Perlawanan HTI melalui PTUN Jakarta, Pengadilan Tinggi Jakarta, hingga Mahkamah Agung pupus lantaran tidak satu pun pengadilan tersebut mengabulkan gugatan HTI. HTI yang dibubarkan melalui pencabutan status badan hukumnya sejak 19 Juli 2017 ini akhirnya menemui ajalnya melalui putusan pengadilan.
Oleh
Sultani
·4 menit baca
Perlawanan HTI melalui PTUN Jakarta, Pengadilan Tinggi Jakarta, hingga Mahkamah Agung pupus lantaran tidak satu pun pengadilan tersebut mengabulkan gugatan HTI. HTI yang dibubarkan melalui pencabutan status badan hukumnya sejak 19 Juli 2017 ini akhirnya menemui ajalnya melalui putusan pengadilan.
PTUN Jakarta menolak gugatan HTI pada 7 Mei 2018. Vonis penolakan ini diperkuat dengan putusan PT Jakarta pada September 2018. Sementara MA menolak kasasi yang diajukan HTI pada 15 Februari 2019. Vonis MA memupuskan semua perjuangan HTI untuk menghidupkan kembali organisasinya.
Alasan pengadilan menolak gugatan HTI karena tidak ada cacat yuridis dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) yang digunakan untuk membubarkan HTI.
Dalam Perppu ini, pemerintah menghapus pasal tentang pembubaran ormas harus melalui pengadilan, seperti yang tertulis dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Pengadilan melihat penghapusan tersebut terkait dengan maksud pemerintah untuk menyederhanakan sanksi pada ormas, yaitu ormas yang bertentangan dengan Pancasila.
Gugatan HTI bahwa tindakan pemerintah menyalahi azas keterbukaan karena tidak mengajak HTI berdiskusi juga ditolak. Menurut pengadilan, wajar bagi pemerintah untuk tidak mengajak HTI berdiskusi sebelum pembubaran karena tindakan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah kondisi yang luar biasa sehingga tidak perlu didiskusikan. HTI dinilai jelas-jelas tidak menjalankan asas, ciri, dan sifat ormas yang termaktub dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yaitu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Di sinilah letak perbedaan landasan hukum tindakan pemerintah terhadap HTI dan FPI. Pemerintah lebih tegas membubarkan HTI karena ormas ini terbukti berkeinginan mengubah negara Pancasila menjadi khilafah melalui kegiatan dakwah mereka. Sementara FPI sejauh ini belum terbukti secara hukum mengajak pengikutnya untuk mengubah dasar negara dan ideologi Pancasila meskipun landasan perjuangan kedua ormas ini sama-sama berbasis syariah.
Nasib FPI yang masih berada di Kementerian Dalam Negeri (dan Kementerian Agama) ”hanya” tersangkut soal administrasi, yaitu perpanjangan SKT. Terkait dengan argumen yang menyebut FPI sebagai kelompok radikal, pendukung aksi kekerasan dan pendukung HTI sejauh ini belum dikaitkan langsung dengan persyaratan sebuah ormas bisa mendapatkan kembali surat keterangan terdaftar atau SKT.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017, untuk mendapatkan SKT, sebuah ormas cukup melengkapi dokumen administrasi berupa akta pendirian ormas oleh notaris dan NPWP. Selain itu, perlu dilampirkan juga rekomendasi dari sejumlah lembaga dan sejumlah surat pernyataan bersifat administratif.
Dari segi legal formal, argumentasi para pendukung FPI dibubarkan tidak tercantum dalam ketentuan pemberian SKT karena tidak ada sama sekali syarat yang terkait dengan soal radikalisme. Jika FPI dianggap bermasalah karena dianggap radikal, masyarakat bisa menyalurkan aspirasi tersebut melalui mekanisme pembubaran ormas.
Meskipun Perppu Ormas dilahirkan untuk mengontrol ormas-ormas radikal, kontrol tersebut tetap berada di pihak yang sudah diberikan wewenang oleh negara. Indikasi-indikasi radikalisme yang ditunjukkan oleh ormas akan menjadi bahan evaluasi dan diselidiki sebelum ditindak. Hal inilah yang agaknya juga mempengaruhi perpanjangan izin operasional FPI sebagai ormas.
Kebebasan berpendapat
Di sisi lain, tidak dalam kasus FPI, banyak kalangan meragukan obyektivitas aparat yang ditunjuk dalam menentukan unsur radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila. Subyektivitas aparatur negara bisa saja justru membuat Perppu ini sebagai alat untuk menghambat kebebasan berorganisasi dan berpendapat.
Protes terhadap aturan tentang ormas ini sudah pernah muncul jauh sebelum Perppu ini diterbitkan. Tahun 2013, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) mengajukan uji materi terhadap 11 Pasal dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas ke MK. Menurut KKB, kesebelas pasal tersebut telah mengekang hak-hak konstitusional warga negara lantaran menciptakan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, dan multitafsir. Persoalan ini juga yang kini menjadi polemik di tengah masyarakat terkait lahirnya Perppu tentang Ormas.
Meski demikian, pemerintah mempunyai pertimbangan sendiri dalam menerbitkan Perppu ini. Argumentasi utama pemerintah adalah aturan hukum yang belum memadai sehingga penerbitan Perppu merupakan solusi untuk mengatasi terjadinya kekosongan hukum. Apalagi, saat ini pemerintah merasa, untuk membuat sebuah UU baru dibutuhkan waktu yang cukup lama dan harus melalui proses yang panjang.
Selain itu, tindakan Presiden mengeluarkan Perppu juga sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, Presiden bisa mengeluarkan Perppu atas dasar adanya keadaan yang membutuhkan atau keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Pernyataan Presiden Joko Widodo dan para menteri terkait tentang kemungkinan pembatalan SKT FPI boleh jadi merupakan tanda peringatan kepada ormas tersebut untuk meletakkan kegiatan dan perjuangan mereka sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi negara sudah mengakomodasi semua keragaman sosial di Indonesia. Sudah semestinya semua elemen ormas mana pun menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan perilaku dan cara pandangnya. Ormas mana pun yang tak menjadikan Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan organisasinya sudah pasti akan berhadapan dengan sanksi hukum. (Sultani/Litbang Kompas)