JAKARTA, KOMPAS — Persoalan utang luar negeri Indonesia berupa kemampuan bayar pemerintah. Indikatornya antara lain rasio pembayaran cicilan pokok dan bunga utang terhadap ekspor.
Per akhir Juni 2019, rasio pembayaran cicilan pokok dan bunga utang terhadap ekspor (debt service ratio/DSR) 34,3 persen. Rasio ini lebih tinggi dari indikator DSR aman menurut Dana Moneter Internasional (IMF), yakni 25 persen.
Berdasarkan data Bank Indonesia, DSR pada akhir triwulan I-2019 sebesar 29,29 persen. Adapun pada akhir 2018 sebesar 25,42 persen. DSR yang semakin besar menunjukkan kemampuan ekspor menopang cicilan pokok dan bunga utang yang berkurang.
Vice President for Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani menyebutkan, rasio utang terhadap ekspor per akhir triwulan II-2019 sebesar 170 persen.
Jika dilihat dari indikator stok, rasio utang luar negeri RI terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di level yang aman, yakni 36,8 persen. ”Meskipun demikian, pemerintah dan Bank Indonesia harus mampu memantau aliran pembayaran cicilan pokok dan bunga utang sehingga tidak menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar,” ujarnya di Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Apalagi, lanjut Dendi, tekanan terhadap harga komoditas ekspor utama, yakni minyak sawit dan batubara, membuat kinerja ekspor sulit meningkat. Pendapatan ekspor bisa tumbuh lambat.
Ia berpendapat, BI perlu mengatur penggunaan devisa agar tidak menimbulkan gejolak nilai tukar rupiah. Di sisi lain, menurut Dendi, periode pembayaran cicilan pokok dan bunga utang sebaiknya diatur agar tidak jatuh tempo pada saat bersamaan sehingga membebani APBN.
Persepsi
Data yang dirilis BI menunjukkan, utang luar negeri Indonesia per Juni 2019 sebesar 391,8 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis, sebesar Rp 14.296 per dollar AS, utang itu senilai Rp 5.601 triliun.
Utang luar negeri itu meningkat dibandingkan pada Mei 2019 yang sebesar 386,4 miliar dollar AS.
Dalam siaran pers, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menyatakan, pertumbuhan utang sejalan dengan perbaikan persepsi investor asing terhadap perekonomian Indonesia.
”Peningkatan kepercayaan investor terjadi seiring kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard & Poor\'s pada Mei 2019. Hal ini mendorong pembelian neto Surat Berharga Negara domestik dan global oleh asing pada triwulan II-2019,” ujarnya.
Menurut ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, korporasi dan BUMN mesti mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri dan melakukan lindung nilai secara berkala. (DIM)