Musim Hujan Mundur, Masyarakat Diminta Menyesuaikan Diri
Manfaatkan sumber air yang ada dari sumur bor, sungai, atau danau sehemat mungkin
JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan awal musim hujan akan mundur dari biasanya. Masyarakat dan pemangku kepentingan perlu menyiapkan diri menghadapi musim kemarau yang lebih kering dan lama, terutama daerah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Masyarakat di perkotaan juga dapat memanfaatkan musim kemarau ini untuk memelihara drainase. Pemeliharaan drainase sekaligus badan sungai saat ini sangat penting dalam menghadapi musim hujan yang akan datang.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, Jumat (16/8/2019), mengatakan, awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia akan mundur selama 10 hari hingga 30 hari dari rerata klimatologisnya. Artinya, musim hujan kemungkinan baru akan terjadi pada November 2019.
”Dengan begitu, tahun ini kita akan menghadapi musim kemarau yang lebih panjang dan kering,” ujarnya.
Wilayah yang musim hujannya akan mundur, antara lain, Sumatera Utara bagian tengah dan timur, Riau, Jambi bagian tengah, Sumatera Selatan, sebagian Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara.
Sebagian wilayah akan mengawali musim hujan lebih awal, yakni pada Agustus, September, dan Oktober 2019. Wilayah tersebut, antara lain, Aceh, sebagian Riau, sebagian Jambi, Kalimantan Utara, dan pegunungan Jayawijaya (Papua).
”Khusus untuk wilayah Papua, awal musim hujan di kawasan utara akan terjadi pada November, sedangkan di selatan terjadi pada Desember,” ujar Dwikorita.
Sementara itu, puncak musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi akan terjadi pada Januari dan Februari 2019. Adapun untuk daerah seperti Sumatera bagian tengah dan utara, puncak musim hujan akan terjadi pada Oktober atau November 2019.
Kondisi iklim tersebut dipengaruhi beberapa hal, misalnya suhu muka air laut perairan Indonesia, Samudra Pasifik, dan Samudra Hindia. Saat ini anomali suhu muka air laut Samudra Pasifik dinyatakan netral setelah berakhirnya El Nino lemah yang terpantau sejak 10 bulan lalu.
Meski suhu Samudra Pasifik normal, suhu muka air laut Samudra Hindia dan perairan di selatan Khatulistiwa lebih dingin dari suhu normal. Akibatnya, proses penguapan air laut sulit terjadi sehingga pembentukan awan-awan hujan menjadi berkurang. Kondisi tersebut menyebabkan curah hujan tetap rendah meski El Nino lemah telah berakhir.
Fenomea suhu
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan, fenomena yang terjadi di Samudra Hindia tersebut dinamakan dipole mode positif. Dipole mode tersebut membuat suhu di Samudra Hindia bagian timur lebih dingin dibandingkan dengan bagian barat atau di kawasan timur Afrika.
”Jadi, jika ada uap-uap air akan langsung tertarik ke kawasan Afrika yang lebih hangat. Hal ini akan terjadi hingga Oktober,” katanya.
Faktor lainnya adalah terlambatnya sirkulasi atau perubahan angin Monsun Australia (timur) menjadi Monsun Asia (barat). Selama ini dominasi Monsun Asia yang membawa massa udara basah tersebut identik dengan musim hujan.
”Keterlambatan itu dipengaruhi oleh munculnya tiga siklon tropis yang muncul secara bersamaan beberapa waktu lalu,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono Rahadi Prabowo.
Dwikorita mengimbau agar masyarakat dan pihak terkait lebih mempersiapkan diri dalam mengantisipasi puncak musim hujan yang diprediksi terjadi pada awal tahun depan. Mitigasi bencana, seperti banjir, banjir bandang, atau longsor bisa dikerjakan sejak dini.
Herizal juga mengimbau kepada masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca di sekitarnya. Petani, misalnya, dapat menyesuaikan pola tanam dan pemilihan bibit. Selain itu, dampak kemarau juga masih harus diantisipasi setidaknya hingga Oktober.
”Dampak seperti kurangnya air bersih atau buruknya kualitas udara masih perlu diantisipasi,” katanya.
Hemat air
Hal yang sama dikatakan Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo. Dengan potensi mundurnya awal musim hujan, masyarakat diminta untuk menghemat pemakaian air bersih. Bagi daerah yang sesekali masih turun hujan, masyarakat sekitar diimbau menyimpan air hujan tersebut.
”Manfaatkan sumber air yang ada dari sumur bor, sungai, atau danau sehemat mungkin,” katanya saat dihubungi terpisah.
Selain itu, Agus juga meminta kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan untuk tidak membakar selama kemarau, termasuk membakar sisa-sisa tanaman. Dengan mundurnya awal musim hujan, BNPB sudah menambah dua helikopter lagi untuk ditempatkan di Sumatera Selatan.
”Jadi, saat ini total helikopter yang dikerahkan 37 unit untuk seluruh Indonesia. Satu lagi akan didatangkan pada Minggu,” tambah Agus.
Selain 37 helikopter, sebanyak 9.072 personel tim gabungan masih disiagakan di 6 provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Berdasarkan data BNPB, hingga Jumat pukul 16.00, terpantau ada 756 titik panas di seluruh Indonesia.
Titik panas terbanyak terdapat di Kalimantan Barat dengan 297 titik, Kalimantan Tengah (173 titik), dan Sumatera Selatan (99 titik). Adapun masyarakat di Kalimantan Barat saat ini menghadapi dampak kabut asap dengan status tidak sehat.
”Saat ini ada 1.512 pasukan darat dan helikopter yang berupaya memadamkan api sehingga kabut asap bisa hilang,” ujarnya.
Sebelumnya, BPBD Kalimantan Tengah beserta dinas terkait memberikan layanan kesehatan kepada petugas dan sukarelawan yang memadamkan api. Mereka juga membagikan masker kepada siswa sekolah dasar (SD), seperti SDN 11 Langkai dan SDN 3 Tanjung Pinang.
Upaya pemadaman menggunakan water bombing dan pemadaman darat dengan pendinginan juga terus dilakukan. Di wilayah Bukit Tunggal dan Marang, pada Kamis (15/8/2019), misalnya, pemadaman telah menghabiskan 160.000 liter air dari 40 pengeboman.