, hingga pembalakan liar. Dampak dari semua itu adalah menyusutnya ketersediaan air bersih, ikan tercemar, anak-anak sakit, pemborosan biaya kesehatan, kerugian energi, kerugian pertanian, munculnya penyakit, dan masyarakat semakin tidak sejahtera,” paparnya.
Sementara itu, dalam konteks perlindungan kebudayaan, Aris menjelaskan beberapa poin tugas Polri di bidang kebudayaan, antara lain melakukan penyelidikan tindak pidana yang termuat dalam Undang-Undang Cagar Budaya dan UU Pemajuan Kebudayaan, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman penyidik Polri tentang kebudayaan, dan meningkatkan koordinasi serta sinergi dengan pemerintah pusat serta daerah yang terkait dalam penanganan kebudayaan.